Setelah melakukan pengkajian (terhadap permasalahan yang diajukan) maka Komite menjawab sebagai berikut:
Pertama: Hukum Aborsi
1. Pada dasarnya menggugurkan kehamilan dalam berbagai macam tahapan-tahapannya tidak dibolehkan menurut syariat.
2. Menggugurkan kehamilan pada fase pertama, yaitu masa empat puluh hari adalah tidak dibolehkan kecuali untuk menghindari mudarat yang akan terjadi atau mencapai maslahat secara syariat. Setiap kondisi dicek oleh para ahli secara medis dan syariat. Adapun menggugurkannya dalam masa tersebut karena kuatir kesulitan dalam mendidik anak-anak atau takut tidak mampu terhadap beban biaya hidup dan pendidikan, atau demi masa depan mereka, atau karena suami-isteri telah merasa cukup memiliki beberapa anak maka yang demikian itu tidak dibolehkan.
3. Tidak dibolehkan menggugurkan kehamilan jika sudah berbentuk `alaqah (segumpal darah) atau mudhghah (segumpal daging) sehingga lembaga medis yang terpercaya memutuskan bahwa membiarkannya dapat membahayakan keselamatan ibunya, yaitu dikuatirkan akan membahayakan ibunya jika dibiarkan. Apabila lembaga tersebut telah memutuskannya, maka boleh menggugurkannya setelah diupayakan seluruh sarana, karena untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut.
4. Setelah fase ketiga dan setelah sempurna empat bulan kehamilan tidak dihalalkan untuk menggugurkannya sehingga sejumlah para dokter ahli dan terpercaya memutuskan bahwa membiarkan janin di perut ibunya bisa menyebabkan kematiannya. Semua itu setelah diupayakan seluruh sarana untuk menyelamatkan kehidupan janin. Menggugurkan janin dengan syarat-syarat tersebut dibolehkan dengan tujuan mencegah mudarat yang lebih besar dan mendapatkan maslahat yang lebih besar.
Kedua: Hukum setelah menggugurkan kehamilan
Hukumnya berbeda-beda menurut perbedaan masa keguguran pada setiap empat fasenya , sebagai berikut:
Hukum Pertama: Jika kehamilan gugur pada dua fase yang pertama, yaitu: fase nuthfah (sperma) yang bercampur dari dua tetesan air (sperma dan ovum, pent.), fase tersebut terjadi selama empat puluh hari pertama berupa menempelnya sperma pada rahim, dan fase ‘alaqah (gumpalan darah), yaitu: fase yang merubahnya menjadi darah beku dalam masa empat puluh hari yang kedua sampai sempurna masa delapan puluh hari.
Pada kondisi ini, tidak terdapat hukum atas kegugurannya pada fase nuthfah atau fase ‘alaqah tanpa ada perbedaan pendapat. Seorang wanita tetap meneruskan puasa dan salatnya seperti tidak terjadi keguguran. Dia wajib berwudu di setiap waktu salat, jika terdapat darah seperti hukum istihadhah.
Hukum Kedua: Jika kehamilan gugur pada fase ketiga, yaitu: fase mudhghah yaitu: segumpal daging. Pada fase ini tampak bagian-bagian tubuh, gambaran, bentuk dan penampilannya yaitu pada masa empat puluh hari yang ketiga dari hari delapan puluh satu hari sampai sempurna seratus dua puluh hari. Ada dua kondisi, yaitu:
1. Segumpal darah tersebut tidak memiliki bentuk seperti manusia secara lahir dan tersembunyi, dan juga tidak ada kesaksian para bidan bahwa hal itu merupakan permulaan manusia. Maka hukum gugurnya mudhghah tersebut disamakan dengan hukum keguguran pada dua fase yang pertama, dan tidak terdapat hukum atasnya.
2. Mudhghah tersebut sudah berbentuk sempurna manusia atau bentuk lahir dari penciptaan manusia; baik itu berupa tangan maupun kaki dan semisalnya, atau bentuk tersembunyi, atau adanya kesaksian para bidan bahwa hal itu permulaan manusia, maka gugurnya mudhghah dalam fase ini sama dengan hukum nifas dan selesainya idah.
Hukum Ketiga
Jika kehamilan gugur pada fase keempat, yakni: setelah ditiupkan roh, yaitu dari awal bulan kelima dari berlangsungnya seratus dua puluh satu hari kehamilan dan sesudahnya. Ada dua kondisi, yaitu:
1. Tidak kelihatan bentuknya, maka hukumnya adalah kondisi kedua dari mudhghah yang telah disebutkan. Dan ditambahkan, bahwa dia dimandikan, dikafani, disalatkan, diberikan nama dan akikah.
2. Kelihatan bentuknya, maka hukumnya seperti hukum bayi sempurna, dan hukumnya seperti kondisi sebelumnya, dan ditambahkan di sini, yaitu bahwa dia memiliki harta yang berasal dari wasiat dan warisan, sehingga dia mewarisi dan mewariskan dan lain sebagainya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.