Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

kisah ulama yang fajir dan ‘abid yang jahil

12 tahun yang lalu
baca 17 menit

Siapa saja yang sudah mengenal al-haq tapi tidak mengamalkannya bahkan menyelisihinya, maka dia serupa dengan Yahudi. Dan siapa saja yang menginginkan kebaikan, beribadah tetapi tanpa didasari ilmu, maka dia serupa dengan Nashara.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالْيَهُوْدِ، وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عُبَّادِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالنَّصَارَى
“Siapa yang rusak di antara ulama kita maka dia serupa dengan orang Yahudi, dan siapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka dia serupa dengan orang Nashara.”
Hal itu dikarenakan orang-orang Yahudi melakukan penyelisihan (penyimpangan) sesudah datang ilmu dan keterangan pada mereka; sudah mengetahui al-haq tapi tidak mengamalkannya. Sedangkan orang-orang Nashara tersesat karena kebodohannya; mereka beramal tanpa ilmu.
Di antara bentuk kerusakan ulama adalah berakhlak dengan akhlak orang-orang Yahudi, seperti:
– men-tahrif (mengubah-ubah) ayat/ hadits dari makna yang sebenarnya,
– menyembunyikan apa-apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, apabila di dalamnya terdapat sesuatu yang menghalangi ambisi/tujuan mereka,
– dengki kepada orang yang diberi karunia oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin membunuhnya,
– membunuh orang-orang yang selalu menganjurkan bersikap adil di antara manusia dan yang mengajak kembali kepada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka,
– melakukan tipu muslihat (hilah) untuk meraih sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cara,
– mencampuradukkan al-haq dengan kebatilan dan lain-lain.
Sedangkan kerusakan ahli ibadah –seperti orang-orang Nashara– ialah dengan:
– beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hawa nafsunya, bukan dengan sesuatu yang dibawa oleh Rasul-Nya ‘alaihissalam,
– melampaui batas (ghuluw) terhadap para tuan guru (masyayikh) sehingga menempatkan mereka pada posisi rububiyah (memiliki sifat-sifat dan kemampuan layaknya Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti mengetahui perkara ghaib, memberi keselamatan, karunia, dan sebagainya, pen.).
Walhasil, orang yang berilmu, apabila dia melakukan penyelewengan atau penyimpangan berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya, berarti dia telah mengenal al-haq tapi menentangnya. Bisa jadi karena mengikuti hawa nafsu, atau mencari dunia, atau karena mengkhawatirkan dirinya sendiri. Sedangkan ahli-ahli ibadah yang tersesat, mereka itu tidak mengenal al-haq, mengada-adakan bid’ah lalu menambah dan mengurangi sebagian dari ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tentang Bal’am bin Ba’ura
Memang, kisah ini bersumber dari cerita-cerita Israiliyat. Di mana kita tidak bisa begitu saja secara mutlak menerima dan mendustakannya. Tetapi tipe atau karakter yang disebutkan dalam kisah ini banyak kita lihat dalam kenyataan di sekitar kita. Apalagi setelah kita mengenal bentuk-bentuk kesesatan orang-orang Yahudi dalam uraian sebelumnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Al-A’raf: 175-176)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menceritakan sebuah kisah kepada Ahli Kitab tentang seseorang yang keluar dengan kekafirannya seperti lepasnya ular dari kulitnya. Dia dikenal dalam kitab-kitab tafsir dengan nama Bal’am bin Ba’ura, salah seorang ulama dari kalangan Bani Israil di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam. Dia termasuk salah seorang yang diberi ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Di dalam majelisnya terdapat 12.000 tinta untuk menuliskan uraian-uraian yang disampaikannya.
Malik bin Dinar rahimahullahu mengatakan bahwa dia termasuk orang yang terkabul doanya. Mereka (orang-orang Bani Israil) mengajukannya setiap kali ditimpa kesulitan. Suatu ketika, dia diutus oleh Nabi Musa ‘alaihissalam mengajak salah seorang penguasa Madyan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Raja itu memberinya harta, lalu diapun meninggalkan ajaran Musa ‘alaihissalam dan mengikuti agama raja itu.
Sebagian mufassir mencantumkan kisah-kisah ini dalam kitab-kitab tafsir mereka. Ada yang hanya sekadar memberi gambaran atau contoh atas apa yang dimaksud dalam ayat, sebagaimana yang diterangkan Qatadah rahimahullahu yang dinukil oleh Ath-Thabari rahimahullahu. Ada pula yang menjadikannya sekaligus sebagai sebab turunnya ayat tersebut.
Ketika menerangkan ayat ini (Al-A’raf: 175-176), Ibnu Katsir rahimahullahu menyebutkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia adalah seorang laki-laki Bani Israil, bernama Bal’am bin Abar. Demikian riwayat Syu’bah dan ulama lain yang tidak hanya satu orang, dari Manshur dengan sanad ini. Adapun menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, dan Mujahid, dia adalah Bal’am bin Ba’ura. Beliau menukilkan pula adanya riwayat lain dari Abdullah bin ‘Amr c, melalui jalur yang sahih sampai kepada beliau, bahwa yang dimaksud adalah Umayyah bin Abi Ash-Shilt. Seolah-olah, beliau hendak menunjukkan bahwa Umayyah menyerupai Bal’am. Karena dia mempunyai ilmu tentang syariat umat terdahulu dan mendapati zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun semua itu tidak berguna baginya.
Selanjutnya, Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa yang masyhur tentang sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ayat ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang hidup di kota penguasa yang bengis. Dia bernama Bal’am.
Melalui jalur ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengisahkan:
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam datang ke wilayah kekuasaan seorang penguasa yang bengis bersama para pengikutnya, para kerabat dan anak paman Bal’am datang menemui Bal’am lalu berkata: “Musa itu orang yang keras dan mempunyai pasukan yang besar. Kalau dia menang tentulah dia akan membinasakan kami. Maka doakanlah kepada Allah agar Dia menjauhkan Musa beserta pasukannya.”
Kata Bal’am: “Sesungguhnya, kalau aku berdoa kepada Allah agar menghalau Musa dan orang-orang yang bersamanya, tentulah hilang dunia dan akhiratku.”
Tapi mereka terus menerus membujuknya hingga diapun menuruti permintaan mereka. Dikisahkan, setiap kali dia mendoakan kejelekan terhadap Nabi Musa dan pasukannya, maka doa itu justru menimpa Bal’am dan orang-orang yang membujuknya. Begitu seterusnya, wallahu a’lam.
Menyadari hal itu, merekapun menegurnya, mengapa dia justru mendoakan kejelekan terhadap mereka?
“Begitulah, setiap aku mendoakan kejelekan buat mereka tidak dikabulkan doaku. Tapi aku akan tunjukkan kepada kamu satu hal yang semoga saja dapat menjadi sebab kebinasaan mereka. Sesungguhnya Allah membenci perzinaan, dan kalau mereka jatuh dalam perbuatan zina, niscaya mereka pasti binasa, dan aku berharap Allah menghancurkan mereka. Maka keluarkanlah para wanita menemui mereka. Karena mereka itu para musafir, mudah-mudahan mereka terjerumus dalam perzinaan lalu binasa.”
Setelah sebagian besar mereka terjerumus dalam perbuatan zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala kirimkan wabah tha’un sehingga menewaskan tujuhpuluh ribu orang dari mereka. Wallahu a’lam.

Ketakwaan Seorang Alim dan Zuhudnya terhadap Dunia, Pangkal Diterimanya Fatwa
Setiap orang -di antara ahli ilmu- yang mementingkan dunia dan mencintainya, niscaya dia akan mengatakan sesuatu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa dasar al-haq dalam fatwa, keputusannya tentang berita dan pengharusannya. Sebab hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala kebanyakan datang dalam bentuk yang menyelisihi ambisi/tujuan manusia. Terlebih lagi para pemegang kepemimpinan dan orang-orang yang selalu mengikuti syubhat. Karena bagi golongan ini, tidaklah sempurna terwujudnya ambisi mereka kecuali dengan menyelisihi al-haq dan menolaknya lebih banyak.
Sehingga, apabila seorang yang berilmu atau pengambil keputusan (hakim), sama-sama mencintai kedudukan, mengikuti syahwat, tentulah tidak sempurna dia meraih ambisinya kecuali dengan menjauhkan segala sesuatu yang menentangnya; berupa kebenaran. Terlebih jika dia mempunyai syubhat, maka bersesuaianlah syubhat dan syahwat tersebut. Bermainlah hawa nafsu, tersamarlah kebenaran, menjadi suramlah wajah kebenaran. Meskipun kebenaran itu sangat jelas, tidak samar, dan tidak pula mengandung syubhat, dia tetap melangkah, menentangnya, bahkan mengatakan: “Saya punya jalan keluar (yaitu) taubat.”
Tentang orang-orang dari golongan inilah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya.” (Maryam: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman tentang mereka:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: ‘Kami akan diberi ampun’. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (Al-A’raf: 169)
Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan bahwa mereka mengambil harta benda yang rendah ini dalam keadaan mereka mengetahui keharamannya, bahkan berani mengatakan bahwa “Kami akan diberi ampun.” Dan jika datang kepada mereka harta benda lainnya, niscaya mereka tetap dalam keadaan demikian. Itulah yang menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatakan sesuatu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa dasar al-haq. Sehingga mereka akan mengatakan: “Inilah hukum-Nya, syariat dan dien-Nya,” dalam keadaan mereka mengetahui bahwa dien-Nya, syariat dan hukum-Nya menyelisihi apa yang mereka ucapkan.
Atau memang mereka tidak tahu bahwa itu adalah dien-Nya, syariat dan hukum-Nya. Sehingga kadang-kadang mereka mengatakan sesuatu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu ketika mereka mengucapkan sesuatu terhadap-Nya berupa apa-apa yang sudah mereka ketahui kebatilannya.
Adapun mereka yang bertakwa, maka mereka mengerti bahwa kampung akhirat itu lebih baik daripada dunia ini, sehingga kedudukan sebagai pemimpin dan syahwat itu tidak akan mendorong mereka mementingkan urusan dunia daripada akhirat.
Sementara jalan untuk itu adalah dengan berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, meminta tolong (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) melalui kesabaran dan shalat serta merenungi keadaan dunia, kehancuran dan kerendahannya, serta akhirat yang pasti tiba dan abadi.
Sedangkan mereka ini, mau tidak mau akan mengada-adakan kebid’ahan di dalam urusan dien ini disertai dengan kejahatan dalam beramal. Sehingga bertumpuklah dua perkara ini pada mereka. Karena sesungguhnya mengikuti hawa nafsu akan membuat buta mata hati, sehingga dia tidak mampu membedakan mana yang sunnah mana yang bid’ah. Atau terjungkir balik, melihat bid’ah itu sebagai sunnah, dan As-Sunnah sebagai kebid’ahan.
Inilah kerusakan para ulama jika mereka lebih mengutamakan urusan dunia, mengikuti kedudukan dan syahwat. Ayat-ayat ini pantas buat mereka, sampai juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).”
Maka inilah perumpamaan orang alim yang buruk, yang berbuat (sesuatu yang) menyelisihi ilmunya.
Perhatikanlah kandungan ayat ini, betapa tercelanya dia:
1. Dia tersesat sesudah dia memiliki ilmu, memilih kekafiran daripada keimanan dengan sengaja, bukan karena jahil (tidak tahu).
2. Dia memisahkan diri dari keimanan dengan perpisahan yang tidak mungkin kembali kepadanya selama-lamanya. Karena dia lepas dari ayat-ayat itu secara total, seperti lepasnya ular dari kulitnya. Andaikata masih tersisa padanya secuil keimanan itu, niscaya dia tidaklah lepas/tanggal darinya.
3. Bahwasanya setan mendapatkan dan menyusulnya, di mana setan itu berhasil menguasai dan memangsanya. Sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ (lalu dia diikuti oleh setan), dan tidak mengatakan تَبِعَهُ (mengikutinya), karena pada kata أَتْبَعَهُ terkandung pengertian adrakahu (mendapatkannya) dan lahiqahu (menyusulnya) yang lebih sempurna daripada lafadz tabi’ah baik dari segi lafadz dan makna.
4. Dia menyimpang padahal dahulunya dalam keadaan lurus. Al-Ghay adalah kesesatan dalam ilmu dan tujuan (niat). Ini lebih khusus berkaitan dengan kerusakan niat dan amal. Sebagaimana kesesatan itu lebih khusus berkaitan dengan kerusakan ilmu dan i’tiqad. Sehingga jika dipisahkan salah satunya, masuklah yang lain ke dalamnya, dan kalau bergandengan, maka terpisahlah pengertian keduanya.
5. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang rendahnya kemauannya, di mana dia lebih memilih sesuatu yang rendah daripada yang lebih tinggi.
6. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hendak mengangkat derajatnya dengan ilmu itu, sehingga hal itu menjadi sebab kebinasaannya. Karena diapun tidak naik derajatnya dengan ilmu tersebut, akhirnya ilmu itu menjadi bencana baginya. Maka seandainya dia bukan orang yang berilmu, tentu itu lebih baik bagi dia dan lebih ringan azabnya.
7. Dia memilih yang rendah, bukan karena lintasan pikiran dan bisikan jiwanya, tetapi karena kecenderungannya kepada dunia secara total. Asal kata ikhlaad (dalam ayat) maknanya adalah terus dan selalu. Seolah-olah dikatakan dia lebih cenderung kepada dunia. Diungkapkan kecenderungan itu dengan kata ardh (bumi) karena dunia itu adalah bumi, semua yang ada padanya dan apa-apa yang dikeluarkan, berupa perhiasan maupun harta benda.
8. Dia tidak menyukai hidayah-Nya, lebih suka mengikuti hawa nafsunya, lalu menjadikan hawa nafsunya sebagai imam yang diteladani dan diikuti.
9. Dia diserupakan dengan seekor anjing; hewan yang paling rendah kemauannya, paling jatuh nilainya, paling bakhil dan paling parah kalab (kerakusan) nya, sehingga dinamakan kalb.
10. Diserupakan juluran lidahnya terhadap dunia, ketidaksabaran dan keluhannya (bila) kehilangan dunia, semangatnya memperoleh dunia sebagaimana juluran lidah anjing dalam dua keadaannya; dibiarkan atau dihalau dengan usiran dan seterusnya.
Hal ini, kalau dibiarkan, dia menjulurkan lidahnya terhadap dunia dan kalau diberi peringatan atau teguran, dia juga seperti itu, tetap menjulurkan lidah. Jadi, menjulurkan lidah ini, tidak dia tinggalkan dalam segala keadaan, seperti halnya seekor anjing.
Kata Ibnu Qutaibah rahimahullahu: “Segala sesuatu yang menjulurkan lidahnya, adalah ketika dia haus atau keletihan, kecuali seekor anjing. Karena dia menjulurkan lidahnya dalam keadaan tenang dan istirahat, kehausan ataupun tidak. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala buat perumpamaan ini bagi orang-orang kafir, (seolah-olah) Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata: ‘Kalau engkau menasihatinya, dia tetap sesat. Dan kalau engkau biarkan dia, maka dia juga sesat. Seperti seekor anjing, kalau engkau mengusirnya, dia menjulurkan lidah, dan kalau engkau membiarkan dia seperti itu, maka dia tetap menjulurkan lidahnya’.”
Perumpamaan ini, tidak mutlak pada semua anjing, tapi hanya anjing yang selalu menjulurkan lidah. Hal itu merupakan keadaan paling rendah dan paling buruk.
Dalam kitabnya yang lain (Tafsir Ibnul Qayyim), Ibnul Qayyim rahimahullahu menerangkan tafsir ayat ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, diajari-Nya ilmu, yang Dia halangi orang selain dia memahaminya, lalu orang yang telah memiliki ilmu ini tidak mengamalkannya dan mengikuti hawa nafsunya serta mengutamakan kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada keridhaan-Nya, mementingkan dunia daripada akhirat, mengedepankan makhluk daripada Khaliqnya, (seperti) seekor anjing.
Padahal jelas-jelas anjing itu seburuk-buruk binatang bahkan paling rendah derajat dan nilainya. (Hewan) yang tekad dan kemauannya tidaklah melampaui perutnya, paling parah kejahatan dan ketamakannya.
Di antara bentuk ketamakannya, dia tidak berjalan melainkan moncongnya senantiasa mendekati tanah, mencium dan menghirupnya. Dia selalu mencium duburnya sendiri, bukan bagian tubuhnya lain. Jika kamu melemparkan batu ke arahnya niscaya dia kembali mendatangi batu itu untuk menggigitnya karena rakusnya yang keterlaluan. Binatang paling hina, paling rela menerima dunia.
Bangkai kotor yang busuk lebih disukainya daripada daging segar. Najis dan kotoran lebih dia senangi daripada manisan. Kalau dia menemukan bangkai yang cukup untuk seratus ekor anjing, maka dia tidak akan biarkan seekor anjing lain mendekatinya melainkan dia usir karena ketamakan dan kekikirannya.
Kalau dia melihat orang yang berpakaian dekil, buruk, niscaya dia menggonggongnya dan mengusirnya, seolah-olah orang itu menyainginya dan merebut kekuasaannya. Tapi kalau dia melihat orang yang berbaju indah, rapi dan berkedudukan, maka dia rendahkan moncongnya ke tanah, merunduk, dan tidak berani mengangkat kepalanya kepada orang tersebut.

Waspadailah Fitnah Orang Alim yang Fajir dan ‘Abid yang Jahil
Demikianlah keadaan orang alim yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat. Adapun ‘abid (ahli ibadah) yang jahil (bodoh terhadap urusan diennya), maka kerusakannya ialah berupa sikap menjauhnya dia dari ilmu dan hukum-hukumnya, dikuasai oleh khayalan dan perasaannya, serta apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya.
Oleh sebab itulah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu mengatakan: “Jauhilah fitnah orang alim yang fajir (jahat) dan fitnah ‘abid yang jahil, karena fitnah keduanya adalah fitnah bagi segenap orang yang terfitnah. Yang satu dengan kejahilannya, dia menghalangi manusia dari ilmu dan konsekuensinya. Dan yang satu dengan kesesatannya (ghay), dia mengajak manusia kepada perbuatan-perbuatan keji.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan perumpamaan contoh jenis kedua, dengan firman-Nya:
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ. فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.’ Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (Al-Hasyr: 16-17)
Ibnu Katsir rahimahullahu menceritakan:
Konon, di zaman Bani Israil dahulu ada seorang rahib yang tekun beribadah selama 60 tahun. Setan ingin menggodanya tapi selalu gagal. Akhirnya setan mendatangi seorang wanita lantas membuatnya gila. Wanita itu sendiri mempunyai beberapa saudara laki-laki. Setan kemudian membisikkan kepada saudara-saudaranya agar membawanya kepada rahib tersebut untuk diobati. Wanitapun diobati rahib itu dan tetap tinggal di sana.
Suatu hari, ternyata wanita itu menarik hati si rahib. Diapun menggaulinya hingga wanita itu hamil. Melihat kenyataan ini si rahib takut namanya tercemar lalu membunuh wanita tersebut. Kemudian datanglah saudara-saudara wanita itu. Ternyata saudara mereka pun dibunuh oleh rahib itu.
Akhirnya, setan datang menemui si rahib dan mengatakan: “Aku temanmu, kamu selalu membuatku payah, dan akulah yang mengatur kejadian ini. Kalau kamu menaatiku pasti aku selamatkan kamu. Sujudlah kamu kepadaku.”
Rahib itupun sujud kepadanya dan setelah dia sujud, setan berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.”
Demikianlah sepenggal kisahnya.
Jadi, pangkal kekafiran kaum Yahudi adalah tidak mengamalkan ilmu yang sudah dimiliki. Mereka sudah mengetahui al-haq tapi tidak membuktikannya dalam bentuk kerja nyata (amal). Adapun kekafiran kaum Nashara dari sisi pengamalan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka bersungguh-sungguh dalam berbagai jenis ibadah tanpa dasar syariat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan sesuatu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnul Mubarak rahimahullahu yang mengatakan:
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ * وَقد يُوْرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ * وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلاَّ الْمُلُوكُ * وَأَحْبَارُ سُوْءٍ وَرُهْبَانُهَا
Aku melihat dosa itu mematikan hati
terus menerus berbuat dosa mewariskan kehinaan
Meninggalkan dosa (sebab) hidupnya hati
menentangnya lebih baik bagi dirimu
Tiadalah yang merusak dien ini melainkan para raja
ulama jahat dan para pendetanya
Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku menjadi ulama akhirat yang cerdas. Dan jauhilah kedunguan orang-orang yang dangkal pikirannya, pendeknya akal ahli dunia yang bebal.
Alangkah indahnya ungkapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berikut ini:
إِنَّ لِلهِ عِبَـاداً فُطَـنَا * طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الْفِتَنَا
نَظَرُوا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا * أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوهَا لُجَّةً واتَّخَذُوا * صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيهَا سُفُنَا
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hamba-hamba yang cerdas
Yang tinggalkan dunia karena takut fitnahnya
Mereka cermati dunia, dan setelah tahu
Kiranya dunia bukan tempat kehidupan (sejati)
Mereka jadikan dia bak gelombang
dan siapkan amalan shalih sebagai perahu menyeberanginya.
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=730