عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ: عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُُ، وإِقَامِ الصَّلاَةِ، وإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Islam dibangun atas lima rukun: Allah Subhanahu wa Ta’ala ditauhidkan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.8, Kitabul Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum, dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 16, Kitabul Iman, Bab Bayani Arkanil Islami wa Da’a`imihil ‘Izhami. Lafadz ini milik Al-Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf (7047) menggolongkannya hadits ini dalam hadits-hadits yang Al-Imam Muslim menyendiri dalam periwayatannya.
Tambahan yang terdapat dalam Shahih Muslim:
فَقَالَ رَجُلٌ: الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: لاَ، صِيَامِ رَمَضَانَ وَاْلحَجِّ؛ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ
Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma (setelah penyebutan hadits di atas): “Haji dan puasa Ramadhan?” Beliau menjawab (menyanggah): “Bukan, puasa Ramadhan dan haji. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Baghdadi menyebutkan dalam kitabnya Al-Asma` Al-Mubhamah, nama orang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits ini adalah Yazid bin Bisyr As-Saksaki.
Penjelasan Mufradat Hadits
Lafadz خَمْسَةٍ dalam sebagian riwayat tertulis خَمْسٍ. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam Shahih Muslim sendiri maupun dalam Shahih Al-Bukhari.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Keduanya shahih (benar). Dan maksud riwayat yang menyebutkan dengan huruf ha` seperti pada lafadz خَمْسَةٍ adalah Lima rukun, lima sesuatu atau yang semisalnya. Sedangkan riwayat yang membuang huruh ha` seperti pada lafadz خَمْسٍ adalah lima perkara, tiang, dasar, alas, fondamen, atau yang semisalnya. Wallahu a’lam.”
Lafadz عَلَى أَنْ يُوَحَّدَاللهُ dengan di-dhammah ya’ dan di-fathah ha’, dibentuk seperti fi’il yang tidak disebutkan fa’il (pelaku)-nya (bentuk pasif). Maknanya adalah ditauhidkan-Nya (diesakan-Nya) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagian riwayat ada yang menggunakan lafadz:
عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُوْنَهُ
Maknanya: agar Allah Subhanahu wa Ta’ala diibadahi dan segala sesuatu selain Dia dikufuri.
Ada pula yang menggunakan lafadz:
شَهَادَةُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Lafadz وَإِقَامِ الصَّلاَةِ (menegakkan shalat) maksudnya adalah senantiasa dilakukan atau mendatanginya secara mutlak.
Lafadz إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ maksudnya adalah mengeluarkan sebagian harta dengan cara yang khusus (aturan zakat).
Lafadz وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ terdapat riwayat yang mendahulukan atau mengakhirkan antara puasa Ramadhan dan haji. Berikut pemaparan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya:
Pertama, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i (Sa’d bin Thariq), dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar, dengan mendahulukan puasa daripada haji. Hal ini diperkuat dengan tambahan di akhir riwayat yang menyebutkan adanya seorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar: “Haji dan puasa Ramadhan?” Ibnu ‘Umar pun menjawab (mengingkari): “Bukan, puasa dan haji. Demikianlah saya mendengarkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kedua, dari jalan Sa’d bin Thariq, dari Sa’d bin ‘Ubaidah As-Sulami, dari Ibnu ‘Umar, dengan mendahulukan haji daripada puasa.
Ketiga, dari jalan ‘Ashim bin Muhammad bin Zaid bin Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya, dari Abdullah bin ‘Umar, dengan mendahulukan haji daripada puasa.
Keempat, dari jalan Hanzhalah bin Abi Sufyan, dari ‘Ikrimah bin Khalid, dari Ibnu ‘Umar, dengan mendahulukan puasa daripada haji.
Itulah empat jalan yang dipaparkan oleh Imam Muslim.
Adapun Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pada dua tempat, dalam Kitabul Iman dan Kitabut Tafsir dengan dua jalan yang berbeda:
Pertama, dari jalan Hanzhalah bin Abi Sufyan, dari ‘Ikrimah bin Khalid, dari Ibnu ‘Umar dengan mendahulukan haji daripada puasa.
Kedua, dari jalan Bukair bin Abdillah, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dengan mendahulukan puasa daripada zakat dan haji.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah-nya: “Para ulama’ berselisih dalam menanggapi pengingkaran Ibnu ‘Umar (terhadap ucapan Yazid bin Bisyr dalam mendahulukan lafadz haji daripada puasa). Padahal beliau sendiri meriwayatkan seperti yang diucapkan Yazid (yaitu mendahulukan haji daripada puasa), sebagaimana disebutkan pada riwayat yang pertama dan kedua (di atas). Yang nampak dalam hal ini –wallahu a’lam– adalah adanya (dua) kemungkinan: (Pertama), bahwa Ibnu ‘Umar mendengar hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua kali. Terkadang dengan mendahulukan haji, terkadang dengan mendahulukan puasa.
Kemudian beliaupun meriwayatkannya dengan dua bentuk pula pada dua waktu. Sehingga, saat menyanggah pernyataan Yazid bin Bisyr, beliau berkata: “Jangan engkau menyanggah/membantah terhadap perkara yang engkau tidak tahu, perkara yang engkau belum memastikannya. Yang benar adalah mendahulukan puasa. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dan tidaklah sanggahan ini bertentangan dengan riwayat yang lain.
Kemungkinan (kedua) adalah, Ibnu ‘Umar mendengarkan hadits ini dua kali dengan dua jalan, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Kemudian ketika beliau mengingkari pernyataan Yazid, beliau lupa dengan riwayat lain yang sama dengan apa yang diucapkan Yazid. Dua kemungkinan inilah yang dipilih dalam masalah ini.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Al-Fath: “Di sini (riwayat yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum) telah mendahulukan lafadz haji daripada puasa. Berdasarkan riwayat inilah Al-Imam Al-Bukhari mengurutkan (rukun Islam). Namun, dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar, dengan mendahulukan puasa daripada haji (lihat riwayat pertama dalam Shahih Muslim di atas, pen.). Hal ini menunjukkan, bahwa riwayat Hanzhalah yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari (lihat riwayat pertama dalam Shahih Al-Bukhari di atas) adalah periwayatan secara makna. Kemungkinannya ia tidak mendengar riwayat yang menyebutkan sanggahan Ibnu ‘Umar atas pernyataan Yazid. Kemungkinan ini dikarenakan beragamnya majelis atau ia hadir dalam majelis tersebut kemudian lupa.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar mendengarkan hadits ini dari Nabi dengan dua bentuk dan lupa salah satunya tatkala menyanggah pernyataan Yazid (sebagaimana penuturan Al-Imam An-Nawawi di atas, pen.), adalah kemungkinan yang jauh (tidak benar). Sisi ketidakbenarannya, lupa dalam meriwayatkan hadits jika dinisbahkan kepada seorang rawi adalah lebih utama daripada menisbahkan kelupaan tersebut pada seorang sahabat. Bagaimana tidak, dalam riwayat di Shahih Muslim dari jalan Hanzhalah disebutkan dengan mendahulukan puasa daripada haji. Dan Abu ‘Awanah meriwayatkan dalam bentuk lain, yaitu mendahulukan haji daripada puasa, dengan jalan yang sama dari Hanzhalah. Keragaman ini menunjukkan, bahwa ia (Hanzhalah) meriwayatkan dengan makna. Yang lebih menguatkan perkara ini adalah apa yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dalam Kitabut Tafsir, dengan mendahulukan puasa daripada zakat dan haji. Apakah akan dikatakan, bahwa sahabat meriwayatkan (hadits ini) dengan tiga bentuk? Ini perkara yang jauh (tidak benar). Wallahu a’lam.”
Penjelasan Hadits dan Makna Tauhid
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang dijadikan bukti oleh para ulama dalam memaparkan dalil-dalil tauhid. Lafadz yang menjadi penguat (bukti) dalam masalah ini adalah:
عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ
Maknanya: “Agar Allah ditauhidkan.”
Adapun makna tauhid, secara bahasa diambil dari kata:
وَحَّدَ الشَيْءَ إِذَا جَعَلَهُ وَاحِدًا
Maknanya: mentauhidkan sesuatu, jika menjadikannya satu.
Secara syariat bermakna: Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya, baik pada perkara Rububiyah, Uluhiyyah, maupun Al-Asma` was Shifat. Tapi kelompok yang sesat (batil) dan menyimpang, juga menyebut kebatilannya dengan tauhid.
Kaum falasifah (penganut filsafat, yakni para pengikut Aristoteles dan Ibnu Sina) mendefinisikan tauhid dengan makna: menetapkan adanya (sesuatu) yang terlepas dari hakikat dan sifat. Dengan makna ini mereka berada pada puncak kekufuran dan penyimpangan.
Kaum Ittihadiyyah mendefinisikan tauhid dengan makna: kebenaran yang disucikan adalah yang diserupakan. Karenanya, antara Al-Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) adalah sama, tidak ada bedanya. Dari definisi ini, Fir’aun dianggap sebagai seorang yang beriman dan sempurna imannya. Para penyembah patung dan berhala berada pada posisi yang benar. Tidaklah berbeda antara perintah dan larangan, antara air minum dan minuman keras.
Menurut kaum Jahmiyyah, tauhid adalah ingkar terhadap ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas makhluk-Nya dengan Dzat-Nya yang berada di atas ‘Arsy, mengingkari nama dan sifat-sifat-Nya, serta pengingkaran terhadap tauhid yang dengannya diutus para rasul.
Menurut kaum Qadariyah, tauhid adalah pengingkaran terhadap takdir (kekuasaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kehendak-Nya yang mencakup segala sesuatu.
Menurut kaum Jabriyah, tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara penciptaan dan perbuatan. Manusia bukanlah pelaku secara hakiki dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berbuat karena adanya suatu hikmah dan tidak pula karena adanya suatu tujuan.
Sudah menjadi perkara yang diketahui di kalangan ahlul ilmi –dahulu maupun sekarang– bahwa tauhid yang diseru oleh para rasul adalah tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) bahwa ibadah itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dengan cara yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Demikian pula tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) terhadap apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya, berupa nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Sesembahan kalian adalah Sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحَمْنِ آلِهَةً يُعْبَدُوْنَ
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: ‘Adakah Kami menentukan sesembahan-sesembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?’.” (Az-Zukhruf: 45)
Pasti, tidak akan didapatkan salah seorangpun dari mereka yang menyeru untuk menjadikan adanya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, setiap rasul dari awal hingga yang terakhir, semuanya menyeru kepada: “Beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Maka, orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mempunyai dasar dan sandaran serta pijakan atas perbuatannya. Baik dari akal sehat maupun dari ajaran para rasul.
Dan bukanlah maksud dalam mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sekedar meyakini Rububiyyah-Nya semata. Yaitu bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat Pencipta, Pengatur segala urusan, Pemberi Rizki, Dzat yang menghidupkan, mematikan, menyembuhkan, menolak petaka, dan mendatangkan manfaat. Jika ini semata yang dimaksud, maka orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mencapai gelar Ahlut Tauhid. Adakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar?! Akankah merasa aman (dari azab dan siksaan), jika mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas pada Rububiyyah-Nya saja?!
Benar! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan bahwa kebanyakan mereka telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, mengimani (mentauhidkan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal Rububiyyah-Nya. Akan tetapi, ikrar mereka dalam perkara ini menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat, manakala tercampuri kesyirikan.
Seperti yang dipahami oleh ahlul kalam (penganut filsafat) dan tasawwuf (sufi), tauhid menurut mereka adalah sekedar Tauhid Rububiyyah. Maknanya, keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya pencipta alam. Mereka menyangka, apabila telah menetapkan perkara ini dengan dalil berarti telah menetapkan puncak segalanya dalam perkara tauhid. Apabila telah menyaksikan dan tahu secara detail berarti telah membidangi puncak segalanya dalam perkara tauhid.
Kebanyakan orang mengira, makna ilah ialah Yang mampu menciptakan, membuat yang tak pernah ada sebelumnya. Inilah makna yang paling khusus terhadap sifat ilah. Mereka menjadikan penetapan seperti ini sebagai puncak segalanya dalam perihal tauhid. Jika demikian, mereka sama sekali tidak mengetahui hakikat (inti) perkara tauhid, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul.
Tidakkah seorang memahami dan menyadari bahwa mengikrarkan seperti yang telah diikrarkan oleh orang-orang musyrikin, tidak menjadikan imannya bermanfaat? Orang-orang musyrikin Arab telah mengikrarkan hal ini, namun bersamaan dengan itu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ayat yang menunjukkan dalam hal ini adalah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
“Dan kebanyakan dari mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (Yusuf: 106)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Meskipun mereka mengikrarkan dalam rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni bahwa Dia adalah Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur segala urusan, namun mereka juga mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perihal uluhiyah dan pentauhidan-Nya. Orang yang berada pada keadaan ini (yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas dalam rububiyyah-Nya saja), dan merasa aman dengannya, tidaklah tersisi bagi mereka kecuali tinggal ditimpakan kepada mereka azab dan siksaan yang datang secara mendadak.”
Hadits lain yang menjadi dalil tauhid adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ تَعَالَى
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka, pertama kali seruanmu kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan (mengesakan) Allah….” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tauhid no. 6937 dan ini adalah lafadznya, Muslim dalam Al-Iman nomor khusus 30 dan 31 dan pada no. 19)
Tidak mungkin pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz agar menjadikan tauhid sebagai seruan yang harus diutamakan dalam dakwah, jika hanya bermakna tauhid rububiyyah.
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah
Terdapat perbedaan dalam pembagian tauhid oleh para ulama. Ada yang membagi menjadi tiga pembagian:
1. Tauhid Ar-Rububiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (beriman bahwa Ia adalah Dzat Yang Esa) dalam perbuatan-perbuatan-Nya (penciptaan, perintah, pemberian rizki, pengatur urusan atas hamba-hamba-Nya) dengan kehendak-Nya, berdasarkan ilmu dan kekuasaan-Nya.
2. Tauhid Al-Uluhiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan para hamba (seluruh jenis ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya Dia yang berhak diibadahi, dan tidak ada sekutu bagi-Nya).
3. Tauhid Al-Asma` was Shifat. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menetapkan nama yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menetapkan sifat yang telah Ia tetapkan untuk diri-Nya, atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa mentakyif (mereka-reka atau menanyakan bagaimana), menyerupakan, memalingkan (baik lafadz maupun makna) dan tidak pula menta’thil (menolak, meniadakan).
Ada pula yang menambahkan sehingga menjadi empat:
1. Tauhid Ar-Rububiyah
2. Tauhid Al-Uluhiyyah
3. Tauhid Al-Asma’ was Shifat
4. Tauhid Al-Mutaba’ah (menjadikan satu-satunya yang diikuti dan diteladani adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ada pula yang membagi dua:
1. Tauhid fi Al-Ma’rifat wal Itsbat (tauhid dalam mengenal dan menetapkan) yaitu mengimani nama-nama Allah, sifat-sifat dan Dzat-Nya. Juga mengimani penciptaan, pemberian rizki, dan pengaturan urusan hamba-hamba-Nya. Sehingga tauhid ini mengandung dua jenis tauhid, Rububiyah dan Asma` wash Shifat.
2. Tauhid fi Al-Qashd wa Ath-Thalab (tauhid dalam tujuan dan meminta). Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tujuan (niat) permintaan, shalat, puasa, dan seluruh ibadah. Tidaklah engkau bermaksud dengan ibadahmu kecuali wajah-Nya. Demikian pula sedekah dan seluruh amalanmu yang engkau dengannya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah ditujukan kecuali mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembagian ini disandarkan kepada Ibnul Qayyim, sebagaimana tersebut dalam kitab Madarijus Salikin dan Ijtima’ Al-Juyusy. Demikian pula Ibnu Abil ‘Izz dalam kitabnya Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.
Tauhid Al-Uluhiyyah juga mempunyai beberapa nama lain: Tauhid fil Qashd wat Thalab, Tauhid fil Iradah wal Qashd, At-Tauhid Al-Qashdi wal Iradi, At-Tauhid fil Iradah wal ‘Amal, Tauhidul ‘Amal, At-Tauhid Al-‘Amali, At-Tauhid Al-Fi’li, At-Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi.
Demikianlah macam-macam tauhid. Tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lain. Istilah dan ungkapan yang berbeda dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Tujuan kita hanyalah untuk mengetahui apa itu tauhid yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, dan karenanya terjadi pertentangan antara para rasul dengan umatnya, yaitu tauhid ibadah (Tauhid Al-Uluhiyyah).
Pembagian ulama dalam hal ini tidaklah dikategorikan kepada perkara yang bid’ah (baru), yang tidak dikenal oleh para sahabat. Di antara alasan yang menjadikan para ulama untuk membagi tauhid adalah adanya pengikraran terhadap salah satu jenis tauhid oleh orang-orang musyrikin yaitu Tauhid Ar-Rububiyah. Sehingga bagi siapapun yang telah mengikrarkan tauhid tetapi hanya sekedar Tauhid Ar-Rububiyah, tidakah dianggap menjadi seorang yang telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak kepada selain-Nya, berdoa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya, berharap dan takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya.
Demikian pula berdasarkan pengkajian dan pendalaman terhadap Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapatkan pembagian tauhid seperti tersebut di atas.
Beberapa perkara yang menunjukkan pentingnya penekanan dakwah kepada tauhid adalah:
1. Al-Qur`an dari awal surat hingga akhirnya berisikan tauhid.
2. Tauhid merupakan dakwah seluruh rasul dari yang awal hingga yang terakhir.
3. Banyaknya kesalahan dan penyimpangan yang terjadi pada manusia secara umum adalah dalam perkara tauhid.
4. Mulianya ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari. Tauhid adalah ilmu yang mempelajari pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa nama, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian tidak diragukan, tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.
Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Fathul Bari bi Syarhi Shahihul Bukhari, cet. Darul Hadits
2. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, cet. Darul Ma’rifah
3. Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, cet. Darul Fikr
4. Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, cet. Darul ‘Ashimah
5. Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, cet. Maktabah Al-Irsyad
6. Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Manan, cet. Muassassah Ar-Risalah
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=445