Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

memberi nafkah kepada saudara yang membutuhkan

2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Memberi Nafkah Kepada Saudara Yang Membutuhkan

Pertanyaan

Segala puji hanya bagi Allah. Amma ba'du, Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah menelaah tentang permohonan fatwa dari Kepala Dewan Khusus Kerajaan, No. 1489/93 H, tanggal 19/3/1393 H, yang dilimpahkan kepada Komite Sekretariat Jenderal Dewan Ulama Senior. Direktur Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Penyuluhan menjelaskan bahwa seorang wanita mengirim pengaduannya kepada Yang Mulia Raja tentang suaminya yang wafat dan meninggalkan enam orang anak yang masih kecil-kecil, dan dua anak laki-laki yang telah bekerja, dari istri yang berbeda. Wanita itu meminta kepada mereka berdua untuk memberi nafkah saudara-saudara seayah mereka. Oleh karena itu, Kepala Dewan bertanya apakah menurut syariat keduanya diwajibkan memberi nafkah kepada saudara-saudaranya? Jawaban fatwa atas hal ini akan ditembuskan kepada Yang Mulia Raja.

Jawaban

Menurut pendapat yang paling benar, bahwa seseorang berkewajiban memberi nafkah kerabat dekatnya, dengan tiga syarat:

Pertama, orang yang diberi nafkah itu adalah orang miskin, tidak memiliki harta atau penghasilan, yang bertujuan agar mereka tidak meminta sedekah kepada orang lain.

Kedua, nafkah yang diberikan adalah kelebihan dari kebutuhan pribadinya dan orang-orang yang lebih berhak menerima nafkah seperti istri, orang tua, dan anaknya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah,

إذا كان أحدكم فقيرًا فليبدأ بنفسه فإن كان فضل فعلى عياله فإن كان فضل فعلى قرابته

“Jika salah seorang dari kalian fakir, maka mulailah (memberi nafkah) dari dirinya sendiri. Jika terdapat sisa dari hartanya, maka hendaknya dia menafkahi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Jika masih terdapat kelebihan dari hartanya, maka hendaklah dia menafkahi para kerabatnya.”

Ketiga, orang yang memberi nafkah tersebut adalah ahli warisnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

“Dan pewaris pun berkewajiban demikian.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Dengan adanya hubungan kekerabatan antar ahli waris, maka ahli waris lebih berhak untuk menerima bantuan dari saudaranya (yang akan mewarisinya kelak), dibandingkan orang lain. Dengan demikian, secara khusus dia diwajibkan memberi nafkah kepada ahli warisnya bukan kerabat yang lain.

Namun, sekalipun tidak memiliki hubungan ahli waris, memberi nafkah kepada kerabat tetap wajib. Ini sesuai dengan pendapat Hasan, Mujahid, Nakha’i, Qatadah, Hasan bin Shalih, Ibnu Abu Laila, dan Abu Tsaur.

Apabila seseorang yang miskin memiliki lebih dari satu ahli waris yang mampu memberi nafkah, maka kewajibannya ditanggung oleh semua ahli warisnya sesuai ketentuan besaran persentase waris mereka, dengan syarat bahwa salah satu ahli waris tersebut bukan bapaknya.

Sebab, seorang bapak wajib memberi nafkah kepada anaknya yang miskin tersebut sendirian, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ

“Dan kewajiban ayah memberi makan kepada para ibu.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Hindun istri Abu Sufyan,

خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

“Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu secara wajar.”

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'