Sungguh tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang kepada orang beriman selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Penderitaan orang-orang beriman adalah penderitaannya. Bahkan kesusahan orang-orang beriman ia rasakan lebih perih, seakan ia pusat saraf paling peka dari sebuah tubuh.
Tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih bersungguh-sungguh ingin memberikan petunjuk dan bimbingan serta ingin memberikan jalan keluar terbaik bagi orang-orang beriman, selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Keselamatan dan kebahagiaan orang-orang beriman adalah kebahagiaannya.
Tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang dan tulus kepada orang-orang beriman selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Apa yang ia beri tak pernah ia harap kembali. Dialah yang tak pernah menjual nasihat demi sekedar mereguk ni’mat, syahwat atau pangkat, juga tidak pernah gila hormat.
Sungguh pribadi agung ini telah ALLAH SUBAHANAHU WA TA’ALA gambarkan akan sifatnya (yang artinya): Telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat baginya penderitaanmu, sangat mengingingkan –keimanan dan keselamatan- atas kalian, dan amat penuh belas kasih sayang terhadap orang-orang beriman. (At-Taubah: 128)
Ya, dialah orang paling jujur nan amanah serta tulus menasihati ummah. Lisannya terjaga penuh, bukan mengikuti hawa nafsu melainkan di bawah bimbingan wahyu. Dan sebagaimana yakinnya kita akan kelengkapan dan kesempurnaan Islam, yakin pula kita akan lengkap dan sempurnanya bimbingan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan tentu saja bimbingan itu -melalui nasihatnya- meliputi ragam macam masalah yang bakal kita hadapi, sepanjang masa..Dalam urusan diri, keluarga, atau masyarakat. Yang bahkan sahabatnyapun –Abu Dzar- bersaksi: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan kami. Dan tidaklah burung yang terbang di udara dengan kedua sayapnya kecuali telah sampai kepada kami ilmu tentangnya.
Lebih dari itu. Amalan dan perkara yang dapat mendekatkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari neraka pun telah dia jelaskan !
“Tidak tertinggal sedikitpun perkara yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah aku jelaskan bagi kalian.”
Di dalam kehidupan masyarakat, di sana ada pihak yang mengatur, ada pula yang diatur. Islam bukan hanya membimbing para pengatur, bagaimana cara mengatur orang banyak. Islam juga membimbing pihak yang diatur, bagaimana cara bertutur kepada pengatur.
Ya, kekasih ALLAH yang paling mengerti urusan umatnya dan paling sayang kepada mereka menasihati dan membimbing agar mereka menyadari, bahwa para pengatur mereka itu juga manusia yang tak luput dari kekeliruan atau kesalahan. Karena itu mereka harus saling menasihati.
Barangsiapa memiliki nasihat bagi penguasa, hendaknya tidak ia sampaikan secara terang-terangan. Pegang tangannya dan bicarakan berdua. Seandainya penguasa itu mau menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang menasihati itu telah menunaikan kewajibannya, sedang penguasa itu bertanggung jawab atas kewajibannya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim :As-Sunnah , Al Baihaqi: As-Sunnan Al Kubro, Al Hakim: Al Mustadrak, dan Ahmad: Al Musnad)
Ya, menasihati penguasa bukan dengan cara membuat orasi-orasi di mimbar-mimbar bebas, yang kata mereka -dengan gagahnya-: “Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang jahat.”
Hendaknya mereka memperhatikan betul kata “di hadapan penguasa”, yakni hendaknya –sejalan dengan hadits di atas- menyampaikan nasihat itu tidak di hadapan orang banyak.
Bagaimana akan menerima nasihat, jika telah lebih dahulu dipermalukan, dibeberkan aib, dan dilukai hatinya. Membeberkan kesalahan dengan cara semacam ini justru akan membuat mereka semakin sulit menerima nasihat. Ingatlah pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: Jangan kalian bantu syaithan menguasai saudaramu.
Ya, gara-gara salah di dalam cara menasihati, hasilnya bahkan semakin parah. Syaithan semakin kuat memeluk dan menguasainya. Tidak sedikit datangnya kebrutalan kaki tangan penguasa justru diundang oleh cara-cara mereka yang -katanya- ingin menasihati penguasa. Ya, keadaan semacam di atas, sungguh sangat mungkin terjadi disebabkan ulah penasihat yang tidak hikmah. Memaksakan kehendak agar semua nasihat didengar, diterima, dan dijalankan saat itu juga. Apalagi jika telah terang-terangan melanggar rambu-rambu nasihat.
Kita lupa mungkin, masing-masing kita -ketika ingin mengubah kemungkaran- harus tetap berada di atas posisi yang benar. Keluar dari posisi berarti juga telah berbuat kemungkaran. Bagaimana mungkin kemungkaran bisa diubah dengan cara yang juga mungkar?
Para penguasa mengubah kemungkaran dengan kekuasaan dan kekuatannya, di situlah posisinya. Para ulama, da’i, atau guru mengubah kemungkaran lewat nasihat-nasihatnya, di situlah posisinya. Orang awam semacam kita, yang tidak berilmu juga tak memiliki kekuasaan mengubah kemungkaran dengan hati, berupa do’a dan pengingkaran hati, di situlah posisinya. Inilah yang dimaksud dari sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tak sanggup, dengan lisannya. Jika tak anggup, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman. (HR: Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri)
Dan hendaknya kita sadar, bahwa syaithan menggoda siapa saja. Ahli ma’shiyat digoda, sehingga semakin tenggelam di dalam kema’shiyatannya. Ahli ibadah juga digoda, sehingga semakin tenggelam di dalam keasyikan beribadah yang bercampur dengan kesyirikan dan kebid’ahan, tanpa mereka sadari. Mereka yang ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar juga tak luput dari godaannya. Digoda dengan semangat dan sikap berlebih-lebihan sehingga keluar dari posisinya. Manakala telah keluar dari posisi serta mengambil yang bukan porsinya, tinggalah menunggu saatnya mereka terjerumus ke dalam sikap selalu beroposisi kepada penguasa, yang berujung kepada pengkafiran dan pemberontakan. Dan bukan ini yang dikehendaki dari mencegah kemungkaran.
Betul, kita diperintahkan untuk mencegah kemungkaran: Dari Anas bi Malik, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, berkata,”Tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim dan yang didzalimi.” Beliau ditanya,” Ya, Rasulullah. Kami mengerti tentang menolong yang didzalimi. Akan tetapi, bagaimana cara menolong yang berbuat dzalim?” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Cegahlah dia dari perbuatan dzalim tersebut. Demikianlah cara kalian menolong mereka.” (HR: Al Bukhari / At-Tirmidzi. Dan ini lafadz At-Tirmidzi)
Namun, ketika orang yang paling mengerti urusan umat dan paling sayang kepada mereka ini mengungkapkan kata “cegah” dengan “tolong” , itu artinya perbuatan tersebut haruslah dilandasi kasih sayang, bukan kebencian!!!
Ya, orang yang paling mengerti urusan umat dan paling sayang kepada mereka ini telah menasihati kita agar tulus dan tidak berjual-beli di dalam nasihat: Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya kelak akan kalian dapati penguasa yang hanya mementingkan dirinya.” Para sahabat bertanya:”Apa yang harus kami perbuat (-jika mendapati hal itu-), wahai Rasulullah?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab:” Tunaikan kewajiban kalian kepada mereka, dan mintalah hak-hak kalian kepada ALLAH!” (HR: Al Bukhari)
Ya, kekasih ALLAH yang paling mengerti urusan umatnya dan paling sayang kepada mereka menasihati dan membimbing agar mereka senatiasa ta’at kepada orang-orang yang diserahi tanggung jawab mengurus umat, tanpa pamrih dan tawar-menawar keta’atan, selama bukan dalam urusan ma’shiyat. Beliau tidak mengajari kita mengatakan: Kami ta’ati kalian kalau kalian memenuhi tuntutan kami. Bahkan meskipun orang-orang tersebut memakan harta atau memukul punggung mereka.
Dari Ubadah bin Shaamit, berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memanggil kami, maka kamipun berbai’at dan ia mengambil janji dari kami untuk mendengar dan ta’at dalam senang atau terpaksa, dalam kelapangan atau kesempitan. Dan tidak mencabut ketaatan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang menjadi bukti bagimu di hadapan ALLAH.” (HR: Al Bukhari)
Pada riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban ada tambahan: “Meskipun mereka memakan hartamu dan memukuli punggungmu.”
Perhatikanlah, wahai orang yang mengaku pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (Meskipun mereka memakan hartamu dan memukuli punggungmu) !!!. Jangan lupa, bahwa yang mengatakan ini adalah yang tidak berkata-kata kecuali di bawah bimbingan wahyu.
Begitu pula, ketika umat ditimpa paceklik, barang langka harga melambung, sebagaimana kejadian semacam ini -di mana saja dan kapan saja- dijadikan momentum untuk “menyadarkan” umat akan haknya, Sang Kekasih ALLAH ini justru mengingatkan kita untuk kembali kepada ALLAH: Dari Anas bin Malik, ia berkata: Pernah di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam harga-harga melambung. Maka para sahabat berkata,”Ya Rasulullah, turunkan harga!” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,” Sesungguhnya ALLAH-lah yang menetapkan harga. Dia-lah yang Menaikkan, Menurunkan, dan Memberi Rezeki. Sungguh aku berharap dapat berjumpa dengan rabb-ku dalam keadaan tak seorangpun di antara kalian menuntutku karena ketidakadilanku dalam urusan darah dan harta.” (HR: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Beliau tidak pernah menyuruh umatnya -apalagi kaum ibu- untuk turun ke jalan membawa alat dapur, memukul-mukulnya agar riuh kedengarannya, menarik perhatian orang banyak seraya berteriak-teriak menuntut turunnya harga Sebagian lagi bertindak anarkis asyik bermain-main dengan api di jalan tempat orang berlalu lalang, membikin semua orang kegerahan karena macet. Sungguh sulit untuk percaya bahwa mereka sedang membela nasib orang-orang susah. Ya, pribadi yang paling mengerti urusan umat dan paling sayang kepada mereka tak pernah mengajari kita melakukan tindakan sia-sia -yang merendahkan martabat- semacam ini!!!
Akankah kita katakan bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerti penderitaan umatnya? Alangkah kejamnya Beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, membiarkan umatnya didzalimi ??? Apakah para provokator -yang senantiasa memanas-manasi umat ini- lebih tulus nasihatnya dan lebih arif pertimbangannya dibanding Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ?
Tentu saja, sangat dimaklumi, bahwa nasihat-nasihat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di atas sangat tidak menguntungkan bagi mereka yang suka menjadikan kedzaliman penguasa sebagai komoditi politik. Dan sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengajari kita demikian, menjual nasihat demi syahwat atau pangkat. Maka tidak ada tempat untuk bertanya: “Bagaimana jika pemerintah tidak mau menerima nasihat dan teguran kita?” Juga tak ada tempat untuk mencurigai ulama, bahwa mereka tidak pernah menasihati penguasa. Apa dasar kecurigaan ini dan dari mana mereka tahu bahwa para ulama diam saja melihat kemungkaran? Apakah para ulama, da’i, ustadz-ustadz itu harus melaporkan kepada masyarakat bahwa mereka telah berkata ini dan itu kepada penguasa ???
Merekalah yang lebih layak untuk dicurigai -kalau memang boleh kita berburuk sangka kepada mereka- ketimbang para ulama. Mereka yang sering -di atas mimbar- menasihati orang banyak dengan kemasan agama. Ya, cukup kepada mereka, dan kita tak punya urusan kepada yang jahil, yang hanya jadi kaki tangan, operator lapangan yang tak mengerti sedikitpun agama ini. Tanyakan kepada mereka,: “Mengapa kalian -yang mengaku tahu dan peduli terhadap urusan umat- tak pernah menyampaikan hadits-hadits di atas? Dikemanakan hadits-hadits ini? Dikemanakan?”
Buletin Jum’at Risalah Tauhid -Depok- edisi 81
Sumber:www.mimbarislami.or.id