Sering ada anggapan bahwa kemungkinan besar malam yang dinanti-nanti itu akan tiba pada malam 27. Sehingga, tidaklah mengherankan kalau banyak kaum muslimin -termasuk ikhwanuna salafiyyun- yang menghidupkan malam tersebut dengan porsi ibadah yang lebih dibandingkan malam-malam yang lain.
Yang jelas, tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya Lailatul Qadar secara pasti kecuali Allah ‘azza wajalla. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:
تَحَرَّوْا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
“Carilah Lailatul Qadr itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut.
Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah bersabda:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:
لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ
“(Dia adalah) malam ke-27.” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyanradhiyallahu ‘anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)
Shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu menegaskan:
والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)
Dua riwayat terakhir di atas sering dijadikan dalil untuk menentukan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27. Namun apakah pasti dan selalu malam yang lebih baik dari seribu bulan itu tiba pada malam ke-27 pada setiap tahunnya?
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan waktunya berubah-ubah (pada tiap tahunnya).” (Fathul Bari)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan:“Lailatul Qadar itu tidak dikhususkan waktunya pada malam tertentu di setiap tahunnya, namun waktunya bisa berubah-ubah, di suatu tahun terjadi pada malam 27 misalnya, dan bisa jadi di tahun yang lain pada malam 25 sesuai dengan kehendak dan hikmah Allah ta’ala.”
Apakah bisa dibenarkan seseorang yang melebihkan semangat dan porsi ibadahnya pada malam 27 saja dan tidak pada malam-malam yang lain?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
Kebanyakan orang meyakini bahwa malam ke-27 Ramadhan adalah Lailatul Qadar, sehingga mereka menghidupkan malam tersebut dengan shalat dan ibadah yang lain, namun tidak demikian pada malam-malam yang lain. Apakah yang seperti ini sudah mencocoki kebenaran?
Beliau menjawab:
Yang seperti ini tidak mencocoki kebenaran, karena sesungguhnya Lailatul Qadar itu bisa berbeda-beda kapan terjadinya dari tahun ke tahun, terkadang pada malam 27 dan terkadang pada malam yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits tentang permasalahan tersebut.
Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa pada tahun tertentu, diperlihatkan kepada beliau Lailatul Qadar, dan itu terjadi pada malam 21.
Dan telah shahih pula bahwa beliau bersabda:
التمسوها في تاسعة تبقى، في سابعة تبقى، في خامسة تبقى
“Carilah Lailatul Qadar tersebut pada 9 hari tersisa bulan Ramadhan, pada 7 hari tersisa bulan Ramadhan, dan pada 5 hari tersisa bulan Ramadhan.”
Kemudian qiyamullail itu tidak sepantasnya dikhususkan pada malam yang diharapkan terjadinya Lailatul Qadar saja, akan tetapi hendaknya seseorang bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir semuanya. Demikianlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya, membangunkan keluarganya, dan menghidupkan malam itu ‘alaihish shalatu wassalam. Maka sudah selayaknya bagi seorang mukmin yang teguh, untuk bersungguh-sungguh dalam mengisi malam-malam yang sepuluh tersebut seluruhnya sehingga dia tidak akan luput dari pahalanya. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)
Apa hikmah tidak diketahuinya waktu terjadinya Lailatul Qadar secara pasti?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menyembunyikan pengetahuan tentang kapan kepastian terjadinya Lailatul Qadar kepada para hamba-Nya adalah karena kasih sayang-Nya kepada mereka, supaya para hamba tadi semakin memperbanyak amalannya dalam rangka mencari Lailatul Qadar di malam-malam yang penuh kemuliaan tersebut dengan shalat, dzikir, dan do’a. Sehingga akan semakin bertambahlah kedekatan mereka kepada Allah ta’ala dan bertambah pula pahala yang akan diraihnya. Allah juga tidak menampakkan pengetahuan tentang kapan kepastian terjadinya Lailatul Qadar sebagai ujian bagi hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang benar-benar bersungguh-sungguh dan semangat dalam mencari Lailatul Qadar, dan siapa yang bermalas-malasan dan hanya seenaknya saja. Seorang yang bersemangat untuk mendapatkan sesuatu, pasti dia bersungguh-sungguh dalam mencarinya dan kepayahan untuk meraih sesuatu yang diinginkan tadi menjadi hal yang ringan baginya.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)
Wallahu a’lam.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=616#more-616