Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

tidak ada nabi dari kalangan wanita dan jin

12 tahun yang lalu
baca 11 menit

Iman kepada para rasul merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani seorang mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ketika ditanya tentang masalah iman oleh Jibril ‘alaihissalam:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta mengimani qadar yang baik dan jeleknya.” (HR. Muslim no. 1)

Pengertian Rasul
Rasul adalah seorang laki-laki yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa risalah kepada orang-orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Faedah
Seluruh rasul adalah nabi. Namun para ulama menjelaskan perbedaan nabi dengan rasul:
1. Sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi adalah laki-laki yang diberi wahyu dan tidak diperintah untuk berdakwah. Adapun rasul, diperintah untuk berdakwah.
2. Sebagian ulama menjelaskan bahwa rasul diutus dengan risalah yang baru, sedangkan nabi melanjutkan syariat rasul sebelumnya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Alusi dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t.
3. Syaikhul Islam rahimahullahu menyebutkan bahwa rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diutus kepada orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun jika mengamalkan syariat rasul sebelumnya dan tidak diutus kepada kaum tertentu, maka dia adalah nabi bukan rasul.
Kesimpulannya adalah apa yang diucapkan Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu: “Rasul lebih khusus dari nabi. Semua rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, hal 180, Tanbihat Saniyah, hal. 9)

Makna Iman kepada Rasul
Iman kepada rasul mencakup beberapa perkara:
1. Beriman bahwa risalah mereka adalah haq, benar datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang mengingkari risalah salah seorang dari mereka berarti dia telah kufur kepada seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحٍ الْمُرْسَلِيْنَ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy-Syu’ara`: 105)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal tidak ada nabi ketika itu selain Nuh ‘alaihissalam. Demikian pula kaum Nasrani yang telah mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakikatnya mereka telah mendustakan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Apalagi Nabi ‘Isa ‘alaihissalam telah mengabarkan berita gembira akan kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun rasul yang kita tidak tahu namanya, maka kita mengimaninya secara global. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu.” (Ghafir: 78)
2. Mengimani nama-nama para rasul yang telah kita ketahui namanya, seperti Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alaihimussalam.
3. Membenarkan berita-berita yang benar dari mereka.
4. Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
[Lihat Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, hal. 97-98]

Hikmah Diutusnya Para Rasul
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, hikmah diutusnya para rasul adalah:
1. Menegakkan hujjah.
2. Sebagai rahmat bagi alam ini.
3. Menjelaskan jalan yang akan menyampaikan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitab At-Tauhid)

Beberapa Masalah Penting
Seluruh rasul adalah manusia, tidak ada rasul dari kalangan jin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al-Kitab. Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik.” (Al-Hadid: 26)
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Para rasul adalah dari kalangan manusia saja. Demikian yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu dan lainnya dari kalangan salaf dan khalaf.” (Lihat Syarh Ath-Thahawiyah hal. 191)

Semua Rasul adalah Laki-laki
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maknanya, engkau bukanlah rasul yang baru (pertama). Kami tidak pernah mengutus sebelummu malaikat, namun yang Kami utus adalah laki-laki sempurna, bukan dari kalangan wanita.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah –dan ini dinukilkan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dari mereka– bahwa tidak ada nabi dari kalangan perempuan. Yang ada di kalangan mereka adalah shiddiqah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang wanita yang paling mulia, Maryam bintu ‘Imran:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai shiddiqah (seorang yang sangat benar) dalam kedudukan yang paling mulia. Kalau seandainya dia adalah nabi, niscaya akan disebutkan dalam rangka memuliakan dan mengagungkannya. Dia adalah shiddiqah berdasarkan nash Al-Qur`an.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Beliau rahimahullahu berkata: “Ini adalah dalil bahwa Maryam bukanlah nabi. Bahkan derajat tertinggi baginya adalah shiddiqah. Cukuplah hal ini sebagai kemuliaan dan keutamaan. Demikian pula seluruh wanita, tidak ada seorangpun dari mereka yang menjadi seorang nabi. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kenabian adalah dari jenis yang paling sempurna yaitu kaum pria. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di hal. 240)
Ijma’ tentang masalah ini telah dinukil oleh Al-Qadhi Abu Bakr, Al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’ali, dan Al-Kirmani serta selain mereka. (Lihat tahqiq Yasin terhadap Syarh Al-Wasithiyyah)

Tidak Ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Aqidah ini (yakni Muhammad adalah nabi terakhir) telah ditetapkan dalam hadits yang masyhur diterima oleh umat.” (Ta’liq Ath-Thahawiyyah)
Di antara hadits yang beliau isyaratkan adalah:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku diberi keutamaan atas nabi selainku dengan enam hal: aku diberi jawami’ul kalim, ditolong dengan rasa takut, dihalalkan bagiku ghanimah, dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan alat bersuci, aku diutus kepada semua makhluk, dan kenabian ditutup olehku.” (HR. Muslim no. 523)
2. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Akan ada setelahku 30 orang pendusta, semuanya mengaku sebagai nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” (HR. Abu Dawud no. 4252, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Di antara para dajjal tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, yang mengaku sebagai nabi.” (lihat Ta’liqat Ath-Thahawiyyah)
Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu berkata: “Semua pengakuan kenabian setelah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesesatan dan hawa nafsu semata.”

Sebab-sebab Penyimpangan Aqidah
Masalah aqidah merupakan perkara terpenting yang harus dipelajari, dipahami dan dijaga oleh setiap muslim. Kemungkaran terbesar yang harus diingkari adalah penyimpangan aqidah. Namun sangat disayangkan, munculnya penyimpangan-penyimpangan aqidah di kalangan muslimin bukannya diingkari, namun malah diikuti dan ‘dipelihara’.
Di antara sekian panyimpangan aqidah adalah ucapan yang menyatakan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti diserukan oleh Ahmadiyah Qadiyaniyyah, juga Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ucapan mereka jelas sesat dan menyesatkan, bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah yang sebagiannya telah kita sebutkan.
Yang perlu kita cermati adalah, apakah sebab penyimpangan-penyimpangan aqidah? Mengapa sebagian orang tertipu dan terjerumus dalam penyimpangan tersebut?
Penyimpangan dalam aqidah banyak sebabnya. Di antaranya:
1. Kebodohan seseorang akan aqidah yang benar karena tidak mau belajar dan mengajarkannya, serta kurang mementingkan perkara aqidah.
2. Ta’ashub (fanatik) kepada nenek moyang dan orang yang dianggap sesepuh walaupun ajaran mereka adalah batil. Ini adalah penyakit kaum musyrikin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatupun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
3. Taqlid buta, membebek dan mengambil perkataan orang dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meneliti kebenarannya.
4. Kosongnya rumah-rumah kaum muslimin dari pendidikan Islami dan pengajaran aqidah yang benar. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
5. Kurangnya pendidikan aqidah yang benar di sarana-sarana pendidikan dan informasi. Sarana informasi sekarang ini lebih cenderung kepada masalah duniawi, bahkan kebanyakan menjadi alat perusak.
(Lihat Kitab At-Tauhid li shafil awwal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 14,)

Jalan untuk Menjaga Diri dari Penyimpangan
Seorang muslim wajib berusaha menyelamatkan dirinya dari penyimpangan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan:
“Cara-cara untuk menjaga diri dari penyimpangan adalah sebagai berikut:
– Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam menerima masalah aqidah sebagaimana dilakukan para salaf kita yang shalih, karena mereka telah mengambil aqidah dari keduanya. Tidak akan bagus keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membaguskan generasi awalnya. Hal ini disertai dengan pengetahuan terhadap berbagai keyakinan kelompok-kelompok sesat serta syubhat mereka untuk dibantah, dan agar umat diperingatkan dari mereka. Karena seorang yang tidak tahu kejelekan dikhawatirkan dia akan terjatuh padanya
– Mementingkan pengajaran aqidah shahihah –aqidah shalafus shalih– dalam berbagai jenjang pendidikan serta memberikan alokasi waktu yang cukup untuknya.
– Memasukkan pelajaran kitab-kitab salafiyah yang murni dan menjauhkan kitab-kitab kelompok yang menyimpang.
– Dakwah para dai yang memperbaiki dan memperbarui aqidah, yang mengajari aqidah salaf kepada manusia serta membantah kesesatan orang menyimpang.” (Kitab At-Tauhid lishaffil awal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.14-15, dengan sedikit perubahan)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita menuju shirathal mustaqim dan istiqamah di atasnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=681