Segala puji hanya milik Allah. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, sang Nabi terakhir. Selanjutnya: Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji pertanyaan yang dilayangkan kepada Mufti Agung dari Direktur Umum Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, dan Bimbingan Cabang Daerah al-Bahah, Shaleh bin Ali az-Zahrani, dengan nomor 26/1/2008 tanggal 29/7/1419 H yang diajukan kepada Komite Sekretariat Jenderal Dewan Ulama Senior, dengan nomor 4744 bertanggal 3/8/1419 H.
Direktur tersebut meminta untuk dilakukan pengkajian atas pemintaan fatwa yang diajukan oleh seorang warga berinisial (S. M. A. Z) yang dilampirkan bersama surat direktur. Pertanyaan tersebut berbunyi:
Saya melakukan transaksi bisnis dengan seseorang yang mengambil beberapa buah mobil dari saya yang dia pergunakan untuk pernikahan anaknya. Transaksi tersebut senilai 160.000 riyal. Kemudian anaknya mundur dan dia pun meninggalkan pekerjaannya. Kemudian saya melaporkan orang itu sehingga dia dituntut untuk mengembalikan uang tersebut atau dijebloskan ke dalam penjara.
Akhirnya orang tersebut dimasukkan dalam penjara selama sembilan bulan dan dia tetap tidak sanggup melunasi uang saya yang dipakainya. Saya setuju untuk menerima dua buah rumah miliknya sebagai barang gadai sedangkan dia sendiri tidak memiliki harta lain untuk melunasi utang tersebut.
Kesepakatan itu dibuat dengan syarat dia harus menyetor uang sebesar 80.000 riyal di akhir tahun 1417 H dan 80.000 riyal di akhir tahun 1417 H. Namun, orang tersebut hanya bisa menyetor uang sebesar 30.000 riyal saja, yang didapatkannya dari orang dermawan sementara sisanya masih berjumlah 130.000 riyal. Oleh sebab itu, rumah kampung yang digadaikannya itu menjadi milik saya berdasarkan akte resmi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syar'i Dus.
Mufti Yang Terhormat, saya yakin orang yang memakai uang saya itu miskin dan cuma mempunyai dua rumah kampung tersebut. Bahkan, dia sama sekali tidak mempunyai mata pencarian. Mufti Yang Terhormat, apakah saya boleh menjadikan uang yang dia ambil tersebut sebagai zakat saya dan saya tidak perlu lagi mengambil kedua rumahnya?
Setelah mengkaji permasalahan yang diajukan, Komite menjawab bahwa prinsip dasar dalam zakat adalah adanya serah terima antara orang yang berkewajiban zakat dan orang yang berhak menerimanya.
Jika pemilik piutang membebaskan utang orang yang berutang kepadanya dan menganggapnya sebagai zakat hartanya, maka hal ini jelas tidak diperbolehkan karena tindakan seperti itu berarti melindungi harta dengan harta sendiri dan menjaga harta lewat zakat yang diberikan sebagai imbalan dari piutang.
Ini jelas tidak boleh dilakukan. Namun, jika pemilik piutang memberikan zakatnya kepada orang yang berutang kepadanya atas dasar kondisinya yang miskin dan tanpa mensyaratkannya untuk melunasi semua atau sebagian utangnya, maka hal ini boleh dilakukan dan tidak dilarang.
Setelah sang pemilik menerima zakat tersebut dan menggunakannya untuk membayar utangnya atas kemauan sendiri, maka pemberi utang bisa memilikinya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.