Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

fatwa ulama rabbani tentang bom bunuh diri (bag.ii)

12 tahun yang lalu
baca 2 menit

FATWA SYAIKH MUHAMMAD BIN SHOLIH AL UTSAIMIN rahimahullah:
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan bunuh diri, dengan cara membawa alat peledak. Maju ke hadapan orang kuffar kemudian meledakkan bom itu diantara mereka. Ini termasuk membunuh diri sendiri -kita berlindung kepada Allah dari perbuatan seperti ini-. Maka siapa yang membunuh dirinya, kekal di neraka Jahannam selama-lamanya.

Sebagaimana hal ini disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang ini membunuh jiwa tanpa ada maslahat bagi Islam. Karena dia bila membunuh dirinya dan membunuh orang lain yang bersamanya 10 atau 100 atau 200, tetap tidak memberikan manfaat bagi Islam. Orang tidak masuk Islam dengan cara itu.
Berbeda dengan kisah anak muda (yang dibunuh kemudian
orang banyak masuk Islam karenanya, lihat kisah ini dalam kitab Riyadhush Sholihin-red), dia menyebabkan banyak yang masuk Islam. Semua yang hadir ditempat itu masuk Islam.
Adapun jika yang mati 10 atau 20 atau 100 atau 200 musuh, ini tidak bisa dikatakan mereka masuk Islam.

Bahkan, parahnya musuh semakin banyak dan membuat darah mereka semakin mendidih akibat peledakan ini. Akibatnya, mereka membunuh lebih banyak lagi kaum muslimin. Sebagaimana ini dilakukan oleh orang yahudi kepada kaum muslimin Palestina. Orang Palestina, jika mereka berhasil membunuh satu atau enam atau tujuh orang yahudi dengan cara peledakan ini, maka yahudi membatasnya dengan mereka membunuh 60 orang lebih Patestina.

Maka cara itu tidak memberikan manfaat bagi kaum muslimin.Dan juga tidak ada manfaat bagi orang-orang yang melakukan peledakan ini pada barisan mereka. Oleh karena ini kita memandang, apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan melakukan peledakan ini berarti dia telah membunuh dirinya tanpa alasan yang benar. Dan dengan perbuatannya itu telah mewajibkannya masuk neraka -wal ‘iyadzu billah-. Pelakunya tidak syahid. Akan tetapi bila dia melakukan peledakan ini dengan muta’awwilan (menggunakan takwil-red), kita memandang hal ini boleh. Semoga dia selamat dari dosa.

Adapun kalau pelakunya dikatakan sebagai syahid, maka tentu tidak. Karena, itu bukan cara mendapatkan syahadah (rnati syahid). Akan tetapi dia selamat dari dosa karena dia berusaha ijtihad (muta’awwilan). Siapa yang berijtihad kemudian salah, maka dia dapat satu pahala. (Al Fatawa Al Muhimmah hal. 77-78)

Dikutip dari Buletin Islamy Al-Minhaj, Edisi VI/Th.I