Pendapat yang sahih dari dua pendapat ulama dalam masalah talkin setelah kematian adalah tidak disyariatkan, bahkan bidah, dan setiap bidah adalah sesat.
Hadis yang diriwayatkan Ath-Thabrani dalam “Al-Mu`jam al-Kabir” dari Sa`id bin Abdillah Al-Audi dari Abu Umamah Radhiyallahu `Anhu mengenai talkin mayit setelah dikuburkan disebutkan oleh Al-Haitsami pada vol. II dan III dalam kitab Majma` az-Zawaid. Dia berkata, “Dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak saya ketahui.” Demikian perkataan Al-Haitsami.
Dengan demikian, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil kebolehan menalkin mayit. Perbuatan ini adalah bidah yang ditolak agama sesuai sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam,
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal dari urusan agama kami, maka perkara itu tertolak.”
Pendapat seorang imam dari salah satu imam empat mazhab atau semisalnya, seperti Asy-Syafi`i, bukanlah dalil untuk menetapkan hukum syar`i, tetapi yang menjadi dalil adalah Alquran, sunah Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan ijmak. Sedangkan mengenai kebolehan talkin setelah kematian ini tidak ada dalilnya dari sumber-sumber hukum tersebut, sehingga harus ditolak.
Adapun menalkin orang yang akan meninggal dengan kalimat tauhid, “La ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah)” dengan memintanya menirukan bacaan orang yang menalkin, maka itu dibolehkan, agar perkataan terakhir dalam hidupnya adalah kalimat tauhid. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam pernah menalkin pamannya, Abu Thalib. Sayangnya Abu Thalib tidak menuruti beliau, bahkan perkataan terakhirnya adalah bahwa dia memilih agama Abdul Muthalib.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.