Pertama, Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kaum beriman terbaik. Allah telah memuji mereka dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yang senantiasa dibaca sampai hari Kiamat. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
“Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Dan firman Allah Subhanahu,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)
Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam juga memuji mereka dan menetapkannya sebagai generasi manusia terbaik. Ia bersabda,
“Manusia yang paling baik adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka.” Muttafaqun `Alaih.
Muslim meriwayatkan hadis dari Aisyah Radhiyallahu `Anha, ia berkata,
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam: “Siapakah manusia yang baik?” Beliau menjawab: “Orang-orang (generasi) yang hidup pada masaku (sahabat ), kemudian generasi kedua (tabiin), kemudian generasi ketiga (tabiu tabiin).”
Kedua, Seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh mencaci atau melaknat salah satu dari mereka, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan Bukhari kitab Shahih dari hadis Abu Sa`id Radhiyallahu `Anhu,
“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku, kalaupun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infak satu mud atau setengah mud dari salah seorang mereka.”
Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu `Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaupun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infak satu mud atau setengah mud dari salah seorang mereka.”
Ada riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu `anhuma, ia berkata: Janganlah menghina para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Derajat salah satu sahabat yang pernah satu jam bersama Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah lebih baik dari perbuatan salah seorang di antara kamu selama empat puluh tahun.
Dalam riwayat Waki` disebutkan (lebih baik dari perbuatan salah seorang di antara kamu seumur hidupnya). Orang yang melaknat salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam radhiyahu ‘anhu jami’an berhak diberi sanksi yang keras menurut kesepakatan orang Islam, tetapi mereka berbeda pendapat, apakah dia dihukum dibunuh atau tidak.
Ketiga, semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah adil dengan jaminan keadilan, pujian, dan penyucian Allah kepada mereka serta pujian Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam dan alangkah luar biasanya nilai pujian.
Al-Khatib al-Baghdadi Rahimahullahu Ta’ala (semoga Allah Ta’ala merahmatinya) berkata: “Setiap hadis yang sanadnya bersambung antara orang yang meriwayatkan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak harus diamalkan kecuali setelah keadilan para perawinya dapat dipastikan.
Keadaan mereka harus dilihat, kecuali para sahabat yang disambungkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena keadilan para sahabat ditetapkan secara jelas dari Allah Subhanahu wa ta’ala, kesucian dan keterpilihan para sahabat diberitakan Allah dalam nash Al-Qur’an (beberapa teks Al-Qur’an dan Hadis mengungkapkan keutamaanya).”
Kemudian lanjutnya: “Seandainya keutamaan mereka yang kami sebutkan itu tidak datang dari Allah azza wa jalla dan Rasulnya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kondisi mereka yang pernah berhijrah, berjihad, menolong agama, mengorbankan jiwa dan harta, membunuh orang tua dan anak-anak, saling menasehati dalam agama, dan beriman dan berkeyakinan secara kuat tersebut tentu menghilangkan keadilan mereka dan menghapus keyakinan atas kesucian mereka dan bahwa mereka adalah lebih utama dari semua orang yang adil dan suci yang lahir setelahnya selamanya.
Ada riwayat dari Abu Zur`ah rahimahu Allah ta’ala bahwa ia berkata: jika Anda melihat orang mencela salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, maka ketahuilah dia orang zindik karena bagi kami Rasulullah adalah kebenaran dan Al-Qur’an adalah kebenaran.
Yang memberi jalan kami kepada Al-Qur’an dan sunnah ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka ingin menghilangkan saksi-saksi kami untuk menghapus Al-Qur’an dan Sunnah. Menghilangkan mereka adalah ilusi utama orang-orang zindik.”
Ijma (kesepakatan mayoritas ulama) telah meriwayatkan keadilan dan kejujuran para sahabat. Riwayat hadis mereka banyak diambil oleh para ulama, dan bagi Allah pujian dan kesempurnaan, di antara mereka adalah: al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Shalah, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-`Iraqi, dan Ibnu Hajar as Sakhawi rahimahu Allah al-Jami’,
Keempat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahu Allah ta’ala dalam kitab (Al-Aqidah Al-wasatiyah) berkata: di antara pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah hati dan lisan mereka tidak berbuat dengki kepada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana digambarkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdo’a: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dan menta’ati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam sabdanya,
“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku.” Dan seterusnya.
Mereka menerima apa yang datang dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan mayoritas ulama tentang keutamaan dan posisi para sahabat dan berusaha menghindari kelompok Syi`ah Rafidhah yang senantiasa membenci dan mencaci para sahabat dan kelompok Nawashib yang menyakiti ahli bait dengan ucapan atau perbuatan.
Mereka menahan diri untuk tidak mengomentari hal-hal yang berlangsung di kalangan sahabat dan berkata bahwa atsar-atsar yang di riwayatkan dari para sahabat ada yang bohong, ada juga yang ditambah, dikurang, dan diubah.
Yang benar adalah mereka di maafkan, sebagai mujtahid yang benar atau mujtahid yang salah, dan kesalahannya di maafkan. Meskipun demikian, mereka tidak meyakini bahwa setiap sahabat adalah terbebas dari dosa besar dan kecil, tetapi bisa jadi mereka melakukan kesalahan.
Namun, mereka memiliki banyak kebaikan dan keutamaan yang menyebabkan mereka mendapatkan ampunan atas kesalahan yang tidak diberikan orang setelahnya karena mereka memiliki kebaikan-kebaikan yang dapat menghapuskan kesalahan, satu hal yang tidak dimiliki oleh orang setelah mereka.
Ada hadits dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwasanya mereka adalah generasi terbaik dan segenggam sedekah yang dilakukan salah satu sahabat lebih utama daripada sedekah emas segunung uhud orang setelahnya.
Lagi pula, jika mereka berbuat dosa, mereka telah bertobat, melakukan kebaikan-kebaikan yang dapat menghapuskan kesalahan (tersebut), diampuni karena keutamaannya atau karena syafaat Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam karena mereka adalah yang paling berhak mendapatkan syafaatnya, atau ditimpa musibah di dunia sehingga dapat menghapuskan kesalahan mereka.
Jika kesalahan yang mereka lakukan diampuni seperti hal di atas, maka bagaimana dengan (kesalahan yang mereka lakukan) karena berijtihad; jika benar mereka mendapatkan dua pahala dan dan jika mereka salah, maka mereka mendapatkan satu pahala dan kesalahannya diampuni.
Selanjutnya, jumlah perbuatan sebagian mereka yang tidak bisa diterima itu sedikit dan jarang dibandingkan dengan keutamaan dan kebaikan kelompok sahabat dalam hal keimanan kepada Alalh dan Rasul-Nya, jihad di jalan Allah, hijrah dan pembelaan terhadap Islam, ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
Barang siapa yang menelaah sejarah dan keutamaan kelompok sahabat yang dianugrahkan Allah dengan ilmu dan mata hati, maka akan menemukan bahwa mereka adalah sebaik-baiknya makhluk setelah para Nabi, tidak ada dan tidak akan pernah ada orang seperti mereka, dan mereka adalah umat pilihan sepanjang masa dan sebaik-baiknya umat di sisi Allah. Demikianlah ungkapan Ibnu Taimiyah Rahimahu Allah.
Kelima, jika penjelasan di atas telah diketahui, maka seluruh umat Islam wajib meyakini keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kelebihannya dibandingkan orang lain, mencintai dan meridai mereka, mengingat kebaikan-kebaikan mereka, dan melawan orang yang membenci dan menyebutkan kejelakan mereka karena hal itu bagian dari keimanan dan kebenaran Islam.
Imam Abu Ja`far ath Thahawi rahimahuallah ta’ala dalam menjelaskan akidah Ahlu sunnah wal jama’ah berkata: kami mencintai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami tidak berlebihan dalam mencintai mereka atau menganggap mereka tidak pernah bersalah.
Kami membenci orang yang membenci dan menyebut hal yang tidak baik kepada para Sahabat. Kami hanya akan menyebut kebaikan para sahabat. Mencintai mereka adalah bagian dari agama, keimanan, dan kebaikan. Membenci mereka adalah bagian dari kekafiran, kemunafikan, dan kesombongan. Selesai
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.