Fadhilatus Syaikh Doktor Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Firkous Hafizhahullah Ta’ala
الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على مَن أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:
Sesungguhnya termasuk kemuliaan bulan pertama (Muharram) dari bulan-bulan Qomariyyah lainnya adalah penyandaran Nabi Shallallahu Alaihi wasallam bulan ini kepada Rabb-nya, dan Beliau menyebutkan sifat ini dalam sabda Beliau Shallallahu Alaihi wasallam:
«أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمِ»(١- أخرجه مسلم كتاب «الصيام»: (1/520)، رقم: (1163)، وأبو داود كتاب «الصوم»، باب في صوم المحرم: (2429)، والترمذي كتاب «الصلاة»، باب ما جاء في فضل صلاة الليل: (438)، وأحمد في «مسنده»: (2/344)، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.)
“Puasa yang paling utama setelah ramadhan adalah bulan Allah (Al-Muharram).”
(Dikeluarkan Muslim, kitab Ash-Shiyam:1/520, No:1163. Abu Dawud kitab Ash-Shaum Bab: Shaumul Muharram, No:2429. At-Tirmidzi kitab Ash-Shalah bab : ma jaa fifadhli shalaatil lail :438, Ahmad dalam musnadnya (2/344), dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Merupakan hal yang telah dimaklumi bahwa Allah tidak menyandarkan kepadanya kecuali makhluk-makhluknya yang memiliki kekhususan sebagai bentuk keutamaan dan kemuliaan.
Berkata As-Suyuthi rahimahullah :
“Aku ditanya: mengapa dikhususkan bulan Muharram dengan ucapan mereka “bulan Allah Tabaraka wa Ta’ala” tanpa bulan lain, padahal diantara bulan tersebut ada yang menyamainya dalam hal keutamaan atau melebihinya seperti bulan ramadhan?
Maka Akupun mendapati jawabannya adalah :
Bahwa nama ini merupakan nama islamnya bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya dizaman jahiliyyah. Nama bulan Muharram dimasa jahiliyyah adalah shafar awal, lalu yang berikutnya disebut shafar tsani. Tatkala islam datang, Allah memberinya nama Muharram. Maka disandarkan kepada-Nya karena sebab ini. Ini merupakan faedah berharga yang aku lihat dalam “al-jamharah”.
(Ad-Dibaj syarah shahih Muslimbin Al-Hajjaj,As-Suyuthi:3/352)
Dibenci menyebutkan bulan Muharram dengan sebutan Shafar, sebab hal itu merupakan kebiasaan jahiliyah, sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi. (Al-Adzkar, An-Nawawi: 364)
Mungkin juga termasuk dari kebiasaan mereka bahwa mereka menyebut bulan Muharram dan Shafar secara bersamaan dengan lafazh Shafarain (dua bulan Shafar) sebagai penyebutan dominan, bukan karena Muharram sebagai nama yang baru muncul.
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:
Sesungguhnya nama “bulan muharram”, pada zaman jahiliyyah disebut “shafar awal”, dan penamaan Muharram merupakan istilah islam. Ini merupakan pendapat sebagian ahli bahasa, dan aku menyangka ada ketersamaran, sebab perubahan nama-nama yang bersifat umum akan menyebabkan pengkaburan yang tidak dikehendaki oleh syari’at. Bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bertanya pada saat berkhutbah di haji perpisahan (haji wada’):
hari apakah ini?
Perawi (yaitu sahabat Nufai’ bin Al-Harits radhiallahu anhu berkata: kamipun diam sehingga kami menyangka bahwa Beliau akan menyebut nama yang bukan namanya .Maka Beliau berkata: bukankah ini bulan dzul hijjah? kami menjawab: benar. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ
“sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram diantara kalian, seperti mulianya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, pada negeri kalian ini…..”
(dikeluarkan Bukhari kitab Al-ilmu, Bab: qaulun Nabi Shallallahu ALaihi Wa Aalihi Wasallam “rubba muballaghin au’a min sami’)(1/25), Muslim kitab Al-Qasamah wal muharibin wal qishash (2/799), No:1679), dari hadits Abu Bakrah dan namanya: Nufai’ bin Al-Harits radhiallahu anhu)
Lalu beliau menyebut disela-sela khutbah bulan-bulan haram dimana Beliau berkata: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan Rajab Mudhar yang terdapat antara Jumada dan Sya’ban. Kalaulah seandainya nama Muharram merupakan nama yang baru, tentunya Beliau akan menjelaskannya kepada orang-orang yang hadir yang datang dari berbagai daerah yang jauh, sebab kejadian seperti ini jika seandainya Beliau menyebutkannya (sebagai nama baru), tentu akan dinukil oleh manusia. Namun mereka menyebutkan bersama bulan Safar bersamanya dengan lafazh “shafarain” sekedar penyebutan dominasi.”
(Mu’jam al-manahi al-lafzhiyyah, Bakr bin Abdillah Abu Zaid: 341-342, dengan sedikit perubahan).
Setelah mengetahui hal ini, maka perlu diketahui bahwa tidak ada nash yang syar’i yang shahih tentang awal bulan Allah Muharram yang menetapkan kekhususan dzikir dan do’a, umrah, dan berpuasa pada hari pertama pada awal tahun dengan niat membuka tahun hijriyyah dengan berpuasa, dan tidak pula menutup tahun dengan berpuasa dengan niat berpisah dengan tahun hijriyyah. Apa yang datang dari hadits-hadits tentang hal ini adalah palsu dan dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu Alaihi Wa aalihi wasallam, diantara hadits palsu adalah:
«من صام آخِرَ يومٍ من ذي الحجة وأول يوم من المحرَّم، ختم السنة الماضية وافتتح السنة المقبلة بصوم، جعل اللهُ له كفارة خمسين سنة»
“barangsiapa yang berpuasa pada akhir hari dibulan dzulhijjah dan awal hari bulan Muharram, dia menutup tahun yang lama dan membuka tahun baru dengan berpuasa, maka Allah akan menjadikan baginya penebus dosa selama limapuluh tahun.”
(Lihat: Al-Lala’il mashnu’ah, As-Suyuthi: 2/108, Tanzih Asy-Syari’ah, Al-Kinani (2/148), Al-Fawaaid Al-majmu’ah, Asy-Syaukani:96)
Sebagaimana tidak shahih pula dalam syari’at menghidupkan awal hari dibulan muharram dengan shalat, dzikir dan do’a, atau yang semisalnya. Berkata Abu Syamah rahimahullah:
«ولم يأت شيءٌ في أول ليلةِ المحرَّم، وقد فتشت فيما نقل من الآثار صحيحًا وضعيفًا، وفي الأحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيئًا، وإني لأتخوَّف -والعياذ بالله- من مُفترٍ يختلق فيها»
“tidak ada satupun penjelasan tentang awal malam bulan muharram, sungguh aku telah memeriksa berbagai penukilan berupa atsar-atsar yang shahih maupun lemah, dan bahkan hadits-hadits yang palsu, saya tidak mendapati seorangpun menyebutkan satupun tentangnya, dan sesungguhnya aku khawatir –wal’iyadzu billah- berasal dari pendusta yang memalsukannya.”
(Al-ba’its alaa inkar al-bida’ wal hawadits, Abu Syamah:239)
(bersambung insya Allah)
http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77:bulan-muharram-antara-sunnah-dan-bidah&catid=27:fiqh&Itemid=30