Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

musafir dan perbedaan mathla’ dalam puasa

3 tahun yang lalu
baca 2 menit
Musafir Dan Perbedaan Mathla’ Dalam Puasa

Pertanyaan

Seorang penduduk yang bernama Khuwailid al-Jad'i al-Mathiri mengajukan pertanyaan dengan mengatakan bahwa pada malam 30 Sya'ban tahun ini ia berada di Kuwait sementara radio Kuwait mengeluarkan sebuah pengumuman yang menyebutkan bahwa mereka telah melihat hilal Ramadhan pada malam Selasa, yang berdasarkan sistem penanggalan Ummul Qura bertepatan dengan tanggal 30 Sya'ban. Saat itu ia mendengarkan Radio dan mendengar dari Radio Riyadh yang mengumumkan sebuah keterangan yang berasal dari Majlis Hakim Tertinggi yang menyatakan bahwa mereka belum melihat hilal bulan Ramadhan pada malam Selasa, yang berdasarkan sistem penanggalan Ummul Qura bertepatan dengan tanggal 30 Sya'ban. Akhirnya ia mengerjakan puasa bersama penduduk negara tempat ia berada saat hilal - menurut mereka - sudah dapat dilihat. Setelah itu ia kembali ke Kerajaan (Arab Saudi) dua hari kemudian, dan dia mendapati bahwa orang-orang telah mengerjakan puasa Ramadhan selama dua hari, sedangkan bagi dirinya, hari itu adalah hari ketiga ia berbuasa. Pada akhir bulan, saat ia sudah menyelesaikan puasa 30 hari, ia merasa bingung. Apakah dia wajib berpuasa bersama kami atau harus mengakhiri puasanya? Jika Kuwait pada malam 30 Ramadhan mengumumkan bahwa mereka telah melihat hilal bulan Syawal: apakah ia harus berbuka dan mengakhiri puasa bersama orang-orang yang mengawali puasa bersamanya atau tidak? Sementara orang itu berkeyakinan bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh radio Riyadh-lah yang menurutnya paling benar. Selain itu, ia berpuasa bersama penduduk Kuwait hanya untuk menghormati waktu. Oleh karena itu, kami mohon penjelasan tentang masalah ini.

Jawaban

Jika seseorang sedang berada di suatu negara yang penduduknya sudah mulai berpuasa, maka ia wajib ikut berpuasa bersama mereka, karena hukum orang yang sedang berada di suatu negara (dalam masalah puasa ini) mengikuti hukum penduduk setempat. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad `alaihi ash-shalatu wa as-salam,

الصوم يوم تصومون والإفطار يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون

“Waktu puasa adalah hari di mana kalian puasa (mengikuti jamaah dan mayoritas umum) dan waktu berbuka (Idul fitri) adalah hari di mana kalian berbuka serta waktu Idul Adha adalah hari di mana kalian berkurban” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang baik. Hadis ini memiliki syawahid (riwayat pendukung) baik riwayat dari Abu Dawud maupun perawi-perawi yang lain.)

Kalaupun seandainya dia berpindah dari negara di mana dia memulai puasa – bersama penduduk setempat – ke negara lain, maka hukumnya – dalam hal berbuka atau meneruskan puasa – harus mengikuti hukum negara tempat dia pindah. Jika penduduk tempat dia pindah ini sudah berbuka (mengakhiri puasa) lebih awal dari negara tempat dia memulai puasa, maka dia wajib berbuka.

Namun jika dengan mengakhiri puasa dia hanya berpuasa kurang dari 29 hari, maka dia harus mengqada sehari. Sebab, satu bulan jumlahnya tak akan kurang dari 29 hari sehingga dia harus mengqada hari (puasa) yang dia tinggalkan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'