Pernikahan sementara sama dengan nikah mut’ah sedangkan nikah mut’ah itu batil, sesuai dengan teks Al-Qur’an dan ijmak Ahlussunnah wal Jamaah. Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah Mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar.”
Dalam riwayat lain,
“(Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam) telah melarang nikah Mut`ah pada perang Khaibar.”
Ada sebuah hadis dalam Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian nikah mut’ah. Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga Hari Kiamat. Barangsiapa masih mempunyai ikatan mut’ah, maka ia hendaknya segera meninggalkannya. Janganlah kalian ambil sesuatu pun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian nikahi secara mut’ah itu.”
Berhubungan intim (bersetubuh) dalam pernikahan sementara dianggap zina, yang menimbulkan konsekuensi seluruh hukum zina bagi orang yang melakukannya padahal dia mengetahui hukum kebatilannya.
Pernikahan yang sesuai dengan syariat adalah seseorang menikahi seorang perempuan dengan maksud ingin mengarungi kehidupan rumah tangga secara langgeng dan kontinu jika istri yang dinikahinya cocok dan disukainya tetapi jika tidak, dia boleh menceraikannya. Allah Ta’ala berfirman,
“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.