Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

syarat-syarat sah pernikahan – mahar (bagian kedua)

12 tahun yang lalu
baca 3 menit

Hukum seorang (pria) yang menikah dengan (meng¬gunakan) mahar milik anak perempuannya atau saudari perempuannva

Masalah 475
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya:
Apakah dibolehkan seseorang menikah dengan menggu¬nakan mahar milik anak perempuannya atau adik perempuan¬nya?

Jawaban:
Mahar milik anak perempuannya atau mahar saudari perempuannya merupakan satu hak diantara sekian hak-hak mereka dan merupakan satu bagian dari kepemilikan mereka. Apabila mereka memberikan mahar itu kepada laki-laki tersebut atau (memberikan) sebagiannya sebagai sebuah bentuk kepatuhan yang mereka pilih, sementara mereka dalam kondisi yang dibenarkan secara syariat, maka hal tersebut dibolehkan. Namun bila mereka tidak memberikan benda tersebut kepada¬nya, maka tidak dibenarkan mengambilnya baik sebagian maupun seluruhnya karena kekhususan benda tersebut adalah bagi mereka.
Terkhusus bagi ayah perempuan tersebut, ia dibolehkan memiliki sebagian dari mahar tersebut selama hal itu tidak merugikan atau membahayakan anak perempuannya dan tidaklah tindakannya itu ia khususkan pada sebagian dari anak¬-anaknya saja (sehingga hal ini tidak adil-pent), berdasarkan apa yang telah jelas dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian dan sesungguhnya anak-anak kalian merupakan bagian dari usaha kalian”.

(Fatawa AI-Mar’ah hat. 60)

Hukum menunda pembayaran mahar kepada calon istri dan zakat tentangnya…

Masalah 476
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apakah sah penundaan pembayaran mahar kepada calon istri? Dan apakah ada kewajiban zakat padanya?

Jawaban:
Mahar terutang (yang ditunda pembayarannya) dibolehkan dan tidak apa-apa berdasarkan firman Allah:

“Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu”(AI-Maidah: 1)
Maka memenuhi akad meliputi pemenuhan terhadap akad itu sendiri dan syarat yang ada di dalamnya karena apa yang disyaratkan di dalam sebuah akad termasuk dari tanda-tanda akad tersebut. Apabila seseorang mensyaratkan terutangnya mahar ataupun sebagian dari mahar tersebut, maka tidak masalah.
Akan tetapi dibolehkan hal itu bila orang tersebut telah menentukannya (menyatakannya) sebagai mahar yang tcrutang dengan jelas, maka penundaan itu halal. Apabila orang itu tidak mensyaratkan terutangnya mahar, maka dibolehkan menunda pembayarannya karena terjadi perpisahan diantara mereka berdua, entah karena thalak (pernyataan cerai dari suami) atau batalnya nikah maupun karena kematian.
Diwajibkan pula zakat bagi sang wanita terhadap mahar yang terutang tersebut bila suaminya orang yang berharta. Jika dalam keadaan fakir maka tidak diwajibkan baginya zakat.
Seandainya masyarakat mau menerapkan permasalahan ini, yakni membolehkan terutangnya mahar, sungguh hal ini telah meringankan banyak orang untuk melangsungkan pernikahan.
Dibolehkan pula bagi pihak wanita untuk toleran terhadap penundaan maharnya asalkan ia dalam keadaan memiliki kesadaran penuh (dalam menerimanya). Adapun jika ia dipaksa atau diancam thalak (dicerai) bila tidak melakukannya, maka hal ini tidak dijadikan ketentuan untuk gugur maharnya. Karena tidak dibolehkan melakukan paksaan terhadap dia untuk menggugurkan maharnya.

Durus wa Fatwa Al-Haram Al-Makky karya Asy-Syaikh lbnu Utsaimin jilid 2/397

Referensi : Buku “Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian” Penerbit Qaulan Karima, Purwokerto. Hal. 16-18)