Jika kita memperhatikan secara seksama apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan fatwa dalam menyikapi Ihya At-Turots, keadaannya bukanlah seperti masalah khilafiyyah yang didalamnya terjadi saling tarik menarik dalil atau masing-masing mengetahui dalil yang ada, hanya berbeda dalam hal pemahaman. Seperti halnya masalah sedekap disaat posisi I’tidal (dalam sholat, red), dimana masing-masing dari para Ulama tersebut mengetahui dalil yang datang dalam masalah ini, namun terjadi perbedaan dalam hal memahaminya. Atau seperti masalah duduk akhir dalam sholat, apakah dengan cara tawarruk ataukah iftirosy, masing-masingnya berhujjah dengan satu hadits yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Humaid As-Sa’idi. Atau seperti masalah menggerakkan jari ketika tasyahhud, yang berbeda dalam menyikapi keabsahan adanya tambahan “wayuharrikuha” dalam riwayat Zaidah bin Qudamah, atau permasalahan yang semisal apa yang kami sebutkan.
Namun perselisihan fatwa yang terjadi dalam menyikapi Ihya At-Turots tidaklah seperti tersebut diatas, namun disebabkan karena adanya tambahan ilmu yang diketahui oleh Ulama yang mentahdzir mereka, yang tidak diketahui oleh para Ulama yang merekomendasi mereka. Cobalah kita perhatikan rekomendasi para Ulama tersebut, apakah mereka memberi rekomendasi karena dalam Ihya At-Turots ada bai’at? Atau karena mereka ikut serta dalam politik praktis? Atau mereka ketahui bahwa diantara mereka ada yang memiliki fikroh At-takfir? Jawabannya adalah: “Tidak!”. Bahkan merupakan perkara yang ma’ruf tentang sikap para Ulama terhadap berbagai macam penyimpangan tersebut yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada berbagai praktek hizbiyyah.
Maka semestinya sikap yang ditempuh oleh seorang “Salafi” adalah memandang secara jernih letak perbedaan fatwa yang terjadi. Sebab para Ulama rahimahumullah tersebut berfatwa sebatas apa yang telah sampai kepada mereka. Oleh karenanya Aisyah radhiallahu ‘anha mengingkari orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing berdiri,karena itulah ilmu yang sampai kepadanya. Dan telah diketahui oleh shahabat yang lain, diantaranya Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing dalam keadaan berdiri. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang menghalalkan nikah mut’ah, sebab tidak sampai kepada beliau kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa nikah mut’ah tersebut hukumnya haram secara mutlak. Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala yang mentsiqohkan Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami, sebab – tidak sampai kepada beliau ilmunya – bahwa dia seorang perawi yang ditinggalkan haditsnya. Berkata Imam Ahmad : “Dia seorang Qodari, Mu’tazili dan Jahmi, semua musibah ada padanya”. Berkata Bisyr bin Mufadhdhal : “Aku bertanya kepada Ulama penduduk Madinah tentangnya, semuanya mengatakan : kadzdzab (pendusta besar) atau yang semisalnya”. Akankah kita katakan (sesuai kaedah Firanda) bahwa masalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami adalah permasalahan ijtihadiyah sehingga dia tidak boleh dijarh?! Atau menurut kaedah al akh Firanda, ia justru akan menjarh Imam Ahmad Rahimahullah Ta’ala yang notabene beliau adalah murid dari Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala? Dan masih banyak lagi permisalan dalam permasalahan seperti ini. Sehingga dalam menyikapi permasalahan ini, semestinya menerapkan kaedah yang sudah ma’ruf:
“Yang mengetahui adalah hujjah atas bagi yang tidak mengetahui”,”yang menetapkan lebih didahulukan ucapannya dari yang menafikan”. Wallahul muwaffiq.
http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98:mendudukkan-rekomendasi-para-ulama&catid=31:nasehat-a-bantahan&Itemid=46