Kontrak muzara’ah (kerjasama pertanian) yang terjadi antara pihak pemilik lahan dengan pekerja hukumnya boleh, asalkan hasil panen dibagi secara bersama. Misalnya seperempat, sepertiga, atau setengah untuk pihak pekerja, dan sisanya untuk pihak pemilik tanah. Pembagian seperti ini dibolehkan sekalipun bibit, pupuk, pengolahan, pengairan, dan seluruh jenis pengelolaan berasal dari pihak pekerja. Atau, separuhnya berasal dari pihak pekerja dan sisanya dari pemilik lahan.
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan para penulis kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain – ed.) dari Ibnu Umar radhiyallahu `anhuma,
“Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukan kerjasama dengan penduduk Khaibar, dengan upah setengah dari hasil panen yang berupa buah kurma atau makanan pokok.”
Riwayat lain menyebutkan,
“Bahwa ketika Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam pergi ke Khaibar, orang-orang Yahudi meminta agar beliau menetapkan mereka sebagai pengelola lahan Khaibar dengan dijanjikan setengah dari hasil buah-buahan. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu, selama kami menghendakinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i disebutkan,
“Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyerahkan kepada Yahudi Khaibar sebuah kebun kurma yang ada di Khaibar beserta lahannya, untuk dikelola dengan menggunakan biaya mereka sendiri, dan Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam mendapatkan separuh dari hasil buahnya.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa aktivitas dan biaya pertanian berasal dari pihak pengelola yang notabene adalah orang-orang Yahudi. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa dengan hanya menyebutkan persentase pihak pengelola, maka itu cukup untuk menjelaskan besar bagian pemilik lahan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.