Berdoa disertai tawasul dengan kedudukan atau kehidupan Rasulullah, sahabat, atau siapa pun, hukumnya tidak boleh. Sebab, ibadah bersifat tauqifi (terikat dengan dalil dari Allah dan Rasulullah, bukan dari pendapat manusia). Allah tidak mengizinkan perbuatan tersebut.
Akan tetapi, para hamba-Nya disyariatkan untuk bertawasul dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, bertauhid kepada-Nya, beriman kepada-Nya, dan dengan amal saleh, bukan dengan kedudukan atau kehidupan orang tertentu.
Muslim yang sudah mukalaf (telah terkena beban hukum syariat, serta dosa dan pahalanya sudah dicatat sebagai konsekuensi semua amalnya) diwajibkan untuk hanya melakukan yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa bertawasul dengan kedudukan, kehidupan, dan hak manusia adalah bidah di dalam agama. Diriwayatkan dalam sebuah hadits sahih, bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Siapa yang mengada-adakan perkara agama, padahal bukan berasal dari Islam, maka hal itu tertolak.” (Muttafaq `Alaih)
Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam juga bersabda,
“Siapa yang melakukan suatu perbuatan bukan berdasarkan urusan (agama) kami, maka perbuatan tersebut tertolak.” (HR. Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.