Nas-nas Alquran dan Sunnah menunjukkan kewajiban melaksanakan shalat fardu lima waktu secara berjamaah. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu” (QS. An Nisaa’ : 102)
Allah Subhaanahu wa Ta`ala memerintahkan untuk shalat berjamaah dalam kondisi yang sangat sulit dan memberikan keringanan untuk meninggalkan beberapa rukunnya dalam rangka menjaga agar shalat tetap dilaksanakan secara berjamaah di samping menjaga kemaslahatan jihad.
Hal ini menunjukkan kewajiban shalat berjamaah. Kewajiban untuk melaksanakannya di masjid ditunjukkan oleh hadits, bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam berencana untuk membakar rumah orang-orang yang tidak ikut serta shalat fardhu secara berjamaah di masjid.
Namun hal ini urung dilaksanakan karena di rumah-rumah itu terdapat para perempuan dan anak-anak yang tidak wajib menghadiri shalat jamaah di masjid. Karena itu wajib memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah di dalamnya. Hal ini dikuatkan keumuman firman Allah Ta`ala,
“Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.(17) Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah : 17-18)
Demikian juga keumuman firman Allah Ta`ala,
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang(36) Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat” (QS. An Nuur : 36-37)
Allah Subhaanahu wa Ta`ala menjelaskan bahwa memakmurkan masjid, secara umum dengan membangun, menjunjung tinggi harkatnya dan berzikir di dalamnya, dan secara khusus dengan melaksanakan shalat fardu di dalamnya, merupakan salah satu ciri orang-orang mukmin.
Allah mendorong kaum muslimin untuk melakukan hal tersebut dan menjanjikan pahala yang banyak bagi mereka. Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya adalah lelaki yang hatinya selalu terkait dengan masjid-masjid.
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, dia berkata,
“Seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid. Lelaki ini meminta Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam memberinya keringanan untuk shalat di rumah, sehingga beliau memberinya keringanan. Namun, tatkala dia hendak pergi, beliau memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan shalat?” Lelaki buta ini menjawab, ya. Beliau pun bersabda, “Penuhilah panggilan tersebut.””
Di dalam kitab Shahih Muslim ini juga terdapat riwayat dari Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu `Anhu, dia berkata,
“Siapa yang ingin berjumpa Allah besok (Hari Kiamat) sebagai seorang muslim, hendaklah dia menjaga shalat lima waktu di manapun dia mendengar panggilan shalat itu. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnah-sunnah petunjuk kepada Nabi kalian, dan sesungguhnya shalat lima waktu ini termasuk sunnah-sunnah petunjuk itu. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang tidak hadir berjamaah shalat di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Sekiranya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Tidaklah seseorang bertaharah dengan baik, kemudian dia menuju salah satu masjid, melainkan Allah akan menulis kebaikan, mengangkat derajat dan menghapus dosanya dalam setiap langkah-langkahnya. Kami melihat, tidak ada seseorang yang tidak hadir shalat berjamaah kecuali dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan dalam saf.”
Dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) terdapat riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu `Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda
“Salat seseorang secara berjamaah (di masjid) melebihi shalatnya di rumahnya dan shalatnya di pasarnya dengan kelebihan dua puluh lima derajat. Hal itu karena apabila dia berwudu dengan baik, kemudian datang ke masjid, tidak ada yang menggerakkannya kecuali shalat, tidak bermaksud kecuali hanya shalat, niscaya setiap melangkah satu langkah, Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapuskan dosanya, hingga dia masuk ke masjid. Apabila dia telah masuk masjid, diapun seperti melakukan shalat, selama shalat itu menahannya di masjid. Para malaikat terus mendoakan seseorang selama dia duduk di tempat dia shalat. Mereka berdoa, “Ya Allah rahmatilah dia. Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah terimalah taubatnya”; selama dia tidak berhadas.”
Di dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Ubay bin Ka`b Radhiyallahu `Anhu, dia berkata,
” Ada seorang lelaki dari Kaum Anshar yang rumahnya berada di paling ujung kota Madinah. Dia tidak pernah absen shalat berjamaah bersama Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Ubay berkata, kami pun merasa kasihan kepadanya. Saya katakan kepadanya, wahai fulan, seandainya engkau membeli seekor keledai yang dapat menjagamu dari cuaca yang sangat panas dan menjagamu dari binatang berbisa (maka itu lebih baik bagimu). Dia menjawab, demi Allah, saya tidak suka jika rumah saya berdampingan dengan rumah Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Ubay berkata, saya pun merasa bahwa kata-katanya itu tidak dapat diterima, sehingga saya mendatangi Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Ubay berkata, Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam memanggilnya dan mengklarifikasikan hal tersebut. Orang tersebut mengatakan bahwa dia mengharapkan pahala dari langkah-langkahnya (menuju masjid). Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam pun bersabda kepadanya, “Engkau mendapatkan pahala yang engkau harapkan.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu `Anhuma, dia berkata,
“Tanah di sekitar masjid kosong, lalu Bani Salamah ingin pindah ke dekat masjid. Berita ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda kepada mereka, “Saya mendengar bahwa kalian ingin pindah ke dekat masjid.” Mereka menjawab, benar wahai Rasulullah, kami ingin pindah. Rasulullah pun bersabda, “Wahai Bani Salamah, tetaplah di rumah-rumah kalian, karena langkah-langkah kalian (ke masjid) dicatat kebaikan.”
Dan masih banyak hadits-hadits lain yang semakna dengan hadits-hadits ini. Semua hadits ini menunjukkan bahwa maksud dari perintah tersebut bukanlah hanya melakukan shalat berjamaah, akan tetapi perintah untuk melaksanakannya secara berjamaah di masjid dalam rangka menghidupkan syiar ini di dalam rumah-rumah Allah, membersihkan diri dari sifat-sifat orang munafik dalam meninggalkan jamaah, mengharapkan pahala dari Allah, mengharapkan ampunan dari-Nya atas dosa-dosa, meninggikan derajat dengan langkah-langkah menuju masjid dan mengharapkan doa dari para malaikat agar mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah selama berada di dalam tempat shalat yang kalau bukan lantaran menunggu shalat tentu dia bebas pergi.
Barang siapa melakukan shalat jamaah di rumah, kebun atau tokonya mengikuti imam masjid lewat suara radio misalnya dan tidak hadir menyaksikan jamaah di masjid, maka hal itu menunjukkan kelemahannya dalam melaksanakan perintah-perintah syariat, keengganannya dari perkara yang melipatkan kebaikan, mengangkat derajat dan mengampuni dosa-dosanya.
Hal itu juga menyalahi perintah-perintah yang menunjukkan kewajiban melaksanakannya di dalam masjid, sehingga dia pantas mendapatkan ancaman yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak menghadiri shalat jamaah di dalam masjid.
Selain itu, mungkin sekali shalatnya ini berlangsung dalam kondisi yang membuatnya tidak sah, menurut sejumlah ahli fikih, misalnya berada sendirian di belakang saf jamaah, padahal dia dapat masuk ke dalam saf jika dia melakukan shalat di masjid, atau dia berada di depan imam.
Juga mungkin terjadi hal yang membuatnya tidak dapat mengikuti imam, seperti gangguan alat penerima gelombang atau pemancarnya, atau terputusnya aliran listrik. Hal demikian tidak akan terjadi seandainya dia melakukan shalat di tempat yang dapat melihat imam dan para makmumnya.
Dengan ini, menurut kami tidak boleh melakukan shalat sendirian di rumah atau dalam jamaah tersendiri yang terpisah dari jamaah yang ada di masjid, atau mengikuti imam masjid melalui suatu siaran.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.