“Setiap persendian manusia wajib dishadaqahi, setiap hari yang padanya matahari terbit. Beliau bersabda, “Mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, membantu seseorang dalam masalah kendaraannya lalu menaikkannya ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Beliau bersabda, “(Mengucapkan) kalimat yang baik adalah shadaqah, setiap langkah yang dia berjalan menuju masjid untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhariy no.2989 dan Muslim no.1009)
Kedudukan Hadits Ini
Di antara yang diserukan oleh agama Islam adalah berkumpulnya kalimat dan bersatunya hati di atas Al-Haq dan rasa cinta, maka hadits ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan begitu pentingnya dalam hal menyerukan kepada sebab-sebab terwujudnya persatuan dan rasa cinta.
Hadits ini menerangkan tentang mendamaikan dua orang yang berselisih, tolong menolong dalam perkara agama dan dunia, menjaga lisan kecuali dari perkataan yang baik, melangkahkan kaki menuju masjid untuk shalat berjama’ah, dan menghilangkan gangguan dari jalan.
Perhatikanlah Diri-Diri Kalian!
Sabda beliau, “Setiap persendian”, yang dimaksudkan adalah seluruh tulang dan persendian yang ada pada manusia, yang manusia tersusun darinya.
Susunan tubuh manusia yang berupa persendian-persendian ini termasuk nikmat Allah yang paling besar yang telah Allah berikan kepadanya, sebagaimana hal ini menunjukkan atas kekuasaan Allah dan keagungan-Nya, yang telah menciptakan manusia dengan bentuk seperti ini yang begitu teratur susunannya, indah bentuknya dan lentur keadaannya (elastis/mudah digerakkan), dan tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini dan keutamaannya kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut.
Bersyukur kepada Allah atas Nikmat-Nikmat-Nya
Bentuk manusia dan susunan persendiannya yang begitu teratur, indah dan elastis termasuk nikmat Allah yang terbesar terhadap Bani Adam, yang tentunya setiap persendian tersebut butuh untuk disyukuri.
Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita akan nikmat ini dalam banyak ayat-Nya di dalam kitab-Nya, Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.” (Al-Infithaar:7-9)
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur.” (An-Nahl:78)
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir.” (Al-Balad:8-9)
Syukur Ada Dua Macam
Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kita agar bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Nya, Allah berfirman,
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepada kalian; dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya kepada-Nya saja beribadah.” (An-Nahl:114)
Allah berfirman yang artinya,
“Dan bersyukurlah kepada-Nya.” (Al-‘Ankabuut:17)
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian beribadah.” (Al-Baqarah:172)
Adapun bersyukur kepada Allah ada dua macam,
1. Syukur yang wajib, siapa saja yang tidak melaksanakannya maka dia berdosa, yaitu melaksanakan seluruh kewajiban-kewajiban baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan ataupun harta, dan meninggalkan seluruh apa-apa yang Allah haramkan, maka barangsiapa yang melaksanakan semuanya ini maka berarti dia telah bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas nikmat kesehatan, bentuk tubuh, persendian, anggota badan dan yang lainnya dari kenikmatan-kenikmatan yang zhahir ataupun yang bathin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah dirimu dari (melakukan) kejelekan, karena hal itu termasuk shadaqah!” (HR. Al-Bukhariy no.6022 dan Muslim no.1008 dari Sa’id bin Abi Burdah dari bapaknya dari kakeknya). Maka barangsiapa yang meninggalkan kejelekan (dari melakukan yang haram dan meninggalkan kewajiban) maka sungguh dia telah bersyukur. Bahkan sebagian ‘ulama Salaf mengatakan, “Syukur adalah meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.”
2. Syukur yang sunnah, yaitu seorang hamba melaksanakan lebih banyak dari apa yang Allah wajibkan atasnya, seperti bershadaqah dengan shadaqah yang sunnah, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat-shalat sunnah rawatib, melaksanakan ‘umrah, dan melaksanakan sunnah-sunnah lainnya yang telah dijelaskan oleh syari’at sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tauladan dalam masalah ini, demikian juga para shahabat beliau. Bahkan ada salah seorang di antara mereka dalam satu hari melaksanakan beberapa amalan sunnah, yang tidak mampu dilakukan oleh kebanyakan orang, dia berpuasa, bershadaqah, mengikuti jenazah dan menjenguk orang sakit, semuanya ini dia lakukan dalam satu hari, hal ini sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Mendamaikan di antara Manusia yang Berselisih
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah”, ini termasuk shadaqah yang mempunyai keutamaan yang besar, karena kebaikannya dan manfaatnya akan dirasakan oleh yang lainnya, dan dengan adanya perdamaian akan bersatulah masyarakat sehingga jadilah masyarakat tersebut seperti satu jasad yang sehat.
Terdapat nash-nash yang sangat banyak yang menganjurkan perbuatan ini (mendamaikan manusia yang berselisih) yang mesti disebutkan dan dijelaskan karena sebagian manusia meremehkan permasalahan mendamaikan di antara kaum muslimin ketika terjadi perselisihan dan persengketaan.
Allah berfirman yang artinya,
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shadaqah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisaa`:114)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan manusia kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) untuk bershadaqah atau berbuat yang ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia pada perkara-perkara yang terjadi perselisihan dan pengakuan padanya, dan barangsiapa yang melakukan hal ini dalam rangka mengharapkan Wajah Allah, maka Allah sediakan baginya pahala yang besar.
Mengadakan perdamaian di antara para hamba merupakan suatu amalan pendekatan diri kepada Allah yang dengannya orang-orang yang bertaqwa mendekatkan diri kepada-Nya, maka di manakah orang-orang yang bersemangat untuk mendapatkan pahala yang besar ini?
Allah berfirman,
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisaa`:128)
Ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian di antara suami-istri adalah lebih baik daripada perceraian, karena perceraian itu mengakibatkan kemudharatan yang sangat banyak, karena itulah maka boleh bagi seorang istri untuk melepaskan haknya atau sebagian haknya dari nafaqah (belanja) atau hak-hak yang lainnya apabila dikhawatirkan suaminya lari darinya atau berpaling darinya, dan hendaklah seorang suami menerimanya.
Allah berfirman yang artinya,
“Sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian.” (Al-Anfaal:1)
Ayat ini memerintahkan untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin yang berselisih dan melarang saling berbuat zhalim, berselisih dan bersengketa.
Allah berfirman yang artinya,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujuraat:9)
Ayat ini menerangkan tentang perintah untuk mendamaikan di antara kaum muslimin ketika terjadi perselisihan dan peperangan.
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya pada suatu hari Rasulullah berkhuthbah di atas mimbar dan bersama beliau ada Al-Hasan bin ‘Ali (cucu beliau), maka sekali waktu beliau memandang kepadanya dan kali yang lain beliau memandang kepada manusia, lalu beliau bersabda,
“Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin, dan semoga Allah mendamaikan di antara dua pasukan besar dari kaum muslimin dengan perantaraannya.” (HR. Al-Bukhariy Kitaabu Ash-haabin Nabiy 4/216)
Dan terbuktilah apa yang beliau sabdakan, maka Allah mendamaikan melalui perantaraannya antara penduduk ‘Iraq dan Syam setelah terjadi peperangan yang sangat panjang.
Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang agung dalam masalah anjuran untuk mendamaikan di antara kaum muslimin walaupun seseorang harus melepaskan sebagian hak-haknya, karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu yang telah menyerahkan kekhilafahannya kepada Mu’awiyah sehingga terjadilah perdamaian di antara kaum muslimin dan bahkan para ‘ulama menyatakan bahwa setelah perdamaian itu terjadilah apa yang dinamakan dengan ‘aamul jamaa’ah (tahun persatuan).
Dari ‘A`isyah radhiyallaahu ‘anhaa, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara perselisihan dua orang di depan pintu yang tinggi suara keduanya, salah satu dari keduanya meminta kepada yang lainnya agar membebaskan sebagian hutangnya dan bersikap lembut, akan tetapi orang yang diminta tersebut berkata, “Demi Allah, saya tidak akan melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju kepada dua orang tersebut seraya bersabda, “Siapa yang bersumpah atas nama Allah bahwa dia tidak akan berbuat kebaikan?” Maka dia menjawab, “Saya Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah menganjurkan kepadanya agar melakukan salah satu dari yang paling dia sukai. (Yakni kalaulah dia tidak mau membebaskan sebagian hutang temannya tersebut maka hendaklah dia bersikap lembut dan jangan berkata yang kasar, pent.). (HR. Al-Bukhariy no.2705 dan Muslim no.1557)
Yang menjadi dalil dalam hadits ini adalah keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendamaikan keduanya, dan perbuatan beliau menunjukkan atas perkara yang dianjurkan.
Berkata Al-Imam Al-Bukhariy di dalam Shahiih-nya, “Bab Ucapan Imam kepada shahabat-shahabatnya: Pergilah kalian bersama kami untuk mengadakan perdamaian”, kemudian dia membawakan riwayat berikut: Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya penduduk Quba` berperang sampai mereka saling melempar dengan batu, maka hal ini pun dikhabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Pergilah kalian bersama kami untuk mendamaikan mereka.”
Dari Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu’aith radhiyallaahu ‘anhaa berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah dikatakan berdusta orang yang mendamaikan di antara manusia lalu mengatakan perkataaan yang baik untuk tujuan mendamaikan (walaupun perkataan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan).” (HR. Al-Bukhariy no.2692 dan Muslim no.2605)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: Dia (Ummu Kultsum) berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan pada sesuatu yang diucapkan manusia dari kedustaan kecuali pada tiga hal: pada peperangan; mendamaikan di antara manusia; dan pembicaraan seorang suami kepada istrinya dan pembicaraan seorang istri kepada suaminya.”
Hadits ini menunjukkan atas disyari’atkannya mendamaikan di antara manusia, sebagaimana juga hadits ini menunjukkan atas bolehnya berdusta dengan tujuan perdamaian.
Berkata Al-Qurthubiy, “Sekelompok ‘ulama berpendapat bolehnya berdusta untuk tujuan perdamaian”, dan mereka menyatakan, “Dusta yang tercela itu hanyalah dalam perkara yang padanya ada kemudharatan atau yang tidak ada maslahat padanya.” (Fathul Baarii 6/228)
Berkata Al-Imam Al-Bukhariy di dalam Shahiih-nya, “Bab Tidak Dinamakan Dusta Orang yang Mendamaikan di antara Manusia.”
Wallaahu A’lam. Diambil dari Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.229-234 dengan beberapa tambahan.
Sumber : Buetin Dakwah Al Wala Wal Bara, Bandung Edisi ke-36 Tahun ke-3 / 12 Agustus 2005 M / 07 Rajab 1426 H