Apabila kenyataannya sebagaimana yang diceritakan penanya, maka si istri haram hukumnya bagi si suami karena ia telah murtad. Ia tidak halal baginya kecuali bila bertobat dan kembali ke agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
” Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dan Dia berfirman,
” Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka terhapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maa-idah: 5)
Pernikahan perempuan tersebut dengan penanya termasuk amalannya yang menjadi terhapus alias batal dengan kemurtadannya. Hukum syariat menetapkan, ia mesti dibunuh kecuali jika bertaubat dari kemurtadannya dan kembali ke dalam agama Islam, berdasarkan sifat umum sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam
“Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.”
Hukum di atas berlaku baik murtadnya itu atas sepengetahuan si suami maupun tidak. Namun, dalam masalah hubungan suami istri dan percintaannya dengan si istri, si suami masih dimaafkan selama ia tidak mengetahui kemurtadannya.
Adapun pertanyaan: “Apa hukum perundang-undangan dalam masalah murtad tanpa sepengetahuan saya”, pertanyaan seperti ini tidak pantas untuk diajukan kepada lembaga keislaman, karena berhukum ke selain yang diturunkan oleh Allah itu termasuk perbuatan kufur, zalim dan fasik.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.