Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

mempertimbangkan perbedaan mathla’ dalam penentuan awal puasa

3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Mempertimbangkan Perbedaan Mathla’ Dalam Penentuan Awal Puasa

Pertanyaan

Kami mendengar dari radio, berita dimulainya puasa di Kerajaan Arab Saudi, padahal kami yang ada di Pantai Gading, Guinea, Mali , dan Senegal, belum melihat hilal meskipun sudah ada usaha untuk melihatnya. Akhirnya, terjadi perbedaan pendapat di antara kami. Sebagian dari kami - dan jumlah mereka hanya sedikit - mengerjakan puasa berdasarkan apa yang mereka dengar dari radio, sementara sebagian lagi menunggu sampai bulan sabit dapat dilihat di negara kami, sebagai bentuk pengamalan atas firman Allah Ta'ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
" Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al Baqarah : 185) Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)." Serta sabda beliau, "Setiap daerah memiliki rukyat sendiri-sendiri." Hingga akhirnya perdebatan antara kedua belah pihak sampai pada puncaknya. Oleh karena itu, tolong beri kami fatwa mengenai hal itu.

Jawaban

Perbedaan tampaknya bulan termasuk aksioma, baik dari sisi panca indera maupun akal. Hal ini tidak pernah diperdebatkan kaum Muslimin. Yang menjadi perdebatan di antara para ulama adalah: apakah perbedaan tampaknya bulan itu diperhitungkan dalam penentuan awal dan akhir puasa Ramadan atau tidak? Penyebabnya adalah karena masalah ini termasuk persoalan teoritis yang dapat diselesaikan dengan ijtihad.

Karena itulah para ulama telah berbeda pendapat sejak dahulu hingga sekarang, dan terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian dari mereka memperhitungkan perbedaan tampaknya bulan dalam menentukan awal dan akhir bulan, sementara sebagian lagi berpendapat bahwa perbedaan tampaknya bulan tidak perlu diperhitungkan saat menentukan awal dan akhir bulan.

Setiap kelompok mengajukan dalil dari Alquran, Sunah, dan kiyas. Bahkan keduanya terkadang mengajukan dalil dengan teks agama yang sama. Contohnya adalah kesamaan mereka dalam mengajukan dalil firman Allah Ta`ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah : 185)

Dan firman Allah Ta`ala,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.” (QS. Al Baqarah : 189)

Sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam,

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).”

Dan seterusnya, serta teks-teks yang lain. Hal itu terjadi karena kedua belah pihak memiliki pemahaman yang berbeda terhadap teks-teks tertentu, serta menggunakan cara yang berbeda dalam menggali dalil dari teks-teks tersebut.

Perbedaan ini tidak menimbulkan dampak negatif karena tujuan mereka baik, dan setiap pihak menghormati ijtihad pihak lain. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana para ulama fikih zaman dahulu telah berbeda pendapat dalam masalah ini dan setiap pihak memiliki dalil sendiri-sendiri.

Yang perlu kalian lakukan jika kalian mendengar bahwa di daerah lain – yang penampakkan bulannya berbeda dengan yang ada di wilayah kalian – bulan sudah dapat dilihat adalah: menyerahkan keputusan dimulainya puasa atau tidak, kepada pihak yang berwenang di negara kalian.

Jika pihak yang berwenang di negara kalian telah mengeluarkan keputusan – baik itu keputusan untuk memulai puasa maupun tidak – maka kalian wajib mematuhinya karena keputusan pemerintah semestinya dapat menghilangkan perbedaan semacam ini. Berdasarkan hal ini, masyarakat harus kompak – baik berpuasa maupun tidak – mengikuti keputusan pihak yang berwenang sehingga persoalannya selesai.

Adapun ungkapan, “Setiap daerah memiliki rukyat sendiri-sendiri,” sebenarnya bukanlah hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun termasuk pernyataan kelompok yang memperhitungkan perbedaan tampaknya bulan dalam menentukan awal dan akhir puasa Ramadan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'