Zaid adalah putra Haritsah bin Syurahil al-Kalbi, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian memerdekakannya dan menjadikannya sebagai anak sehingga dahulu Zaid dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad, hingga Allah menurunkan firman-Nya
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Maka orang-orang pun memanggilnya Zaid bin Haritsah. Adapun Zainab, dia adalah putri Rabab al-Asadiyah, dan ibunya adalah Umaimah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dari pihak ayah beliau.
Kisah pernikahan antara Zaid dengan Zainab, sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menikahkannya karena Zaid adalah mawla (mantan budak) dan anak angkat beliau. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melamar Zainab untuk Zaid. Namun Zainab tidak mau dan berkata, “Garis keturunan saya lebih baik darinya.”
Dan diriwayatkan bahwa terkait dengan kejadian tersebut Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan tidaklah patut bagi lelaki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Maka Zainab menerima lamaran tersebut karena taat kepada Allah Ta`ala dan memenuhi keinginan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan dia hidup bersama Zaid sekitar satu tahun. Kemudian terjadi perselisihan antara mereka berdua sebagaimana umumnya yang terjadi antara pasangan suami istri.
Lalu Zaid mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam karena kedudukan mereka berdua di hadapan beliau, mengingat Zaid adalah mantan budak dan anak angkat beliau sementara Zainab adalah putri bibi beliau dari pihak ayah, yaitu Umaimah. Ketika itu Zaid menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa dia ingin menceraikan Zainab.
Beliau menyuruhnya untuk tetap mempertahankannya dan bersabar dengannya. Di saat yang sama beliau mengetahui berdasarkan wahyu dari Allah bahwa Zaid memang akan menceraikan Zainab dan Zainab akan menjadi istri beliau, akan tetapi beliau khawatir orang-orang akan mencela beliau karena menikahi mantan istri anak sendiri yang merupakan perbuatan yang dilarang pada masa Jahiliyah. Maka Allah Ta`ala menegur beliau dengan firman-Nya,
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Maksudnya Wallahu A`lam, “Engkau menyembunyikan sesuatu yang telah Allah beritahukan kepadamu bahwa hal itu akan terjadi, yaitu Zaid akan menceraikan istrinya, Zainab, dan engkau akan menikahinya, sebagai pelaksanaan terhadap perintah-Nya dan untuk merealisasikan hikmah-Nya.
Namun engkau takut terhadap pembicaraan dan celaan orang-orang, padahal Allah lebih layak untuk engkau takuti. Maka umumkanlah apa yang diwahyukan oleh Allah kepadamu berkaitan dengan dirimu dan Zaid serta istrinya, Zainab, tanpa perlu peduli terhadap kata-kata dan cemoohan orang-orang terhadapmu.
Tentang pernikahan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan Zainab, beliau melamarnya setelah selesai masa iddahnya pasca diceraikan oleh Zaid. Allah menikahkan beliau dengannya tanpa wali dan tanpa saksi, karena beliau adalah wali seluruh kaum Mukminin, bahkan beliau lebih berhak atas mereka daripada diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Dengan ini maka Allah membatalkan tradisi Jahiliyah dan Dia menghalalkan kepada kaum Muslimin untuk menikah dengan istri anak angkat mereka yang telah ditinggal mati suami atau dicerai, sebagai rahmat-Nya untuk kaum Mukminin dan untuk menghilangkan kesulitan dari mereka.
Adapun kisah yang diriwayatkan tentang awal pernikahan tersebut, yaitu Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melihat Zainab dari balik tabir, dan hati beliau menjadi terpaut dengannya, lalu beliau tergoda olehnya dan jatuh cinta padanya, kemudian hal itu diketahui oleh Zaid, lalu Zaid pun membenci Zainab dan lebih mengutamakannya untuk Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, lalu dia pun menceraikan Zainab agar dinikahi oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, semua kisah yang seperti ini tidak ada yang diriwayatkan dengan jalur yang kuat.
Para nabi jauh lebih agung, lebih terhormat, lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dari hal-hal seperti ini, sehingga tidak mungkin hal itu terjadi pada diri mereka. Di samping itu, Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dahulu melamar Zainab untuk Zaid radhiyallahu `anhu, padahal Zainab adalah putri bibinya dari pihak ayah.
Seandainya beliau menyukainya, tentu beliau telah menikahinya sejak awal. Apalagi awalnya Zainab tidak mau menikah dengan Zaid hingga turun ayat di atas, lalu dia pun mau menikah dengannya. Sesungguhnya ini merupakan ketetapan dan pengaturan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk menghapuskan tradisi Jahiliyah dan sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia serta untuk memberikan keringanan kepada mereka. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.(37) Tidak ada sedikit pun keberatan atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.(38) (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.(39) Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antaramu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 37-40)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.