Pertama: Bercampurnya antara lelaki dan perempuan dalam proses pendidikan adalah haram dan sebuah kemungkaran yang besar. Hal ini karena ia mengakibatkan terjadinya fitnah, tersebarnya kerusakan dan dilanggarnya kehormatan.
Keburukan dan dekadensi moral yang menjadi dampak dari bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, merupakan dalil terkuat bagi pengharamannya.
Adapun mengqiyaskan hal tersebut dengan thawaf di Baitullah, maka ini adalah qiyas dengan hal yang tidak tepat, karena para wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melakukan thawaf di belakang para lelaki dengan menutup rapat aurat mereka dan tidak masuk dalam rombongan lelaki serta tidak berbaur dengan mereka.
Demikian juga kondisi mereka ketika berada di tempat Salat Id mereka pergi ke tempat Salat Id dengan menutupi tubuh mereka dan duduk di belakang para lelaki di tempat shalat.
Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setelah menyampaikan khutbah Id kepada para lelaki, beliau mendatangi jamaah perempuan lalu menyampaikan pesan dan nasehat kepada mereka.
Sehingga, ketika itu lelaki dan perempuan tidak bercampur. Demikian juga ketika mereka melakukan shalat jamaah di dalam masjid mereka pergi menuju masjid dengan menutupi tubuh mereka dan melakukan shalat di belakang para lelaki, tanpa adanya percampuran antara saf-saf mereka dengan saf-saf para lelaki.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia memberi taufik kepada para pemegang kebijakan di dalam semua pemerintahan Islam agar menghapuskan bercampurnya lelaki dan perempuan dalam lembaga pendidikan dan memperbaiki kondisi mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
Kedua: Tanggung jawab dalam permasalahan ini berada di pundak para penguasa dan para ulama dalam hal pengarahan dan pelaksanaan. Para wali perempuan juga bertanggung jawab dalam hal ini.
Maka pihak-pihak ini memikul tanggung jawab yang kadarnya sesuai dengan posisi masing-masing. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga: Upaya untuk meminimalisir biaya, peralatan dan para dosen, tidak menjadikan bercampurnya antara para mahasiswa dan mahasiswi dibolehkan.
Karena pendidikan wajib dalam batas kemampuan saja. Sedangkan menghindari bercampurnya mahasiswa dan mahasiswi dapat menghapuskan banyak problematika.
Di samping itu, apabila para wanita memakai pakaian syar`i untuk menutup aurat mereka, maka banyak kekacauan yang dapat diatasi. Dan orang yang menginginkan kebaikan dan berupaya mengikuti syariat, maka Allah akan memudahkan jalannya dan Dia akan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(2) dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaaq : 2-3)
Sampai firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Thalaaq : 4)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.