Mbah Fanani Sang Pertapa Tangguh?
Pertanyaan:
Apakah bertapa atau bersemedi itu bagian dari Islam ? Bisakah amalan Mbah Fanani yang bertapa puluhan tahun dan membisu di dataran tinggi Dieng sebagai bukti bahwa dia seorang wali ?
Jawaban:
Bertapa atau semedi adalah kebid’ahan. Tidak ada satupun ayat Al Qur’an dan Hadits nabi yang memerintahkan dan mengajarkan kita untuk beribadah kepada Alloh dengan cara bersemedi, apalagi puluhan tahun sembari membisu dan tidak berbicara.
Apa jadinya dunia ini jika manusia bertapa puluhan tahun.
Shahabat nabi terlebih Al Khulafaur Rosyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Rodhiyallohu’anhu m, mereka adalah wali wali Alloh, manusia manusia terbaik setelah para nabi dan rasul.
Rosululloh berwasiyat agar kita mengikuti jejak mereka, Khulafaur Rasyidin.
Sungguh mereka adalah kaum yang memenuhi hidupnya dengan iman dan amal Sholih. Waktu mereka diberkahi dengan berjuang, berjihad, mempelajari ilmu, mengamalkan ilmu dan menebarkan ilmu ke seluruh penjuru bumi.
Mereka para shahabat bukanlah para Pertapa ! Mereka bukan ahli bersemedi !
Apa jadinya keluarga kita dan anak-anak kita jika kita bersemedi sambil membisu puluhan tahun. Tidak ada dzikir, tidak ada sholat, tidak ada membaca Al Qur’an. Sungguh keluarga kita akan terbengkalai. Rusak keluarga, hancur pendidikan anak anak kita.
Jika seseorang bertapa, Apa yang akan di katakan dihadapan Alloh nanti ketika dihisab amalan sholat kita ? Bukankah nabi pernah mengatakan bahwa amalan yang pertama kali dihisab atas seorang hamba adalah sholat ? Apabila baik sholatnya maka akan baik seluruh amalannya, sebaliknya jika amalan shalat seseorang jelek akan jelek pula seluruh amalan.
Fanani bukan pertapa dan tidak sedang bertapa. Dia bukan petapa namun dia adalah sosok orang gila dengan segala perbuatannya yang tidak dicatat sebagai amalan, sebagaimana sabda Rasulullah shollallohu’alaihi wasallam dari shahabat Ali bin Abi Thalib.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Mendekatkan diri kepada Alloh hanya dilakukan dengan syariat-Nya.
Tata cara ibadah yang bukan dari Alloh dan Rosululloh semuanya tertolak meskipun pelakunya menganggap amalan tersebut sebagai ibadah.
Dahulu orang-orang Arab thawaf Mengelilingi Kabah dengan niat taqorrub kepada Alloh dengan telanjang. Alasan mereka telanjang, karena baju mereka diperoleh dg cara yg tidak baik, sehingga tidak pantas untuk Thawaf dg pakaian itu.
Apakah amalan ahlul jahiliah merupakan kebaikan karena mereka menganggapnya sebagai kebaikan (bid’ah Hasanah)?
Bagi para pelakunya, hal itu baik. Namun menilai suatu amalan sebagai ibadah harus dengan bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah.
Bertapa, ini bukan ajaran islam. Ini kebid’ahan.
Bagaimana mungkin seorang menjadi wali dengan amalan kebid’ahan. Justru sebaliknya, kebidahan menjerumuskan pelakunya kepada kesesatan dan neraka. Wali Alloh adalah mereka yang beriman dan bertaqwa.
Baca artikel: Fanani Bukan Wali