Mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan keniscayaan bagi setiap muslim. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh, telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik, yaitu bagi barang siapa yang mengharap (pertemuan dengan) Allah dan Hari Akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
As-Sunnah, sebagaimana dijelaskan pada Majalah Qonitah edisi I, bisa bermakna:
– Jalan dan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sehingga as-Sunnah meliputi agama Islam secara keseluruhan.
– Amalan yang mandub/mustahab (dianjurkan/disukai).
Dalam pembahasan ini, mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meliputi dua makna tersebut. Wanita mukminah yang berhijab syar’i dengan memenuhi syarat-syaratnya dikatakan telah mengamalkan sunnah, yang hal ini hukumnya wajib. Demikian juga wanita yang mengamalkan shalat dhuha, misalnya, dikatakan mengamalkan sunnah, yang hal itu hukumnya mustahab.
Seorang muslim yang senantiasa menjaga pengamalan sunnah-sunnah Nabi dalam kesehariannya, sebagaimana ia menjaga makanan dan minuman yang merupakan kebutuhan fisiknya, bahkan penjagaannya terhadap sunnah lebih besar, dia akan memetik manfaat yang sangat besar.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) mengatakan, “Dalam mengikuti sunnah terdapat faedah (antara lain): mendapat barakah mencocoki syariat, meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, diangkatnya derajatnya, mendapatkan kelapangan hati dan ketenangan badan, membuat setan benci, dan menempuh shiratal mustaqim.” (Dzammul Muwaswisin hlm. 41. Lihat Dharuratul Ihtimam bi as-Sunnah an-Nabawiyyah hlm. 43)
Secara lebih lengkap, berdasarkan keterangan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits, mengamalkan sunnah-sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam akan membuahkan faedah, di antaranya:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah (kepada mereka, wahai Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Pada ayat di atas, Allah menegaskan balasan bagi barang siapa yang mau mengikuti sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan firman-Nya, “niscaya Allah mencintai kalian.”
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ
“Barang siapa memusuhi salah seorang wali-Ku, sungguh Aku umumkan peperangan padanya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai daripada ibadah/amalan yang Aku wajibkan atasnya. Senantiasa hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan ibadah/amalan nafilah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari no. 6502, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits di atas menerangkan bahwa ibadah-ibadah nafilah merupakan salah satu sebab memperoleh kecintaan dari Allah. Diterangkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (w. 852 H) bahwa yang dimaksud adalah ibadah-ibadah nafilah yang terkandung dalam ibadah-ibadah fardhu, melingkupinya, dan melengkapinya.[1] Dengan demikian, makna hadits di atas adalah apabila seseorang melaksanakan ibadah-ibadah fardhu dan senantiasa melaksanakan ibadah-ibadah nafilah, baik berupa shalat dan puasa sunnah maupun ibadah lainnya, hal ini lebih bisa mengantarkannya untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Fathul Bari pada hadits no. 6502)
Melaksanakan kewajiban dengan sempurna adalah sesuatu yang sulit dicapai. Karena kelemahan yang ada pada seorang hamba, ada saja kekurangan pada pelaksanaan kewajibannya. Misalnya, kurang khusyuk dalam shalat fardhu; puasanya terkotori oleh ghibah, namimah, dan dosa-dosa lainnya; ibadah hajinya masih tercemari oleh fisq (kefasikan) dan jidal,[2] dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut mengurangi nilai dan pahala ibadah seorang hamba.
Namun, Allah subhanahu wa ta’ala sangat luas rahmat dan karunia-Nya. Allah menjadikan ibadah-ibadah nafilah (ibadah sunnah) sebagai penutup berbagai kekurangan tersebut. Disebutkan dalam hadits,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاةُ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي، أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
Sesungguhnya, amalan manusia yang pertama kali dihisab (dihitung) pada hari kiamat adalah ibadah shalat. Allah k berfirman kepada para malaikat—dan Allah Mahatahu, “Periksalah shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakan shalatnya ataukah ada kekurangan padanya.” Apabila shalatnya sempurna, ditulis sempurna untuknya. Namun, apabila ada kekurangan, Allah berfirman, “Periksalah apakah hamba-Ku mempunyai amalan tathawwu’ (nafilah).” Apabila dia mempunyai amalan tathawwu’, Allah berfirman, “Sempurnakanlah amal fardhu hamba-Ku dengan amal tathawwu’nya.” Selanjutnya, amalan-amalan (fardhu) lainnya pun diperlakukan demikan. (HR. Abu Dawud no. 863, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya di belakang kalian akan ada hari-hari kesabaran. Kesabaran pada hari-hari tersebut laksana memegang bara api. Orang yang beramal (dengan as-Sunnah) pada hari-hari tersebut (mendapat pahala) sebanding dengan pahala lima puluh orang yang beramal seperti amal kalian.” ‘Abdullah bin al-Mubarak mengatakan bahwa dalam riwayat selain ‘Utbah ada tambahan, “Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, pahala 50 orang dari kami (sahabat) ataukah 50 orang dari mereka?’ Nabi menjawab, ‘Bahkan 50 orang dari kalian (sahabat)’.”[3] (HR. at-Tirmidzi no. 3058, dari Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Pada hari-hari tersebut, orang yang berpegang teguh pada agama—yang kalian berada di atasnya—mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bukannya lima puluh orang dari mereka?” Rasulullah menjawab, “Bukan, melainkan dari kalian (yakni para sahabat).”[4] (HR. al-Marwazi dalam as-Sunnah hlm. 9, dari ‘Utbah bin Ghazwan radhiyallahu ‘anhu. Lihat ash-Shahihah no. 494)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah (w. 124 H) menegaskan, “Dahulu para ulama kita mengatakan, ‘Berpegang teguh pada as-Sunnah merupakan keselamatan’.” (HR. ad-Darimi no. 97)
Maksudnya, keselamatan dari segala kesesatan dan kemungkaran. Yang terbesar adalah keselamatan dari kebid’ahan yang merupakan jembatan menuju kekufuran! As-Sunnah itu sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah (w. 179 H), “As-Sunnah itu laksana kapal Nabi Nuh. Barang siapa menaikinya, selamat; barangsiapa tertinggal darinya, celaka!”
Abu Muhammad ‘Abdullah bin Manazil rahimahullah (w. 331 H) mengatakan, “Tidaklah seseorang menyia-nyiakan satu amalan fardhu, kecuali Allah menimpakan padanya musibah berupa menyia-nyiakan amalan-amalan sunnah. Tidaklah seseorang ditimpa musibah berupa menyia-nyiakan amalan-amalan sunnah, kecuali sebentar lagi dia akan ditimpa musibah berupa terjatuh pada kebid’ahan-kebid’ahan.” (Lihat al-I’thisam karya asy-Syathibi I/169)
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barang siapa mencontohkan dalam Islam contoh yang baik, kemudian diamalkan juga setelah itu (yakni diikuti oleh orang lain), ditulis baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017, dari Jarir bin ‘Abdillah a)
Oleh karena itu, tatkala terjadi perselisihan, kita diperintah oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang teguh pada as-Sunnah dan meninggalkan berbagai bid’ah. Beliau n bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sungguh, barang siapa hidup sepeninggalku, dia akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka dari itu, wajib atas kalian mengamalkan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegangteguhlah padanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Waspadailah perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud no. 4607, dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan shahih oleh al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr, al-Hakim, dll)
Bersatu di atas prinsip mengamalkan as-Sunnah akan mencegah terjadinya perselisihan yang mengantarkan kepada permusuhan dan kebencian. Oleh karena itu, ahlus sunnah sangat jauh dari perpecahan. Sebaliknya, di kalangan ahlul bid’ah, yang sangat tampak adalah perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) mengatakan, “Bid’ah itu senantiasa diiringi perpecahan, sebagaimana as-Sunnah senantiasa diiringi persatuan.” (al-Istiqamah I/42)
Ibrahim bin Yazid at-Taimi rahimahullah (w. 92 H) pernah berdoa,
اللَّهُمَّ اعْصِمْنِي بِدِيْنِكَ وَبِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مِنَ اْلاِخْتِلاَفِ فيِ الْحَقِّ، وَمِنَ اتِّبَاعِ الْهَوَى، وَمِنْ سُبُلِ الضَّلاَلَةِ، وَمِنْ شُبُهَاتِ الْأُمُورِ، وَمِنَ الزَّيْغِ وَالْخُصُومَاتِ
“Ya Allah, lindungilah aku dengan agama-Mu dan sunnah Nabi-Mu dari perselisihan dalam al-haq, dari mengikuti hawa nafsu, dan dari jalan-jalan kesesatan, perkara-perkara syubhat, penyimpangan, dan perdebatan.” (Lihat al-I’tisham I/143 dan Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2333)
Kiranya, beberapa faedah mengamalkan as-Sunnah di atas bisa mendorong dan memotivasi kita semua, terutama saudari muslimah sekalian, untuk semakin serius dan bersemangat dalam berkomitmen di atas sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
(Disarikan dari kitab Dharuratul Ihtimam bi as-Sunnah an-Nabawiyyah karya asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjis rahimahullah dengan ringkasan dan tambahan dari penulis)
[1] Misalnya, dalam ibadah shalat wajib, ada gerakan dan bacaan yang wajib, ada pula yang sunnah; dalam ibadah puasa Ramadhan, ada amalan-amalan sunnah yang patut diperhatikan, seperti menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Ini makna ibadah nafilah yang terkandung dalam ibadah fardhu/wajib.
Adapun ibadah nafilah yang melengkapi ibadah fardhu, contohnya shalat-shalat rawatib yang melengkapi shalat wajib lima waktu. Wallahu a’lam.
[2] Fisq (kefasikan) di sini bermakna semua jenis kemaksiatan, termasuk pembatal-pembatal ihram. Adapun jidal adalah perdebatan, perbantahan, dan perselisihan, yang hal ini akan menimbulkan kejelekan dan permusuhan. (Lihat Tafsir as-Sa’di pada surat al-Baqarah: 197)
[3] Terdapat perbedaan pendapat dalam menshahihkan kalimat terakhir; as-Syaikh al-Albani t menshahihkan sedangkan asy-Syaikh Rabi’ mendhaifkannya.
[4] Dengan keutamaan ini, tidak berarti mereka lebih utama daripada para sahabat g. Mereka mendapatkan pahala lima puluh kali pahala sahabat dalam hal amalan ini saja. Jadi, keutamaan mereka muqayyad (terbatas). Adapun para sahabat, keutamaan mereka tidak tertandingi oleh generasi mana pun yang datang setelah mereka. Jadi, keutamaan para shahabat g itu mutlak (menyeluruh/dalam semua hal). Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Keutamaan ini tidak berarti bahwa mereka lebih utama daripada para sahabat g. Harus dibedakan keutamaan yang bersifat mutlak (menyeluruh) dengan keutamaan yang bersifat muqayyad (terbatas).” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-‘Utsaimin 25/307)