Qonitah
Qonitah

ancaman keras bagi orang yang menyelisihi atau menentang as-sunnah

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Ancaman Keras Bagi Orang Yang Menyelisihi Atau Menentang As-Sunnah

titian-sunnah-11Al-Ustadz Abu Amr Alfian

Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan prinsip yang baku dalam agama ini. Dalam al-Qur’anul Karim, Allah menjadikan sikap tersebut sebagai salah satu ciri khas orang-orang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥١ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٥٢

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan taat.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (an-Nur: 51-52)

Allah subhanahu wa ta’ala mengancam orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ancaman yang berat,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Maksudnya, (menyelisihi) perintah, jalan, manhaj, thariqah, sunnah, dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Maka dari itu, semua ucapan dan perbuatan wajib ditimbang dengan ucapan dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; apabila sesuai dengan ucapan dan perbuatan beliau, diterima, dan apabila berbeda atau menyelisihinya, tertolak dan kembali kepada pengucap dan pelakunya, siapa pun dia. Telah pasti (sah) hadits dalam ash-Shahihain dan lainnya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda, ‘Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada perintah kami padanya, amalan tersebut tertolak.’

Maksudnya, hendaknya takut orang yang menyelisihi syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, baik secara tampak maupun tidak, (akan ditimpa cobaan) dalam hati mereka, yang berupa kekufuran, kemunafikan, ataupun kebid’ahan, (atau ditimpa azab yang pedih) yakni azab di dunia berupa hukuman mati, hukum had, penjara, atau yang serupa dengannya.” (LihatTafsir Ibnu Katsir pada surat an-Nur: 63)

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Allah Jalla wa ‘Ala menyebutkan bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berada dalam bahaya besar, yaitu terancam akan tertimpa fitnah berupa penyimpangan, kesyirikan, dan kesesatan, atau terancam (juga) dengan azab yang pedih.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat 9/149)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Barang siapa membenci Sunnahku, dia tidak termasuk golonganku. (HR. al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401, dari Anas bin Malik z)

Ketahuilah, barang siapa berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dia akan mulia dan tinggi di dunia ini. Sebaliknya, barang siapa menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dia akan hina dan rendah. Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang[1], agar Allah satu-satu-Nya yang diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku,[2] dan dijadikan kehinaan dan kerendahan itu bagi orang yang menyelisihi/menentang perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Ahmad 2I/50 dan 92, dari Ibnu ‘Umar c. Hadits shahih, lihat Irwa’ al-Ghalil no. 1269)

Ketika menjelaskan sabda beliau n, “dan dijadikan kehinaan dan kerendahan itu atas orang yang menyelisihi/menentang perintahku”, al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Ini menunjukkan bahwa kemuliaan dan ketinggian kedudukan, baik di dunia maupun di akhirat, terletak pada mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam rangka mengikuti perintah Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Barang siapa menaati Rasul, berarti dia telah menaati Allah.’ (an-Nisa’: 80)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, Kemuliaan hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin. (al-Munafiqun: 8)

Allah juga berfirman, Barang siapa menginginkan kemuliaan, hanya milik Allah-lah kemuliaan itu semuanya. (Fathir : 10)

Kehinaan dan kerendahan adalah karena menyelisihi atau menentang perintah Allah dan Rasul-Nya.

Menyalahi atau menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam itu ada empat macam:

Pertama, yang dilakukan oleh orang yang tidak meyakini kewajiban menaati perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Misalnya, penentangan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan ahli kitab. Akibatnya, mereka pun berada dalam kehinaan dan kerendahan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar ahli kitab itu diperangi sampai mereka mau membayar jizyah (dengan langsung menyerahkannya) dari tangan mereka, sedang mereka dalam keadaan hina. Kaum Yahudi tertimpa kehinaan dan kerendahan karena kekufuran mereka kepada Rasul n adalah kekufuran ‘inad (menentang/durhaka).

Kedua, orang-orang yang meyakini kewajiban untuk taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, tetapi mereka menyelisihi/menentang Rasul dengan melakukan kemaksiatan, yang diyakini itu sebagai kemaksiatan. Orang seperti ini mendapatkan bagian dari kehinaan dan kerendahan. … Jadi, orang-orang jenis kedua ini menyelisihi/menentang Rasul karena dorongan syahwat.

Ketiga, orang-orang yang menyelisihi/menentang perintah Rasul karena dorongan syubhat. Mereka adalah ahlul ahwa’ (para pengekor hawa nafsu) dan ahli bid’ah. Mereka semua mendapatkan bagian dari kehinaan dan kerendahan sesuai dengan tingkat penentangan mereka terhadap perintah-perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ ٱلۡعِجۡلَ سَيَنَالُهُمۡ غَضَبٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَذِلَّةٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَكَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُفۡتَرِينَ ١٥٢

‘Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), mereka akan ditimpa kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.’ (al-A’raf: 152)

Ahli bid’ah dan ahlul ahwa’ adalah orang-orang yang membuat-buat kebohongan atas nama Allah. Kebid’ahan mereka akan semakin besar, sesuai dengan semakin banyaknya kebohongan yang mereka buat atas nama-Nya. … Oleh karena itu, hukuman bagi mubtadi’ (ahli bid’ah) lebih berat daripada hukuman bagi ahli maksiat. Sebab, mubtadi’ membuat kedustaan atas nama Allah sekaligus menentang perintah Rasul karena mengikuti hawa nafsunya.

Keempat, Adapun menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam karena tidak sengaja, diiringi dengan ijtihad (upaya serius) untuk senantiasa berittiba’ (mengikuti Sunnah Rasul), jenis ini terjadi pada tokoh-tokoh besar umat ini, dari kalangan ulama dan orang-orang saleh.[3] Mereka tidak berdosa. Bahkan, apabila sang ulama tersebut berijtihad, dia mendapatkan pahala, dan kesalahannya dimaafkan. Meskipun demikian, barang siapa mengetahui perintah (Sunnah) Rasul dalam permasalahan yang diselisihi (oleh ulama tersebut), tidak ada penghalang baginya untuk menerangkan kepada umat bahwa ijtihad/pendapat ulama tersebut bertentangan dengan perintah (Sunnah) Rasul. Hal ini dalam rangka nasihat untuk Allah, untuk Rasul-Nya, dan untuk kaum muslimin secara umum. Jangan sampai kedudukan ulama yang melanggar Sunnah Rasul tersebut menghalanginya untuk menerangkan kesalahannya di hadapan umat. Hendaknya dia katakan bahwa ulama tersebut memiliki kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan, serta dicintai oleh kaum mukminin, tetapi hak Rasul harus lebih dikedepankan daripada hak sang ulama.” Sekian penjelasan Ibnu Rajab.[4]

 

Hukuman yang Disegerakan bagi Orang-orang yang Menentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam

Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang pria yang makan dengan tangan kiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Melihat hal itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Dia menjawab, “Saya tidak bisa.” Nabi menjawab, “Kamu tidak akan bisa!” Tidak ada yang menghalanginya (untuk mengikuti perintah Rasul tersebut) selain kesombongan. Akhirnya, dia pun benar-benar tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya. (HR. Muslim no. 2021)

Al-Qadhi Abu ath-Thayyib berkata, “Kami berada di majelis diskusi di Jami’ al-Manshur. Tiba-tiba, datang seorang pemuda Khurasan, bertanya tentang al-musharrah[5] dan menuntut dalil. Akhirnya, diberikan dalil dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam masalah ini. Namun, dia—yang bermazhab Hanafi—menjawab bahwa Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya[6].

Belum selesai dia berbicara, tiba-tiba jatuh menimpanya seekor ular besar dari atap masjid tersebut. Orang-orang pun melompat karenanya. Si pemuda juga lari, tetapi ular tersebut terus mengejarnya, maka dikatakan kepada si pemuda, ‘Bertobatlah, bertobatlah!’

Si pemuda pun mengatakan, ‘Aku bertobat.’ Tiba-tiba, ular itu lenyap tidak berbekas.” (Lihat Siyar A’lam an-Nubala 2/618. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sanad kisah ini adalah para imam.”)

 

Sikap Tegas para Salaf terhadap Orang yang Menyelisihi/Menentang Sunnah Rasul

Sangat banyak riwayat dan contoh dalam hal ini. Di antaranya adalah yang disampaikan oleh Abu al-Mukhariq bahwa ‘Ubadah bin ash-Shamit menyebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang jual beli 2 dirham dengan 1 dirham. Namun, ada seseorang yang mengatakan, “Aku memandang bahwa jual beli seperti itu tidak mengapa, asalkan kontan.” Mendengar ucapannya, ‘Ubadah bin ash-Shamit menyahut, “Aku katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, tetapi kamu berani mengatakan bahwa hal itu tidak mengapa?! Demi Allah, aku dan kamu tidak akan berada di bawah naungan satu atap selama-lamanya!” (HR. ad-Darimi no. 443. Kisah ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah no. 18, dinyatakan shahih oleh al-Albani rahimahullah)

Ad-Darimi memberikan judul bab untuk hadits tersebut “Disegerakannya Hukuman bagi Orang yang Sampai kepadanya Hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, tetapi Dia Tidak Mengagungkan dan Tidak Memuliakannya.”

[1] Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai dai yang mengajak manusia—untuk menauhidkan-Nya—dengan pedang, setelah adanya proses dakwah dengan hujah (dalil-dalil dan argumentasi). Barang siapa tidak mau menerima dakwah (ajakan) kepada tauhid dengan al-Qur’an, hujah, dan bayan, dia diajak dengan pedang.

[2] Hal ini menunjukkan bahwa beliau diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala bukan untuk berupaya mencari dunia, mengumpulkan harta dan menimbunnya, ataupun bersungguh-sungguh mengupayakan sebab-sebab meraih dunia. Namun, beliau diutus tidak lain sebagai dai (penyeru) yang mengajak—untuk menauhidkan-Nya—dengan pedang. Sebagai konsekuensinya, beliau harus memerangi orang-orang yang tidak mau menerima dakwah tauhid, menghalalkan harta mereka, dan menawan wanita-wanita mereka, sehingga rezeki beliau berasal dari rampasan perang (fai’) dari harta para musuh.

Sesungguhnya, harta itu diciptakan oleh Allah untuk anak Adam tidak lain agar mereka menjadikannya sebagai sarana untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Maka dari itu, barang siapa yang justru menjadikan harta tersebut sebagai sarana untuk kufur dan berbuat syirik kepada Allah, Allah akan menguasakan harta tersebut kepada Rasul-Nya dan para pengikut Rasul, agar direbut darinya dan diberikan kepada pihak yang lebih berhak terhadap harta tersebut, yaitu para ahli ibadah, ahli tauhid, dan ahli ketaatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Anfal: 69)

[3] Yang dimaksud adalah para ahli ijtihad (mujtahid), yang memang mencapai derajat mujtahid dan memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, tetapi salah dalam ijtihadnya sehingga mengambil kesimpulan hukum yang ternyata bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Dia sama sekali tidak bermaksud menyelisihi atau menentang as-Sunnah. Bahkan, prinsip dasar yang menjadi pegangannya adalah komitmen untuk senantiasa berittiba’. Namun, bisa jadi, karena belum sampainya dalil kepadanya atau karena faktor-faktor lainnya, dia menarik kesimpulan yang menyelisihi as-Sunnah. Misalnya, al-Imam Malik rahimahullah yang berpendapat bahwa tidak ada doa iftitah dalam shalat, padahal jelas dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ada doa iftitah.

Pendapat al-Imam Malik tersebut bukan karena beliau bermaksud menyelisihi atau menentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Namun, bisa jadi, beliau berpendapat demikian karena belum sampainya hadits-hadits tentang doa iftitah.

Tentang mujtahid yang demikian, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

«إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Apabila seorang hakim memberikan hukum, lalu berijtihad dan benar, dia mendapatkan dua pahala. Apabila dia memberikan hukum, lalu berijtihad tetapi salah, dia mendapat satu pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah z)

[4] Dinukil secara ringkas dengan sedikit penyesuaian, dari kitab al-Hikam al-Jadirah bi al-Idza’ah karya al-Imam Zainuddin ‘Abdurrahman bin Rajab al-Hanbali, yang dikenal dengan Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah.

[5] Yaitu membiarkan susu hewan kambing atau unta tidak diperah, dalam rangka menipu pembeli.

[6] Yakni dia menolak hadits tersebut.