Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

hukum berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan leasing (perkreditan)

12 tahun yang lalu
baca 6 menit

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Kita banyak membaca seputar adanya beberapa perusahaan leasing (perkreditan) melalui beberapa surat kabar dan kita juga mendengar hal itu melalui orang-orang (dari mulut ke mulut). Apakah boleh berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan tersebut dan memanfaatkan jasa layanannya?

Jawaban
Kita harus mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan perkreditan; apakah yang dimaksud adalah penjualan secara kredit atau apa? Jika yang dimaksud adalah penjualan dengan kredit, maka penjualan secara tangguh adalah dibolehkan berdasarkan makna zhahir Al-Qur’an dan dalil yang jelas dari As-Sunnah.
Mengenai hal itu, dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” hingga firman-Nya:
“…dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguannmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya…” (Qs. Al-Baqarah:282)

Hal tersebut, yakni penjualan secara tangguh (kredit) adalah boleh hukumnya berdasarkan dalil As-Sunnah yang jelas sekali, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang laki-laki yang telah mempersembahkan kepada beliau pakaian dari Syam agar menjualnya dengan dua buah baju kepada Maisarah (budak Khadijah, isteri beliau) [1]

Dalam kitab Ash-Shahihain dan selain keduanya dari hadits yang diriwayatlkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang ke Madinah sementara mereka biasa melakukan jual beli secara salam (memberikan uang di muka namun barangnya belum bisa diambil/memesan) terhadap kurma setahun atau dua tahun, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaklah dia memesan dalam takaran (Kayl) yang sudah diketahui, dan wazan (timbangan) yang sudah diketahui hingga batas waktu yang sudah diketahui.” [2]

Akan tetapi kami pernah mendengarkan bahwa ada sebagian orang yang menjual barang yang tidak dimilikinya setelah dia mengetahui ada permintaan dari pembeli kepadanya, seperti seseorang mendatangi seorang pedagang sembari berkata padanya, “Saya ingin barang yang begini akan tetapi saya tidak bisa membayarnya.” Lalu si pedagang pergi dan membelinya dari pemilik asalnya, kemudian menjualnya lagi kepada orang yang mencarinya tersebut dengan harga tangguh (kredit) yang lebih mahal daripada harga ketika dia membelinya.

Tidak diragukan labi bahwa ini merupakan pengelabuan (siasat licik) yang amat jelas sekali untuk melakukan riba, sebab sipedagang ini tidak pernah berminat membeli barang itu ataupun membeli untuk dirinya sendiri. Tujuannya hanyalah ingin mendapatkan keuntungan yang akan diberikan oleh si pembeli kepadanya. Dan ini akan menjadi pembeda antara jual beli kontan dengan jual beli kredit.

Sebagian orang terkadang sengaja berkata, “Saya mengambil keuntungan dari anda, misalnya 8%. Atau mengatakan, pada tahun ke dua sebesar 10%. Atau, pada tahun ke tiga menjadi sebesar 15%, demikian seterusnya, riba semakin bertambah setiap kali waktunya diperpanjang, atau setiap kali terlambat membayarnya. Ini merupakan bukti yang nyata sekali bahwa yang dimaksud oleh si pedagang tersebut hanyalah riba saja.

Seorang yang berakal, bila merenungi hal itu pasti akan menemukan bahwa tindakan mengelabui tersebut lebih dekat kepada riba dari jenis Inah yang telah diingatkan oleh Rasulullah. Jual beli Inah adalah seseorang menjual sesuatu dengan harga tangguh (kredit) lalu membelinya lagi secara tunai (kontan) dengan harga yang lebih murah dari harga
saat dia mejualnnya kepadanya.

Bisa jadi si penjual ini, yakni penjual pertama ketika menjualnya tidak terbetik di hatinya bahwa dia akan membelinya lagi dari orang yang telah membeli darinya, demikian pula tidak pernah terbetik di hati si pembeli bahwa dia akan menjualnya lagi, kemudian setelah itu dia mengurungkan niatnya dan menawarkannya di pasaran; sehingga tidak halal (boleh) bagi penjual pertama untuk membelinya dengan harga yang lebih rendah (murah) dari harga ketika dia menjualnya, sebab ini termasuk jual beli Inah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah agar tidak dilakukan, dalam sabdanya:

“Artinya: Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara Inah, senantiasa memegang ekor sapi, rela dengan tanah garapan pertanian (senantiasa mendahulukan kehidupan dunia atas kehidupan akhirat,-pent) dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kehinaan yang tidak akan dicabutNya hingga kalian kembali kepada ajaran dien kalian.” [3]

Sebagaimana telah diketahui bahwa pengelabuan (siasat licik) terhadap penjualan secara kredit yang telah saya sebutkan di muka lebih dekat dengan pengelabuan dalam masalah Inah. Oleh karena itu, saya menasehati saudara-saudaraku, para penjual dan pembeli dari melakukan transaksi seperti ini, yang mereka tidak akan mendapatkan selain
dicabutnya keberkahan pada jual beli mereka. Sementara Allah telah berfirman:

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah: 276)

Disamping itu, traksaksi seperti ini mengandung dampak negatif dari aspek ekonomi karena begitu mudahnya sehingga membuat kaum fakir nekat melakukannya dan menanggung hutang serta menyibukkan beban diri mereka dengan hutang-hutang yang telah bertumpuk ini. Barangkali, ada waktunya mereka sama sekali tidak mampu melunasinya, maka ketika itu terjadilah berbagai problematika dan perselisihan antara si penjual dan pembeli bahkan bisa jadi sampai kepada kondisi kebangkrutan, lalu apa akibat yang akan dituai oleh penjual yang sengaja menginginkan riba dari
transaksi tersebut? Allah berfirman:

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina.’ Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.Al-Baqarah: 66-67)

Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan nasehat kepada segenap saudara-saudaraku, kaum muslimin agar tidak melakukan pengelabuan terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan hendaknya mereka mengetahui bahwa yang menjadi standar dalam akad-akad jual-beli adalah tujuan-tujuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang tergantung kepada niatnya.” [4]

Bila orang ini memang benar-benar temannya, maka alangkah baiknya dia meminjamkannya dengan pinjaman yang baik (Qardl Hasan), yang tidak mengandung riba di dalamnya. Dengan begitu, dia termasuk orang-orang yang berbuat ihsan sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya.

“Artinya: sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (ihsan).”
(Qs. Al-Baqarah: 195)

Dan saya menasehati saudara saya yang melakukan transaksi seperti ini agar menggugurkan riba yang ditambahkannya kepada harga mobil tersebut dan hanya mengambil sebatas harga pembeliannya saja.

[Kitab Ad-Da’wah, edisi 5, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal. 55-60]
_________
Catatan Kaki:
[1]. HR At-Tirmidzi, Kitab Al-Buyu (1213), An-Nasai, Kitab Al-Buyu (7 /294),
Ahmad (6 /147).
[2]. HR Al-Bukhari, Kitab As-Salam (2239-2241), Muslim, Kitab Al-Musaqah (1604)
[3]. HR Abu Dawud, Kitab Al-Buyu’ (3462), Hadits ini memiliki jalur periwayatan
yang dapat menguatkan kualitasnya (lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah, No. 11.
[4]. HR Al-Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyi (1), Muslim, Kitab Al-Imarah (1907)

http://atsarussalaf.wordpress.com