Pertama, penggembala kambing itu tidak boleh meninggalkan puasa. Kecuali pada kondisi terpaksa, dia boleh memakan makanan yang dapat menyelamatkannya dari kondisi membahayakan jiwa, kemudian dia harus melanjutkan sisa harinya dengan menahan untuk tidak makan dan minum. Dia juga harus meng-qadha puasa yang dia batalkan tersebut.
Kedua, Adapun jawaban dari orang yang ditanya di atas, bahwa penggembala kambing harus bersedekah seperempat dinar setiap hari bukanlah jawaban yang benar. Yang wajib baginya adalah mengganti puasanya di hari lain, berdasarkan firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, berpuasa diwajibkan kepadamu sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa,(183) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antaramu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari- hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(184) (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 183-185)
Ada sebuah perkataan dari Ibnu Jarir rahimahullah, setelah menyebutkan hikmah-hikmah dari perkataan ulama tentang tafsir firman Allah,
“dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Beliau mengatakan, pendapat paling tepat adalah yang menafsirkan bahwa ayat,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Telah di-nasakh oleh firman Allah ,
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185)
Sebab, dhamir “Ha” dalam firman Allah (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ) yang artinya,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa” (QS. Al-Baqarah : 184)
Bercerita tentang puasa. Maknanya adalah: “Dan wajib bagi orang-orang mampu berpuasa, untuk membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” Jika keadaannya memang demikian, maka seperti itulah hukumnya.
Namun sudah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam bahwa siapa pun laki-laki muslim yang mampu berpuasa, sehat, dan tidak sedang dalam perjalanan, tidak boleh membatalkan puasanya lalu merasa cukup menggantinya dengan bayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sebab, sebagaimana diketahui bahwa ayat ini telah di-nasakh.
Apalagi dengan adanya penguatan dari hadits yang telah disebutkan sebelumnya, dari Mu`adz bin Jabal, Ibnu Umar, dan Salamah bin al-Akwa` bahwa setelah turunnya ayat tentang puasa bulan Ramadhan ini di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memberikan pilihan antara berpuasa dan tidak membayar fidyah atau tidak berpuasa dan membayar fidyah setiap hari, mereka terus melakukan pilihan ini. Hingga akhirnya turun ayat Allah,
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185)
Maka mereka pun mewajibkan diri mereka berpuasa. Dengan demikian, pilihan dan ketentuan membayar fidyah ini dihilangkan (bagi yang mampu berpuasa).
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.