Jika keadaan perempuan itu seperti yang Anda sebutkan, maka dia (tetap) wajib melakukan shalat selama dia masih berakal dan sadar untuk melakukan ibadah shalat. Dia wajib melaksanakannya sesuai kemampuan, walaupun hanya dalam bentuk isyarat. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghaabun : 16)
Dan firman Allah Ta`ala,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam,
“Apabila aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka laksanakanlah semampu kalian.”
Dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam kepada `Imran bin Hushain radhiyallahu `anhu,
“Salatlah kamu sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring miring.” (HR. Bukhari)
Ada redaksi tambahan dalam riwayat Nasa’i dengan sanad sahih,
“Jika tidak mampu (shalat sambil berbaring miring), maka shalatlah sambil terlentang.”
Jika dia mampu, maka sebaiknya berpuasa. Namun, jika dia mengalami kesulitan untuk melakukan puasa, maka dia boleh menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Dia tidak perlu menggantinya (dengan puasa di lain waktu).
Dia dibolehkan memberi makan satu orang miskin sebesar setengah sha’ gandum, beras, dan sejenisnya yang merupakan makanan pokok orang setempat, untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Adapun jika dia menjadi tidak berakal (tidak sadar atau hilang ingatan-ed.) maka dia tidak wajib shalat atau puasa.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.