Jika realitasnya demikian, maka timbul beberapa konsekuensi hukum, yaitu sebagai berikut:
Pertama, lelaki itu harus dipisahkan dari wanita yang telah disetubuhinya dengan segera, setelah menyadari bahwa wanita itu bukan istrinya. Wanita yang digauli tersebut juga harus menjalani masa istibra’ (sterilisasi dari sisa-sisa sperma) hingga selesai periode satu kali haid.
Kedua, menurut hukum asal, masing-masing wanita tersebut dikembalikan kepada suami yang menjadi pasangannya saat akad nikah jika telah menjalani masa istibra’. Jika ada di antara kedua wanita tersebut yang terbukti hamil, maka anak yang lahir dari hubungan itu dinisbatkan keturunannya kepada lelaki yang menyetubuhinya. Sebab, hubungan intim itu terjadi akibat syubhah (kekeliruan karena adanya ketidakjelasan) sehingga masih digolongkan halal, tidak dianggap zina.
Ketiga, jika masing-masing dari kedua lelaki kakak beradik itu menerima wanita yang telah mereka setubuhi dan demikian halnya dengan para wanita, maka keduanya dapat menceraikan pasangan yang dinikahi ketika akad, untuk kemudian menikah dengan wanita yang telah disetubuhi.
Dengan demikian, para wanita itu tidak harus menjalani masa iddah dan istibra’ karena sperma yang ada dalam tubuh keduanya adalah milik lelaki yang telah menggauli (yang kemudian menikah dengan mereka). Sehingga apabila hamil, maka nasab janin dalam kandungan itu sudah langsung terhubung kepada ayahnya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.