Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

penderita gagal ginjal yang harus cuci darah tiga kali seminggu termasuk di bulan ramadhan

setahun yang lalu
baca 3 menit
Penderita Gagal Ginjal Yang Harus Cuci Darah Tiga Kali Seminggu Termasuk Di Bulan Ramadhan

Pertanyaan

Saya menderita penyakit gagal ginjal. Saya melakukan cuci darah tiga kali seminggu yakni setiap dua hari sekali. Di bulan Ramadhan, di antara kami (para penderita) ada yang mampu berpuasa dan ada pula yang tidak. Pertanyaan Pertama: Apakah mereka yang mampu berpuasa tetap harus menunaikannya (sekalipun melakukan cuci darah di siang hari) dan apakah ada konsekuensi hukumnya? Perlu diketahui bahwa sebagian orang mengatakan, "Puasa itu tidak sah karena ada zat-zat lain yang masuk bersama darah ke dalam tubuh." Apabila puasa itu tidak sah, maka apa yang harus dia lakukan? Apakah berkewajiban mengqada saja, memberi makan orang miskin saja, atau mengqada sekaligus memberi makan orang miskin? Apa yang harus dia lakukan untuk tahun-tahun di mana dia berpuasa namun harus menggunakan mesin cuci darah? Pertanyaan Kedua: Apakah boleh menunaikan shalat di atas mesin cuci darah tanpa berwudhu? Jika tidak boleh, pada kenyataannya kami masih berada di atas mesin saat Zuhur dan Asar tiba. Bahkan terkadang kami masih merasa lelah setelah cuci darah, hingga harus duduk sejenak sampai waktu shalat Magrib tiba, baru kami melakukan shalat keseluruhannya (Zuhur, Asar, dan Magrib). Apakah perbuatan tersebut sah?

Jawaban

Jika memang tidak mungkin menunda cuci darah sampai malam, dan pasien terpaksa melakukannya saat sedang berpuasa, maka hukum puasa menjadi batal. Sebab, dalam dirinya terjadi perputaran darah yang dikeluarkan dari dalam tubuh, lalu dimasukkan kembali setelah ditambahkan beberapa zat kimia dan nutrisi seperti glukosa dan larutan garam, sebagaimana yang dinyatakan oleh dokter spesialis.

Semua ini membatalkan puasa pasien namun pada hari cuci darah tersebut pasien tetap menjaga diri untuk menahan (tidak makan, minum, atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa) di sisa hari tersebut agar dia tetap berpuasa dengan sempurna. Akan tetapi, jika ada kebutuhan yang mengharuskannya membatalkan puasa karena sakit, maka dia boleh membatalkan puasa di sisa hari tersebut.

Jika ada harapan untuk sembuh, maka pasien dapat mengqadanya setelah pulih. Jika tidak ada harapan untuk pulih, maka dia harus memberi makan orang miskin dihitung dari jumlah hari cuci darah yang dia lakukan di siang hari pada bulan Ramadhan, besarnya satu setengah kilogram gandum, beras, atau makanan pokok penduduk setempat.

Adapun mengenai shalat, maka pasien harus menunaikannya tepat waktu, boleh sebelum atau setelah cuci darah jika memang memungkinkan. Sebab, shalat tidak boleh diakhirkan dari waktunya, atau dikerjakan sebelum masuk waktu.

Apabila cuci darah dapat menghabiskan waktu shalat, misalnya dia ketinggalan shalat jika menundanya hingga proses selesai, maka alangkah baik jika dia menunaikannya di awal waktu, jika memang memungkinkan.

Atau, dia dapat menjamaknya jika tidak mungkin melakukan shalat yang selanjutnya tepat waktu, atau karena ada kesulitan jika dilakukan setelah proses cuci darah. Dalam kondisi ini, dia boleh menjamak takdim shalat Zuhur dengan Asar di waktu Zuhur, demikian pula shalat Magrib dengan Isya.

Adapun jika cuci darah dilakukan sebelum masuk waktu, atau sebetulnya di awal waktu shalat namun tidak ada kesempatan melaksanakannya, maka dia boleh menundanya setelah proses cuci darah dengan melakukan jamak takhir terhadap shalat yang selanjutnya.

Artinya, dia boleh menjamak takhir shalat Zuhur dengan Asar, atau Maghrib dengan Isya. Semua itu dibolehkan karena pasien cuci darah hukumnya sama seperti orang sakit.

Apabila proses cuci darah itu harus dilakukan sebelum menunaikan shalat di awal dan baru selesai ketika waktu shalat telah lewat, padahal shalat yang ketinggalan tersebut bukan yang bisa dijamak—misalnya seseorang baru melakukan cuci darah setelah masuk waktu Asar atau Subuh—maka dia boleh mengakhirkan dan mengqada shalatnya setelah cuci darah meskipun sudah keluar dari waktunya, karena adanya keadaan darurat (kebutuhan mendesak). Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun: 16) dan,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286)

Selain itu, Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam juga pernah menunda pelaksanaan shalat Asar karena disibukkan memerangi orang-orang kafir ketika perang Ahzab. Dalam kondisi ini, beliau menunda shalat Asar hingga lewat Magrib, kemudian baru menunaikan shalat Magrib setelahnya.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'