Sang suami wajib membayar mahar yang masih dihutangnya kepada istrinya ketika telah jatuh tempo jika mahar tersebut dihutang (ditunda pembayarannya) atau saat istrinya memintanya jika mahar tersebut pembayarannya tidak ditunda, kecuali jika istrinya merelakan mahar itu untuknya. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 4)
Mahar tidak harus dibayar secara resmi. Jika dia telah menyerahkan mahar itu kepada sang istri, maka kewajibannya telah gugur. Namun, jika sang suami khawatir istrinya akan mengingkari bahwa dia telah menerima mahar itu, maka pembayaran mahar harus dicatat secara resmi di kantor pemerintah.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.