Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

dari mana orang yang hendak pergi ke jeddah dan berkeinginan menunaikan umrah harus berihram?

2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Dari Mana Orang Yang Hendak Pergi Ke Jeddah Dan Berkeinginan Menunaikan Umrah Harus Berihram?

Pertanyaan

Apa hukum syariat mengenai seorang laki-laki yang berangkat dari Dammam menuju Jeddah, untuk menyambut kedatangan istri, anak-anak, dan mertuanya. Lalu setelah menetap di Jeddah, mertua laki-laki tersebut ingin menunaikan umrah dan niatnya itu sudah ada ketika hendak berangkat dari Mesir, namun dia tidak berihram dari miqat karena memperkirakan bahkan yakin bahwa dia akan menetap lebih dahulu di Jeddah selama satu, dua atau tiga hari, baru kemudian setelah itu akan mengerjakan umrah. Dan benar, seperti itulah yang terjadi. Mertua, laki-laki tersebut dan istrinya memulai menunaikan umrah. Mereka pergi ke Makkah dan berihram dari Masjid Tan`im di Makkah. Dia dan istrinya dapat menyempurnakan rangkaian ibadah umrah, sedangkan laki-laki tersebut setelah berihram bersama mereka, dia merasakan badan tidak sehat sehingga tidak menyelesaikan umrah atau melakukan rangkaian ibadah umrah ini kecuali hanya berihram dari miqat. Pertanyaannya: Apakah ibadah umrah yang telah mereka lakukan tersebut sah atau tidak, terutama masalah miqat? Dan apakah dibolehkan atau tidak seseorang melepas pakaian ihram sebelum melaksanakan seluruh rangkaian ibadah umrah dikarenakan ada halangan yang menyebabkannya tidak bisa menyempurnakan umrahnya? Mohon kami diberi penjelasan yang jelas dan lengkap. Semoga Allah senantiasa menjaga Anda.

Jawaban

Barangsiapa yang hendak pergi ke Jeddah dan berkeinginan menunaikan umrah, dia harus berihram dari miqat yang dilaluinya. Karena itu, orang yang datang dari arah Dhahran maka dia berihram dari miqat penduduk Najd yaitu As-Sail al-Kabir atau Wadi Mahrim. Dan orang yang datang dari Mesir maka dia berihram dari Juhfah, atau dari daerah yang sejajar dengan dua tempat miqat tersebut, baik lewat udara, darat, atau laut, sekalipun dia berniat menetap di Jeddah.

Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka dia harus membayar fidyah, karena dia meninggalkan wajib umrah yaitu berihram dari miqat. Fidyah ini berupa seekor kambing yang memenuhi syarat kurban yang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir Tanah Haram, dan dia tidak boleh memakan dari sembelihan fidyah sedikit pun.

Fidyah menyembelih kambing ini bisa diganti dengan sepertujuh unta atau sapi. Barangsiapa tidak mampu membayar fidyah ini maka dia harus berpuasa sepuluh hari. Adapun orang yang mempunyai halangan untuk menyempurnakan ibadah umrah lantas melepas pakaian ihramnya, jika dia mensyaratkan saat berihram dengan mengucapkan, “Anna mahilly haitsu habasany (bahwa saya akan bertahallul di mana saja ada halangan yang menghalangi saya)”, maka dia tidak dikenakan beban kewajiban apa pun.

Namun jika dia tidak mensyaratkan hal tersebut saat ihram maka dia wajib memakai lagi pakaian ihram dan melaksanakan ibadah umrah sesuai niatnya ketika berihram, karena dengan berihram, dia wajib umrah dan dia pun harus melaksanakannya. Keadaan berihram ini akan terus berlaku hingga umrah selesai dilaksanakan. Jika dalam tenggang waktu melepas ihramnya ini dia melakukan jimak (hubungan suami-istri), maka dia wajib meneruskan umrahnya dan menyempurnakannya.

Kemudian berihram lagi dari miqat yang dilaluinya ketika menuju ke Jeddah untuk mengganti umrah yang rusak karena berjimak tadi dengan menunaikannya secara sempurna. Demikian juga dia harus membayar fidyah dengan menyembelih seekor kambing di Makkah yang dibagikan kepada kaum fakir Tanah Haram. Namun jika tidak mampu, maka dia harus berpuasa sepuluh hari dikarenakan dia merusak umrahnya dengan berjimak.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'