Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

mahalnya nilai ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim)

12 tahun yang lalu
baca 9 menit

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “dan yang mempersatukan hati-hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)

Ayat diatas mengingatkan kita kepada sebuah kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam . Yaitu kisah perseteruan antara suku Aus dan suku Khazraj di daerah Yatsrib (Madinah). Perseteruan antara kedua suku tersebut telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya yang telah banyak memakan korban jiwa dan harta. Kemudian datanglah Islam, dan masuklah cahaya Islam ke dalam hati orang-orang Aus dan Khazraj. Maka terwujudlah ikatan persaudaraan dan persatuan di bawah naungan panji Islam sekaligus menghapus semangat jahiliyah serta permusuhan diantara mereka.

Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahulloh menyatakan tentang ayat diatas: “Maka mereka pun berkumpul dan bersatu serta bertambah kekuatan mereka dengan sebab bergabungnya mereka. Dan hal ini tidaklah terjadi karena usaha salah seorang diantara mereka dan tidak pula oleh suatu kekuatan selain kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Maka kalau seandainya kamu menginfakkan seluruh harta yang ada di muka bumi dari emas dan perak serta selain keduanya dalam rangka untuk menyatukan mereka yang bercerai-berai dan saling berselisih, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka. Karena tidaklah ada yang mampu untuk menyatukan hati-hati (manusia) kecuali hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata.” (Tafsir As-Sa’dy, hal.325)

Keutamaan Ukhuwwah

Ukhuwwah merupakan anugerah yang agung dan mahal dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan nikmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya yang mukmin, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (pada masa Jahiliyah) saling bermusuhan, maka Allah  mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya.” (Ali Imran: 103)

Sebagian ulama ahli tafsir berkata tentang firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala dalam ayat tersebut: “Di dalamnya terdapat isyarat bahwa tumbuhnya ukhuwwah dan mahabbah (kecintaan) antara kaum mukminin adalah semata-mata karena keutamaan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

Dan disabdakan pula oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits:

“Sesungguhnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan berkata nanti pada hari kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang menjalin persaudaraan karena-Ku, maka pada hari ini Aku akan menaunginya pada hari dimana tidak ada sebuah naungan kecuali hanya naungan-Ku’.” (HR. Muslim)

Hak-hak di dalam Ukhuwwah

Setelah kita mengetahui betapa agung dan mahalnya nilai sebuah ukhuwwah, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin agar anugerah dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala tersebut tetap terjaga dan terpelihara pada diri kita. Diantara usaha yang harus ditempuh agar ukhuwwah tersebut tetap terjaga pada diri kita, maka kita perlu memperhatikan hak-hak dalam ukhuwwah. Hak-hak tersebut adalah:

1. Hendaklah ia mencintai saudaranya semata-mata karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi.

Hendaklah kita mengikhlaskan niat di dalam ukhuwwah, kita mencintai saudara kita karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi. Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala, maka kecintaan tersebut akan tetap lestari. Jika ia melakukannya karena tujuan duniawi, maka lambat laun kecintaan tersebut akan pupus di tengah jalan. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih tentang 3 hal yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya keimanan. Salah satu diantaranya adalah:

“…Dan yang ia mencintai saudaranya, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala…” (Muttafaqun ‘alaihi)

2. Lebih mendahulukan untuk membantu saudaranya dengan apa yang mampu dari jiwa dan harta daripada dirinya sendiri.

Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing individu memiliki strata sosial yang berbeda-beda. Antara yang satu dengan yang lainnya saling membantu. Yang kaya membantu yang miskin dan yang miskin membantu yang kaya. Yang memiliki kedudukan akan membantu orang yang tidak memiliki kedudukan, dan sebagainya. Semua ini adalah sebuah ketetapan Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Jika memang demikian keadaannya, maka diantara hak dalam ukhuwwah sesama muslim adalah membantu saudaranya dengan mencurahkan apa yang ia mampu dari potensi yang ada pada dirinya atau harta yang dimilikinya.

Hakikat dari persaudaraan adalah lebih mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri (Al-Itsar). Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memuji sifat orang-orang Anshar yang lebih mengutamakan kebutuhan orang-orang Muhajirin padahal mereka sendiri sangat membutuhkan, sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9)

Sifat “Al-Itsar” termasuk dari hak ukhuwwah yang hukumnya mustahab (sunnah). Jika seseorang bisa meraih sifat tersebut, maka sungguh hal itu merupakan kebaikan baginya. Namun bila tidak bisa meraihnya, maka paling tidak ia berusaha untuk membantu saudaranya dengan jiwa dan hartanya. Sebagian ulama telah mengatakan: “Sesungguhnya termasuk dari adab dalam membantu saudaranya adalah hendaklah ia tidak menunggu sampai saudaranya meminta bantuan sesuatu kepadanya, namun hendaklah ia yang memulai untuk mencari apa yang dibutuhkan saudaranya yang dicintainya karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

Diceritakan pada zaman dahulu bahwa sebagian ulama mencari informasi tentang sesuatu yang dibutuhkan oleh saudaranya tanpa saudaranya tersebut mengetahuinya. Kemudian setelah itu, ia memasukkan harta ke dalam rumah saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya.

Sebagaimana kisah Ar-Rabi’ bin Khutsaim rahimahulloh. Suatu ketika, ia memerintahkan keluarganya untuk membuatkan makanan yang terbaik dari makanan yang ada. Maka dibuatlah makanan tersebut. Kemudian setelah itu pergilah Ar-Rabi’ rahimahulloh dengan membawa makanan tersebut ke rumah seorang laki-laki mukmin yang buta, bisu dan tuli. Maka diberikanlah makanan tersebut dan segera disantap sampai kenyang. Padahal laki-laki tersebut tidak pernah mengeluhkan kebutuhannya kepada Ar-Rabi’ rahimahulloh. Demikianlah akhlak para ulama salaf.

3. Menjaga kehormatan dan harga diri saudaranya.

Ini termasuk dari inti dan hak yang agung dalam ukhuwwah. Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk menjaga kehormatan sesama muslim. Disebutkan dalam sebuah riwayat dari shahabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbahnya di hari ‘Arafah pada saat haji Wada’:

“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian serta kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian….” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Kehormatan seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram secara umum. Realisasi dalam hal ini ialah seperti:

1. Tidak menyebutkan ‘aib saudaranya, baik ketika ia hadir dihadapannya maupun ketika tidak ada.

2. Tidak mencampuri urusan pribadinya.

3. Menjaga rahasianya.

4. Menjauhi prasangka buruk terhadap saudaranya.

Hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bersifat jujur, dan baik. Maka kita harus berbaik sangka kepada saudara kita, dan harus menjauhi prasangka buruk, karena dengan berprasangka buruk, kita bisa jatuh kedalam perbuatan dosa. Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan tersebut dalam firman-Nya (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Hati-hatilah kalian dari prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta ucapan.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu berkata: “Janganlah kalian berprasangka buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari saudaramu, sementara memungkinkan bagimu untuk membawa kalimat tersebut ke arah kebaikan.” (Riwayat Ahmad, Az-Zuhd)

Abdullah bin Al-Mubarak rahimahulloh berkata: “Bagi seorang mukmin, diberikan kepadanya berbagai kemungkinan alasan yang dapat dimaafkan.”

Maka jangan sampai kita membuka peluang bagi setan untuk masuk kemudian menghembuskan sesuatu yang buruk kepada diri kita, sampai akhirnya berhasil memecah belah persaudaraan sesama muslim.

5. Menjauhi perdebatan dengan saudaranya.

Sesungguhnya perdebatan akan menghilangkan sifat mahabbah (saling mencintai) dan persahabatan. Dan akan mewariskan kemarahan, dendam dan pemutusan ukhuwwah.

Maka meninggalkan sikap perdebatan merupakan tindakan yang terpuji. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di pihak yang salah, maka akan dibangunkan sebuah rumah baginya di surga paling bawah. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada pada pihak yang benar, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di tengah surga…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Diantara sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan perdebatan adalah dalam rangka memperoleh kemenangan, agar ia dikatakan sebagai seorang yang pintar dan paling benar pendapatnya, dan kurangnya penjagaan terhadap tergelincirnya lisan pada dirinya. Kesemuanya itu merupakan sikap yang tidak terpuji.

6. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik kepada saudaranya.

Realisasi dalam hal ini ialah seperti:

1. Mengatakan kepada saudaranya: “Aku mencintaimu karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

2. Memuji saudaranya ketika tidak ada di hadapannya.

3. Mengucapkan terima kasih atas kebaikan saudaranya tersebut.

7. Memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh saudaranya.

Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :

“Setiap keturunan Adam (manusia) pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah no. 4251)

8. Merasa gembira dengan kenikmatan yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala berikan kepada saudaranya.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan dan kelebihan yang berbeda pada masing-masing orang. Baik dalam hal kepemilikan harta, keilmuan, banyak melakukan amalan-amalan ibadah, kebaikan akhlaknya dan lain sebagainya. Kita patut merasa gembira dengan nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang diberikan kepada saudara kita baik dari sisi harta, ilmu, semangat dalam beribadah, dan lain-lain. Kita harus menghilangkan sifat hasad (iri, dengki) terhadap keutamaan yang diberikan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada saudara kita.

9. Saling membantu dengan saudaranya dalam perkara-perkara kebaikan.

Sungguh Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memerintahkan yang demikian dalam firman-Nya (artinya):

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)

10. Bermusyawarah dan bersikap lemah lembut terhadap saudaranya.

Janganlah salah seorang diantara mereka bersendirian dalam memutuskan suatu perkara, namun hendaklah saling bermusyawarah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya (artinya):

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syuura: 38)

Maka kita memohon kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala agar menjadikan kita semua termasuk dari orang-orang yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta menjadikan persaudaraan kita  semata-mata karena mengharap ridho-Nya. Dan semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita, karena sesungguhnya tidak ada daya dan upaya pada diri kita, kecuali kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Ämïn yä Rabbal ‘Älamïn.

Wallähu Ta’älä A’lamu bish Shawäb.

http://www.buletin-alilmu.com/?p=482