Problematika Umat
Problematika Umat oleh Abu Ismail Rijal

al-albani imam ahlul hadits abad ini

6 tahun yang lalu
baca 6 menit

Soal:

Afwan ustadz ana mau tanya:
kenapa syaikh al albany rahimahulloh bisa jd seorang muhaddits? keutamaan apa yg beliau miliki dibanding ulama² yg lain? dan siapa saja guru² beliau? jazakumullohu khoiron

Jawab:

Untuk menjawab sebagian pertanyaan di atas, berikut kita nukilkan sebagian dari tulisan Al Ustadz Qomar Su’aidi di majalah Asy-Syariah.

Asy Syaikh al-Bani Pakar Ilmu Hadits Abad Ini

Dari Asma’ bintu Yazid, ia berkata bahwa Rasulullah shollallohu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ذْبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ بِالْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa membela kehormatan saudaranya bukan di hadapannya, maka pasti Allah l akan membebaskannya dari neraka.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abid Dunya, ath-Thabarani, dan yang lain. Lihat Shahih at-Targhib no. 2847)

Orangnya sangat berwibawa, namun begitu dekat dengan orang lain. Kecakapannya dalam berbicara membuat orang tak bosan bermajelis dengannya. Posturnya tinggi, gagah, bertopikan kopiah, dadanya bidang. Warna kulitnya putih kemerahan, layaknya orang-orang Eropa. Jenggot putih menghiasi penampilannya, apalagi saat dipoles dengan semir merah kecokelatan, semakin menambah ketampanannya. Langkah kakinya lebar, selaras dengan tubuhnya yang besar. Tak mudah seseorang mengimbanginya, walau ia telah berusia senja.
Dialah asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bin Nuh Najati, berkuniah dengan Abu Abdurrahman.

Al-Albani adalah nisbat kepada negeri asalnya, Albania.
Beliau dilahirkan di kota Ashqadar, ibu kota Albania pada waktu itu, pada tahun 1333 H atau 1914 M. Beliau tinggal di kota tersebut selama kurang lebih sembilan tahun.

Ayah beliau adalah seorang ulama di negeri tersebut, ahli fikih Hanafi, yang dahulunya belajar ilmu syar’i di Istanbul.

Saat komunis menguasai daerah tersebut di bawah kepemimpinan Ahmet Zogu, sang ayah mengajak keluarganya untuk berhijrah, demi keselamatan agama mereka, yaitu saat sang pemimipin mulai menerapkan pola hidup ala Barat, serta menebarkan kerusakan moral dan pemahaman yang sesat. Bahkan, dia berangsur-angsur mengebiri syariat Islam, sampai pada tingkatan mengganti lafadz azan dengan bahasa Albania.

Damaskus, ibu kota Syria yang di masa dahulu masuk wilayah Syam, menjadi tujuan ayahnya. Daerah ini menjadi pilihan ayahnya karena dahulu Nabi shollallohu’alaihi wasallam menyebut-nyebut keutamaan negeri Syam.
Al-Albani kecil mulai tumbuh besar, memulai lembaran barunya bersama keluarga di negeri keduanya.

Ayahnya memasukkannya di Madrasah al-Is’af al-Khairiyah al-Ibtidaiyah—setingkat sekolah dasar—di Damaskus, lalu ayahnya memindahkannya ke madrasah lain. Di situlah ia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya.
Ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah tingkat lanjutan, karena beliau memandang bahwa sekolah akademik tidak memberikan manfaat yang besar, selain sekadar seorang anak belajar membaca dan menulis. Namun, bukan berarti ayahnya berhenti mendidiknya. Bahkan, hal itu demi program pendidikan pribadi yang lebih terarah.

Ayahnya pun membuatkan untuknya kurikulum yang lebih fokus. Melalui kurikulum tersebut, beliau belajar : al-Qur’an dan tajwidnya, ilmu sharaf, dan fikih melalui mazhab Hanafi karena ayahnya termasuk ulama mazhab tersebut.

Selain belajar kepada ayah sendiri, tak luput pula beliau belajar kepada beberapa syaikh dan ulama teman-teman ayahnya.

Kecerdasan begitu tampak dalam proses belajarnya. Semasa ibtidaiyah, tak jarang gurunya menjadikannya sasaran terakhir sebuah pertanyaan di saat murid-murid yang lain tidak mampu menjawab. Membaca adalah hobi yang sangat digandrunginya sejak masa kecil. Waktu-waktu luang tidak beliau biarkan berlalu tanpa membaca. Sampai suatu saat beliau berkata mengenang masa kecilnya, “Di awal usiaku, aku baca sesuatu yang dapat dibaca, dan yang tak dapat dibaca.” Dua modal pokok ini, kecerdasan dan hobi membaca, terus menyertainya hingga akhir hayatnya.
Proses belajar terus dijalaninya. Seiring dengan usianya yang semakin dewasa, tak lupa ayahnya membekalinya keahlian dalam hal pekerjaan untuk menjadi modal maisyah (penghidupan)nya kelak. Tukang kayu, itulah profesi awalnya. Namun, berjalan sekian waktu, pekerjaan tersebut tidak begitu menjanjikan baginya. Akhirnya, ayahnya menawarinya untuk mengikuti profesi sang ayah: menjadi tukang reparasi jam. Ilmu sang ayah dalam profesi ini dia warisi hingga akhirnya beliau sangat mahir dalam keahlian ini. Beliau lantas membuka sendiri toko untuk reparasi jam. Julukan tukang jam atau as-sa’ati pun tersematkan pada beliau saat itu.

Dalam salah satu blog Jamaah Tabligh, ada tuduhan yang ingin merendahkan Asy syaikh dengan bahasa yang sangat jelek dan tidak ilmiyah, dengan mengatakan:

“Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).”

Rasanya tak perlu saya jawab panjang lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum, omongan orang yang tidak tahu ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits. Begitulah seseorang apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham ilmu hadits tidak akan meragukan keilmuannya. Bisa jadi, penulis tersebut tidak pernah membaca Silsilah ash-Shahihah dan kitab-kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak bisa membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah, kesibukan Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain (tidak mempedulikan ilmu Al Kitab dan As Sunnah).

Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam

Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).

Demikian tertulis dalam blog JT tersebut. Aneh bila pekerjaan yang halal itu dicela, padahal Nabi shollallohu’alaihi wasallam telah menganjurkan makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal walupun tampak sepele,

لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.

“Seseorang mengikat seikat kayu bakar lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak memberinya.” (Sahih, HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya sendiri.” (Sahih. HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Bagaimana dengan dua hadits di atas? Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya sebutkan bahwa yang menyatakan sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?

Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor pajak.

”Nabi Zakariya dahulu adalah seorang tukang kayu,” (Sahih, HR. Muslim)

*Tuduhan: Tidak Berguru kepada Ahli Hadits*

Tentu itu hanya sebatas tuduhan. Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk diajari khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka bukan guru biasa, bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.
Beliau pun ikut serta dalam seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad Bahjat al-Baithar. Dengan demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu, beliau bukan seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat dan kunci-kunci ilmu telah beliau miliki.
Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu, asy-Syaikh Muhammad Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits sehingga memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah.

Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam mengarungi lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu yang selama ini telah tertanam dalam diri beliau….

(Tulisan lengkap bisa dibaca di Asy Syariah ed_77)

Pujian para ulama di abad ini, dan karya karya beliau yang sangat banyak dan memenuhi perpustakaan perpustakaan islam dan menjadi referensi utama bagi penelitian penelitian di berbagai universitas adalah sebagian kecil dari bukti akan keilmuan beliau rohimahulloh.

Oleh:
Abu Ismail Rijal