Jika penumpang mobil ini atau kereta api atau pesawat atau hewan berkaki empat takut akan dirinya jika dia turun mengerjakan shalat dan dia tahu jika ia akhirkan hingga sampai di tempat yang dia bisa mengerjakan shalat dan waktunya sudah habis, maka hendaklah dia shalat sesuai kemampuannya, berdasarkan sifat umum firman Allah Ta’ala,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah : 286)
Dan
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghaabun : 16)
Dan
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untukmu dalam agama” (QS. Al Hajj : 78)
Adapun mengenai posisinya saat shalat sesuai kemana arah kendaraan tersebut ataukah dia harus selalu menghadap ke arah kiblat, atau secara terus menerus ataukah hanya di awalnya saja, ini semua dikembalikan kepada kemungkinan bagi dirinya untuk melakukannya.
Jika memungkinkan bagi dirinya menghadap kiblat pada seluruh gerakan shalat maka dia wajib melakukan hal tersebut, karena menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat fardu baik bagi yang bepergian atau mereka yang menetap.
Namun, apabila dia tidak mungkin melakukannya pada seluruh gerakan shalat, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah semampunya, sesuai dalil yang sudah disebutkan tadi. Ini semua dalam masalah shalat fardu.
Adapun dalam shalat sunah, maka hukumnya lebih longgar, seorang Muslim boleh mengerjakan shalat dalam semua kondisi yang disebutkan di atas kemana saja arah kendaraan tersebut, meskipun seandainya kadang-kadang dia bisa turun, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengerjakan shalat sunah di atas tunggangannya menghadap kemana tunggangannya mengarah.
Akan tetapi lebih utama baginya untuk menghadap kiblat saat melakukan ihram semampunya dalam mengerjakan shalat sunah ketika dia dalam bepergian.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.