Setiap manusia tidaklah luput dari kesalahan. Demikian juga orang-orang yang bertakwa, berilmu, dan memiliki banyak keutamaan.
Jika ada suatu ketergelinciran yang dilakukan oleh orang-orang mulia itu, kita hendaknya memberi udzur dan memaafkan. Ada kalanya itu dalam hal kesalahan ijtihad. Memang kesalahan ijtihad itu perlu diluruskan. Jelaskan pendapat yang benar sesuai al Quran dan Sunnah Nabi. Sampaikanlah bahwa pendapat itu salah. Namun, tidak perlu membesar-besarkan ketergelinciran itu untuk mendiskreditkan orang mulia tersebut.
Mungkin saja orang yang punya keutamaan itu tidak menyadari kekeliruannya hingga meninggal dunia. Bukan karena kesengajaan untuk menyelisihi kebenaran. Atau, ia menyadari kesalahan itu dan kemudian bertaubat serta meralat pendapat sebelumnya. Jelaslah hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menjelek-jelekkannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا الْحُدُودَ
Maafkan (abaikan) ketergelinciran orang-orang mulia kecuali dalam hal penegakan hukum had (H.R Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah)
Said bin al-Musayyab rahimahullah menyatakan:
لَيْسَ مِنْ شَرِيْفٍ وَلَا عَالِمٍ وَلَا ذِي سُلْطَانٍ اِلَّا وَفِيْهِ عَيْبٌ لَا بُدَّ وَلَكِنْ مِنَ النَّاسِ مَنْ لَا تُذْكَرُ عُيُوْبُهُ مَنْ كَانَ فَضْلُهُ أَكْثَرَ مِنْ نَقْصِهِ وُهِبَ نَقْصُهُ لِفَضْلِهِ
Tidaklah ada seorang yang mulia, berilmu, ataupun yang memiliki kekuasaan, kecuali ia memiliki aib. Pastilah demikian. Akan tetapi, ada orang-orang yang tidaklah pantas disebut aib-aibnya. Jika keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, kekurangan tersebut tertutupi oleh keutamannya (riwayat al-Khothib al-Baghdaadiy dalam al-Kifaayah fii Ilmir Riwaayah (1/79)), juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah dan Ibnul Jauzi dalam Shifatus Shofwah)
Sedangkan orang yang menyimpang karena mengikuti hawa nafsunya, jelas menyelisihi dalil, dan telah mendapat sekian banyak nasihat dari orang-orang yang berilmu, namun tidak mau menerimanya, tidak layak diperlakukan demikian. Mereka disikapi dengan sikap yang selayaknya, sesuai bimbingan para Ulama, bukanlah dimaafkan atau diabaikan kesalahannya. Tidak boleh diambil ilmunya. Tidak boleh duduk mendengarkan ceramahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan:
كُلُّ مَنْ حَدَّثَ بِأَحَادِيْث رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَانَ مُبْتَدِعًا ، تَجْلِسْ إِلَيْهِ ؟ لَا ، وَلَا كَرَامَةَ ، وَلَا نَعْمَى عَيْنٍ
Apakah setiap yang menyampaikan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal ia Ahlul Bid’ah, engkau akan duduk (di majelisnya)? Tidak. (Hal itu tidak boleh). Tidak ada kemuliaan padanya, dan kami tidak memuliakan dia (Thobaqoot al-Hanaabilah karya Ibnu Abi Ya’laa )
(Abu Utsman Kharisman)
??????
WA al I’tishom