Islam mengajarkan etika yang sangat luhur ketika seseorang berada di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Apalagi dalam hidupnya yang singkat ini, dia sangat butuh kepada Allah yang telah menciptakannya, yang Mahatahu akan kebutuhan dan keadaan dirinya. Oleh sebab itu, sangatlah pantas baginya memahami bagaimana seharusnya dia bersikap kepada Rabbnya rabbul ‘alamin.
Para ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahumullah, serta selain keduanya telah menguraikan adab-adab berdoa dalam karya-karya mereka. Berikut ini beberapa adab yang seharusnya kita lakukan dalam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
1. Membuka doa dengan sanjungan atau pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bershalawat atas Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Inilah salah satu adab yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Suatu ketika, pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , ada seorang sahabat yang memasuki masjid lalu mengerjakan shalat. Setelah itu, dia langsung berdoa tanpa memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan membaca shalawat atas Nabi shallahu ‘alaihi wassalam. Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
عَجِلَ هَذَا
“Dia tergesa-gesa (dalam berdoa).”
Beliau pun memanggil sahabat tersebut, lalu berkata kepadanya dan kepada sahabat yang lain,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak berdoa, mulailah dengan memuji Rabbnya Jalla wa ‘Azza dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat atas Nabi n; sesudah itu, berdoalah dengan sesuatu yang diinginkannya.”[1]
Oleh karena itu, orang yang berdoa selayaknya bersikap lemah lembut dan sopan agar permintaannya terkabul. Di antara sikap lemah lembut dan sopan itu ialah menyanjung dan memuji Allah ‘azza wa jalla, serta bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum berdoa.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, ada tiga tempat bershalawat atas Nabi ketika berdoa, yaitu:
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam hadits Fadhalah bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu di atas, dan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,
كُنْتُ أُصَلِّي، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ مَعَهُ، فَلَمَّا جَلَسْتُ، بَدَأْتُ بِالثَّنَاءِ عَلَى اللهِ، ثُمَّ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُم دَعَوْتُ لِنَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَلْ تُعْطَهْ، سَلْ تُعْطَهْ
“Saya pernah shalat ketika Nabi sedang bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Setelah duduk, saya mulai memuji Allah dan bershalawat atas Nabi , kemudian berdoa untuk diri saya. Tiba-tiba, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah, pasti engkau diberi. Mintalah, pasti engkau diberi’.”[2]
Tempat yang kedua dan ketiga ini disebutkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُّعَاءِ وَفِي وَسْطِ الدُّعَاءِ وَفِي آخِرِ الدُّعَاءِ
“Jadikanlah aku di awal, di tengah, dan di akhir doa.”
Akan tetapi, hadits di atas dinyatakan lemah oleh al-Imam al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’ az-Zawaid (10/155) dan oleh al-‘Uqaili v dalam adh-Dhu’afa (1/61)[3].
Hubungan doa dengan sanjungan, pujian, dan shalawat dijelaskan oleh hadits-hadits lainnya, seperti:
– Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
مَا مِن دُعَاءٍ إِلاَّ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada satu pun doa melainkan ada hijab (penghalang) antara dia dan Allah, sampai diucapkan shalawat atas Nabi .”[4]
– Hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
الدُّعَاءُ مَوْقُوفٌ بَينَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ، لاَ يَصْعَدُ حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Doa itu tertahan di antara langit dan bumi, tidak dapat naik hingga engkau membaca shalawat atas Nabimu n.”[5]
2. Dalam keadaan suci
Adalah kebiasaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam selalu berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan suci, baik dengan wudhu maupun tayamum.
Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Ketika Abu ‘Amir terluka, dia meminta agar anak panah yang tertancap di lututnya dicabut. Setelah anak panah itu dicabut, memancarlah darah segar dari lukanya. Abu ‘Amir pun berkata, ‘Wahai anak saudaraku, sampaikan salamku untuk Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam. Katakan kepada beliau agar memintakan ampunan untukku.’
Abu ‘Amir menahanku bersamanya. Tidak lama kemudian, dia pun meninggal dunia.
Aku pun kembali dan menemui Nabi shallahu ‘alaihi wassalam yang sedang berbaring di atas kerikil yang membekas di punggung dan lambung beliau. Aku menceritakan keadaanku bersama Abu ‘Amir. Setelah itu, aku berkata, ‘Dia memohon agar Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memintakan ampunan untuknya.’
Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam pun meminta air, lalu berwudhu dan mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعُبَيْدٍ أَبِي عَامِرٍ
“Ya Allah, berikanlah ampunan untuk ‘Ubaid Abu ‘Amir.”[6]
3. Menghadap kiblat (Ka’bah) dan mengangkat kedua tangan
Menghadap kiblat adalah salah satu adab berdoa. Kiblat shalat sama dengan kiblat doa. Mengangkat kedua tangan (ketika berdoa) juga termasuk adab berdoa. Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
رَفْعُ الْيَدَيْنِ مِنَ الْاِسْتِكَانَةِ الَّتِي قَالَ اللهُ: ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ
“Mengangkat kedua tangan termasuk sikap istikanah yang disebutkan oleh Allah,
ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ
“…maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (al–Mu’minun: 76)[7]
Jadi, mengangkat kedua tangan ketika berdoa artinya menampakkan ketundukan dan kesungguhan dalam mengharapkan manfaat atau meminta sesuatu kepada Allah l. Bahkan, berdoa sambil mengangkat kedua tangan termasuk salah satu sebab terkabulnya doa. Nabi shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ، يَسْتَحِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفَرًا
“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Dzat Yang Maha Pemalu lagi Maha Pemurah. Allah malu kepada hamba-Nya ketika dia mengangkat kedua tangannya ke hadapan Allah, lalu menurunkannya kembali dalam keadaan hampa.”[8]
Di dalam Shahih al–Bukhari (no. 3960), disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud a menceritakan, “Nabi shallahu ‘alaihi wassalam menghadap kiblat dan mendoakan kejelekan atas beberapa tokoh Quraisy, yaitu Syaibah bin Rabi’ah, ‘Utbah bin Rabi’ah, al-Walid bin ‘Utbah, dan Abu Jahl.”
Demikian pula halnya dalam peristiwa Perang Badr, seperti yang diceritakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Setelah Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam melihat bahwa pasukan muslimin hanya berjumlah sekitar tiga ratus orang lebih, sedangkan pasukan musyrikin hampir seribu orang, beliau pun masuk ke tenda yang sudah disediakan. Beliau menghadap kiblat lalu mengangkat kedua tangan dan berdoa, “Ya Allah, tunaikanlah janji-Mu kepadaku….”[9]
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah menguraikan beberapa posisi tangan ketika diangkat dalam berdoa. Kata beliau, “Ketika meminta suatu kebutuhan, hendaklah engkau mengangkat kedua tanganmu sejajar dengan bahu. Ketika beristighfar, hendaklah engkau memberi isyarat dengan satu jari (telunjuk). Adapun ketika ber-ibtihal (berdoa dalam keadaan mendesak), engkau mengangkat kedua tanganmu setinggi-tingginya.”[10]
4. Berdoa dengan lafadz yang ma’tsur (dinukil dari al–Qur’an dan as–Sunnah)
Semestinya setiap muslim meyakini bahwa tidak ada lafadz yang lebih baik daripada lafadz-lafadz yang ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Ditambah lagi, lafadz-lafadz al-Qur’an dan as-Sunnah ini mengandung banyak kebaikan dan keberkahan.
Akan tetapi, setan mengelabui kita, lalu mengirimkan segelintir orang yang berwatak buruk dan mengajarkan doa-doa buatan mereka, sehingga kita lalai meneladani junjungan kita, Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wassalam.
Hal-hal seperti inilah yang mendorong sebagian ulama besar kaum muslimin menulis buku-buku tentang doa. Al-Imam ath-Thabarani, misalnya, menulis Kitab ad–Du’a. Dalam mukadimah kitab itu, beliau memaparkan alasan penulisan kitab tersebut, “Kitab ini sengaja saya susun untuk menghimpun doa-doa Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam. Adapun yang mendorong saya melakukannya adalah saya melihat kebanyakan kaum muslimin lebih cenderung kepada doa-doa yang mengandung sajak atau doa-doa yang dibuat untuk dibaca pada hari-hari tertentu oleh beberapa penulis, yang sebetulnya tidak pernah diriwayatkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam,, sahabat beliau, ataupun tabi’in. Padahal, ada riwayat dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam yang menyebutkan ketidaksenangan beliau terhadap doa-doa yang berbentuk sajak dan melampaui batas. Oleh sebab itulah, saya menyusun kitab ini dengan sanad-sanad yang dinukil dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam.”
Seorang mukmin tentu sangat mengagungkan al-Qur’an dan as-Sunnah melebihi perkataan siapa pun, bagaimanapun tingginya nilai sastra perkataan tersebut. Seindah apa pun kalimat atau ungkapan yang dibuat manusia, tidak mungkin dapat meniru keindahan kalimat-kalimat dalam Kitab Suci al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam yang shahih.
Dahulu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam pernah mengajarkan doa sebelum tidur kepada al-Bara’ bin ‘Azib. Setelah itu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memerintahnya mengulangi bacaan doa tersebut. Al-Bara’ pun membacanya,
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ …
“Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu....”
Ketika sampai pada bagian akhir, al-Bara’ membaca,
وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
“…dan (aku beriman) kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.”
Mendengar bacaan ini, Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لاَ، قُلْ: وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، وَلاَ تَقُلْ: وَبِرَسُوْلِكَ
“Tidak. Katakanlah وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ (dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus), dan jangan kaukatakan وَبِرَسُوْلِكَ (dan aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus).”
Jadi, lafadz yang benar adalah:
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu, menghadapkan wajahku kepada-Mu, memasrahkan urusanku kepada-Mu, dan menyandarkan punggungku kepada-Mu, dengan penuh harap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari-Mu selain hanya kepada-Mu. Aku beriman kepada Kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.”[11]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam mengoreksi bacaan al-Bara’ karena rasul yang diutus itu ada yang berasal dari manusia, ada pula yang dari malaikat. Adapun nabi, hanya ada dari manusia. Oleh karena itu, ketika Anda mengatakan, ‘Dan (aku beriman) kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus’, berarti Anda telah menyatukan antara syahadah (kesaksian) nubuwwah dan risalah bagi Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wassalam. Dengan demikian, perkataan Anda, ‘Dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus’ lebih utama daripada, ‘Dan kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus’.”[12]
Ibnu Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i menerangkan dalam Fathul Bari (11/112), “Pendapat yang lebih bagus tentang hikmah teguran Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam kepada al-Bara’ yang mengganti lafadz ‘nabi’ dengan lafadz ‘rasul’ adalah bahwa lafadz-lafadz zikir itu bersifat tauqifiyah (ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah). Di samping itu, lafadz-lafadz tersebut juga mempunyai keistimewaan dan rahasia yang tidak mungkin dicampuri oleh kias, sehingga harus dihafal sebagaimana adanya.”
Bunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyatakan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ، وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ
“Rasulullah n menyukai jawami’ud du’a dan meninggalkan hal-hal selain itu.”[13]
Al–Jawami’ad-du’a artinya doa-doa yang menghimpun berbagai tujuan yang baik atau maksud-maksud yang benar. Dapat diartikan pula sebagai doa yang menghimpun berbagai sanjungan kepada Allah l dan etika melakukan permintaan.[14]
[1] HR. at-Tirmidzi (no. 3477) dan Abu Dawud (no. 1483) dari Fadhalah bin ‘Ubaid a, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani.
[2] HR. at-Tirmidzi (no. 593).
[3] Lihat juga tahqiq Jala’ul Afham hlm. 245.
[4] HR. ad-Dailami (4/74 no. 6148) dengan sanad yang lemah. Di dalamnya ada al-Harits al-A’war, dia lemah dan dinilai dusta oleh asy-Sya’bi. Selain itu, di dalamnya ada ‘an’anah (riwayat dengan ‘an) Abu Ishaq as-Sabi’i, beliau seorang mudallis. Hadits ini penguatnya adalah hadits ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
[5] HR. at-Tirmidzi (no. 486), mauquf pada ‘Umar, dan dinilai hasan oleh asy-Syaikh al-Albani (lihat ash-Shahihah no. 2035). Hadits ini menguatkan hadits ‘Ali sebelumnya. Wallahu a’lam.
[6] HR. al-Bukhari (no. 4323) dan Muslim (4/1943).
[7] HR. al-Hakim (2/586 no. 3981) dan al-Baihaqi (2/75 no. 2357).
[8] HR. Abu Dawud (no. 1488), at-Tirmidzi (no. 3556), Ibnu Majah (no. 3865), dan al-Hakim (1/497)—beliau menilainya shahih, demikian pula asy-Syaikh al-Albani.
[9] HR. Muslim (no. 1763), Ahmad (no. 208), dan at-Tirmidzi (no. 3081).
[10] HR. Abu Dawud (no. 1491), dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani.
[11] HR. al-Bukhari (1/71 no. 247) dan Muslim (8/78 no. 2710, 57 & 58).
[12] Syarh Riyadhush Shalihin (1/92), karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah .
[13] HR. Abu Dawud (no. 1482), dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
[14] An-Nihayah (1/295).