Solusi atas apa yang dinamakan oleh sang hakim sebagai sebuah persoalan tersebut adalah dengan dua cara, Pertama: Hendaklah dia dan orang-orang yang terpelajar memberikan nasihat dan petunjuk (arahan) tentang kondisi-kondisi kemasyarakatan dan sisi-sisi etika secara umum dan menjelaskan tentang hak-hak suami istri dan pentingnya mereka saling bekerja sama dalam masalah-masalah kehidupan, terutama pendidikan anak-anak.
Di samping itu, (dengan cara) dia berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Jazirah (kota setempat) dan orang-orang yang perkataannya didengar oleh penduduk dan bekerja sama dengan mereka untuk menghilangkan adat atau lainnya yang, menurutnya, terlarang.
Jika penduduk Jazirah telah mengetahui hal itu dan hati mereka telah merasa tenang (menerima), maka keinginan mereka untuk menyaratkan persyaratan tersebut pun akan melemah dan muncullah harapan besar untuk tidak mempraktikkannya.
Akhirnya, tidak seorang pun wali perempuan menyaratkannya kecuali karena maslahat yang jelas yang kembali kepada perempuan atau keadaan darurat yang mendesak bagi kedua orang tua, misalnya, dengan kerelaan dan kebaikan hatinya (anak perempuan).
Jika kebutuhan tersebut telah hilang dan darurat yang mendesak sudah tidak ada, maka mereka orang (tua/masyarakat) akan bersedia menyerahkan istri kepada suaminya, kecuali jika mereka berdua (suami istri) merelakan sang istri tetap tinggal dengan para walinya (keluarganya).
Kedua, Jika syarat tetap diterapkan meskipun sudah diberi petunjuk, nasihat, dan ajakan kebaikan dan para wali enggan (menerima nasihat) kecuali menerapkan syarat tersebut dan melaksanakannya, baik istri rela ataupun tidak, maka keputusan dalam hal itu adalah wewenang pengadilan. Jika hakim merasa kesulitan dalam memutuskan apa yang menjadi wewenangnya, maka hendaklah dia berkonsultasi kepada sumbernya/atasannya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.