Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

orang-orang yang menggenggam sesuatu di atas bara api (bag.i)

12 tahun yang lalu
baca 8 menit

Dari Abu Umayyah Asy Sya’ baniy berkata: Aku bertanya kepada Abu Tsa’labah: “Ya Aba Tsa’labah apa yang engkau katakan tentang ayat Allah yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian); tidak akan bisa orang-orang yang sesat itu memberikan mudharat kepada kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk.” (QS. Al Maidah: 105)

Berkata Abu Tsa’labah:
“Demi Allah, aku telah bertanya kepada Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam tentang ayat itu, maka beliau ‘alaihisshalaatu wasallam bersabda yang artinya:
“Beramar ma’ruf dan nahi mungkarlah kalian sehingga (sampai) kalian melihat kebakhilan sebagai perkara yang dita’ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan dunia (kemewahan) sebagai perkara yang diagungkan (setiap orang mengatakan dirinya di atas agama Islam dengan dasar hawa nafsunya masing-masing.
Dan Islam bertentangan dengan apa yang mereka sandarkan padanya), setiap orang merasa ta’jub dengan akal pemikirannya masing-masing, maka peliharalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian) dan tinggalkanlah orang-orang awam karena sesungguhnya pada hari itu adalah hari yang penuh dengan kesabaran (hari dimana seseorang yang sabar menjalankan al haq dia akan mendapatkan pahala yang besar dan berlipat).
Seseorang yang bersabar pada hari itu seperti seseorang yang memegang sesuatu di atas bara api, seseorang yang beramal pada hari itu sama pahalanya dengan 50 orang yang beramal sepertinya.”
Seseorang bertanya kepada Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Ya Rasulullah, pahala 50 orang dari mereka?” Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam berkata: “Pahala 50 orang dari kalian (para Sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam)”
{HR.Abu Daud: 4341, At Tirmizi: 3058, dan dihasankan olehnya; Ibnu Majah: 4014, An Nasai dalam kitab Al Kubro: 9/137-Tuhfatul Asyrof, Ibnu Hibban: 1850-Mawarid, Abu Nuaim dalam Hilyatul Aulia: 2/30, Al Hakim: 4/322-dishohihkan dan disetujui oleh Adz Dzahabi, Ath Thahawi dalam Misykalul Atsar: 2/64-65, Al Baghowi dalam Syarhu Sunnah: 14/347-348 dan dalam Ma’alimul Tanzil: 2/72-73, Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jamiul Bayan: 7/63, Ibnu Wadloh Al Qurtubi dalam Al bida’u wa nahyuanha: 71, 76-77; Ibnu Abi Dunya dalam Ash Shobr: 42/1} Hadits Tsabit dari Rasulullah dengan syawahidnya (jalan lainnya).

Dalam hadits Rasullallah shallallahu’alaihi wasallam di atas menunjukkan:
– Kewajiban untuk terus beramal ma’ruf nahi munkar sampai datang masa yang disifatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
– Masa yang disifatkan oleh Rasullalllah shallallahu’alaihi wasallam tersebut menunjukkan bahwa tidak bermanfaat lagi amal ma’ruf nahi munkar karena disebabkan kerusakan manusia pada waktu itu.

Terkadang ada pertanyaan yang mengatakan: bagaimana derajat pahala yang diberikan orang-orang yang bersabar dalam beramal di atas al haq pada waktu itu berlipat ganda dibandingkan dengan amalan para sahabat radhiallahu’anhum? Dimana, mereka adalah generasi pertama yang membangun Islam, menegakkan cahaya Islam, membuka negeri-negeri, meninggikan kekuasaan dan menancapkan Agama Allah.

Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda yang artinya : “Sekiranya kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud setiap hari, tidak akan bisa menyamai mereka (para sahabat Rasullallah ‘alaihisshalaatu wasallam) meskipun setengahnya.” {Hadits shahih, lihat takhrijnya dalam (Juz’u Muhammab bin Ashim An Syuyukhihi: 12)}
Maka jawabannya adalah sesungguhnya para sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam adalah generasi yang telah masyhur amalannya, tiada satupun manusia setelah generasinya yang sebanding amalannya dengan mereka. Mereka telah menjalankan amal ma’ruf nahi munkar sebagai perkara yang besar untuk membuka dan menancapkan agama Allah yaitu Al-Islam.

Keberadaan mereka diawal Islam sangat sedikit disebabkan karena berkuasanya orang-orang kafir di atas al haq. Demikian juga di akhir zaman akan kembali keadaannya seperti di awal penegakkan Islam. Dimana janji tersebut dipersaksikan di atas lisan yang selalu benar perkataannya yaitu Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang telah mengkhabarkan akan terjadinya kerusakan zaman, dhohirnya fitnah, berkuasanya kebatilan, berkuasanya dan tingginya manusia dalam mengganti dan merubah al haq, terjatuhnya kaum muslimin kepada jalan yang ditempuh oleh golongan ahli kitab sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.

Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam bersabda yang artinya: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana datangnya.” (Hadits Mutawatir, lihat kitabku: Tuba lil Ghuroba, Al Ghurbatu wal Ghuroba, Penerbit Darul Hijroh, Damam)

Maka pasti terjadi -Wallahu a’lam- keadaan yang telah dijanjikan oleh Ash Shoodiq (yang benar perkataannya) shallallahu’alaihi wasallam yaitu Islam akan kembali seperti awalnya dimana lemahnya amar ma’ruf nahi munkar sehingga seseorang yang berdiri menjalankan al haq dalam keadaan dilingkupi ketakutan dan dia telah menjual dirinya kepada Allah dalam doanya, sehingga Allah lipat gandakan pahalanya lebih besar dari pada keadaan para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum yang mereka adalah orang orang yang mutamakin (tetap dan kuat) dalam beramar maruf nahi mungkar, dan pada waktu itu banyak sekali orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar serta banyak sekali orang yang menyeru kepada Allah Ta’ala (yakni pada zaman shahabat ).

Dan ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alihi wasallam yaitu ketika beliau mengkhabarkan bahwa pahala mereka akan dilipatgandakan sama dengan 50 orang amalan yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahuanhum, yang kemudian Nabi ‘alaihisshalatu wasallam mengatakan (artinya): “Karena sesungguhnya kalian (para sahabat) Di atas kebaikan dan dalam keadaaan kalian mendapatkan banyak
pertolongan sedang mereka dan orang-orang yang beramal di atas al haq (di akhir zaman) tidak mendapat pertolongan.”

Sehingga akhirnya sampailah pada zaman terputusnya amal kebaikan (tidak ada lagi orang-orang yang menjalankan amal kebaikan) karena lemahnya keyakinan & agama. Sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Tidak akan tegak hari kiamat sampai tidak disebut (dikatakan) di bumi lafadz: ‘Allah Allah”. {HR.Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu}.

Hadits ini mempunyai makna tidak ada seorang muwahid (orang yang mentauhidkan Allah) pun yang tinggal di bumi, yang berdzikir mengucapkan lafadz ‘laa ilaaha illallah’ dan tidak seorang pun yang beramar ma’ruf nahi mungkar mengucapkan: “Aku takut kepada Allah”.

Apabila demikian keadaannya, seseorang yang berakal pada waktu itu menginginkan (berangan-angan) untuk mati sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam (artinya): “Tidak akan tegak hari kiamat sehinggga seseorang berjalan dikubur saudaranya (seseorang) kemudian berkata: ‘Sekiranya aku menempati tempatnya.’ (Muttafaqun’alaih, dari hadist AbuHurairoh radliyallahu’anhu)

Siapakahالقابضون على الجمر ?
Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan tarbiyah dan bukan hizbi (golongan yang berbangga dengan kelompoknya).
Mereka adalah orang-orang yang teguh di atas asas Al-Qur’an dan As Sunnah, berdiri menghiasi dirinya dengan dakwah kepada keduanya dengan berlandaskan manhaj (jalan) kenabian, tidak tergoyahkan dengan nama, alamat, dan bentuk. Karena sesungguhnya kedudukan ini adalah bagian dari syi’ar-syi’ar ubudiyah (peribadatan) yang digariskan di atas petunjuk Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam
dan para sahabatnya.

Berkata Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah ketika menyebutkan tanda orang-orang yang selalu menjalankan peribadatan (di atas dalil) dalam kitabnya Madarijus Salikin juz III/174):
“Mereka tidak menyandarkan dirinya pada suatu nama yang dengan nama tersebut mereka masyhur dikalangan manusia; tidak membatasi dengan satu amal dari sekian banyak amal yang dengannya dikenal manusia (hanya sebatas satu amalan) karena hal ini menyebabkan madharat dalam peribadatan; tidak dibatasi dengan nama tertentu yang menyebabkan perbedaan dan perpecahan; tidak terkait dengan formalitas, isyarat, kesempurnaan dan peraturan yang ditetapkan. Bahkan sebaliknya, apabila ditanya:

Siapa syaikhnya?
Dia akan menjawab: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam”

Apa jalan yang ditempuh ?
Dia akan menjawab: “Al-ittiba’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam)

Apa pakaiannya?
Dia kan menjawab: “Pakaiannya adalah taqwa.”

Apa madzhabnya?
Dia akan menjawab: “Berhukum di atas Assunnah”

Apa yang dituju dan dicari?
Dia akan menjawab: (يريدون وجهه)
“Mereka menghendaki wajah Allah”.
(Q.S. Al An’aam : 52).

Dimana tempat jaganya?
Dia akan menjawab: Firman Allah yang artinya :
“(Bertasbih) di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang. (yaitu) laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
(Q.S. An Nuur : 36-37)

Pada siapa nasabnya disandarkan?
Dia akan menjawab: “Bapaknya adalah Islam, tidak ada bapak selainnya.”

Apa makanan dan minumannya?
Dia akan menjawab: “Hidup di bawah pohon sampai bertemu Robb-nya”

Dan sungguh dia telah ditanya oleh sebagian imam mengenai “sunnah”.
Maka beliau (Ibnu Qayyim) menjawab: “sesungguhnya ahlussunnah tidak menyandarkan kepada nama, kecuali nama sunnah.”

Sebaliknya, golongan hizbi adalah golongan yang menetapkan dan terikat dengan peraturan resmi dari amalan “kebajikan resmi” dan istilah-istilah yang dihiasi (distempel), sehingga terlihat “kebajikan resmi” itu adalah satu-satunya amal yang sesuai dengan sunnah. Tetapi pada hakekatnya mereka adalah golongan yang jauh dari bimbingan sunnah Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam. Apabila disebutkan kepada mereka perkara yang berkaitan dengan al wala’ fillah (pemberian loyalitas karena Allah), permusuhan yang disebabkan atas pemberian al wala’ fillah, amar ma’ruf nahi mungkar, mereka akan mengatakan dan menuduh bahwa yang demikian adalah perkara yang berlebihan dan akan mengakibatkan kerusakan dan madhorot.

Apabila mereka melihat diantara sesamanya (anggotanya) terdapat orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) hal-hal tersebut, mereka akan mengeluarkannya dan
mencari pengganti yang sesuai dengan peraturan mereka.(Bersambung InsyaAllah)
(Diterjemahkan Oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid Dari Kitab Al Qabidhuna ‘ala Al Jamri)

Sumber : BULETIN Dakwah AL ATSARY, Semarang EDISI 11/Th.I
Dikirim via Email Oleh Al Akh Dadik