Tidak ada keraguan bahwa seorang Muslim berkewajiban melaksanakan segala perintah sesuai dengan kemampuannya, dan meninggalkan segala yang haram dan terlarang. Sama saja apakah dia mengetahui hikmah dari perintah dan larangan tersebut atau dia tidak mengetahuinya.
Pengamalan hal tersebut disertai dengan keyakinan bahwa Allah tidak memerintahkan hamba kecuali dengan hal-hal yang memberikan maslahat kepada mereka, serta tidak melarang mereka melainkan dari hal yang menimbulkan keburukan bagi mereka.
Semua syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala mengandung hikmah yang diketahui oleh Allah. Allah memberitahukan hikmah tersebut kepada orang yang Dia kehendaki supaya orang beriman dengan hal tersebut bertambah keimanannya.
Hanya Allah sendiri yang mengetahui hal-hal yang Dia kehendaki (dan tidak memberitahukannya kepada siapa-siapa), supaya orang Mukmin-dengan penyerahan urusannya kepada Allah- bisa bertambah keimanannya. Orang Muslim menjadikan Kakbah sebagai kiblat karena menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja engkau berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah : 144)
Mungkin hikmah dari perintah Allah kepada mereka untuk berkiblat ke Kakbah adalah karena Kakbah merupakan kiblat kakek mereka, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam asbabun nuzul dari ayat di atas yang menyebutkan keinginan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diperintah shalat menghadap Kakbah sebagai ganti dari menghadap ke Bait al-Maqdis.
Akhirnya Allah memerintahkan kepada beliau untuk menghadap Kakbah. Bisa jadi juga hal itu merupakan bantahan terhadap ungkapan orang Yahudi yang menganggap umat Islam mengikuti kiblat mereka. Dan bisa juga karena sebab yang lain. Hanya Allah yang mengetahuinya.
Wabillahittaufiq wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa Alihi wa Shahbihi wa Sallim.