Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

bingkisan ringkas untuk abduh za – pertama (revisi)

12 tahun yang lalu
baca 12 menit

Buku “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah” itu untuk siapa?

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah —salah seorang ‘ulama Ahlus Sunnah terkemuka pada masa ini yang tinggal di kota Madinah— telah menulis kitab kecil yang berjudul : Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah. Dalam kitab tersebut Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin memberikan nasehat kepada Ahlus Sunnah/Salafiyyin tentang bagaimana cara bersikap antar sesama Ahlus Sunnah.

Namun banyak dari kalangan hizbiyyun yang berusaha mencari celah dengan kitab tersebut dan menggiring pembaca untuk memahami bahwa buku tersebut ditulis untuk menasehati Ahlus Sunnah agar bersikap lembut terhadap ahlul batil. Mereka gunakan kitab tersebut sebagai senjata untuk memukul balik Ahlus Sunnah/Salafiyyin yang selama ini gencar menasehati dan memperingatkan umat akan bahaya paham dan aqidah sesat hizbiyyah, baik IM (Ikhwanul Muslimin) maupun yang lainnya. Sebagian mereka menyatakan bahwa Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin telah marah besar kepada Salafiyyin yang selama ini sibuk mentahdzir para hizbiyyun tersebut. Seakan mereka menyatakan kepada Ahlus Sunnah, “Janganlah kalian bersikap kasar kepada kami, tapi hendaknya kalian bersikap lembut, ingat nasehat ‘ulama kalian sendiri dalam kitabnya “Rifqan Ahlas Sunnah…”

Diantara pihak yang berusaha mencari celah melalui kitab tersebut dan merasa mendapat senjata “ampuh” untuk memukul Ahlus Sunnah adalah Abduh ZA dalam bukunya STSK ini. Dia berupaya mencatut keharuman nama Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin dan kitab karya beliau tersebut untuk memukul Ahlus Sunnah. Diantaranya bisa dilihat pada STSK hal.xix dan 306. Abduh ZA mengesankan bahwa Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin tidak setuju dengan sikap keras dan tegas yang ditunjukkan oleh Ahlus Sunnah kepada ahlul batil. Dia juga mengesankan bahwa sikap Ahlus Sunnah yang demikian itu merupakan bentuk pelecehan terhadap ‘ulama. Saudara Abduh ZA menyatakan :
“Melecehkan dan mendiskreditkan para ‘ulama (dan syuhada) seperti inilah yang dikeluhkan oleh salah seorang ulama besar pakar hadits abad ini, Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Abdul Muhsin bin Al-Abd bin Hamd Al-Abbad Al-Badr hafizhahullah dalam salah salah satu kitab (kutaib) beliau yang berjudul,”Rifqan Ahla As-Sunnah bi Ahli As-Sunnah.” …” (STSK hal. 306)

Apakah demikian adanya? Untuk siapa kitab tersebut beliau tulis? Benarkah kitab tersebut sebagai bentuk keluhan dan ketidaksetujuan Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin terhadap sikap Salafiyyin yang keras dan tegas terhadap kebatilan dan ahlul batil?

Hal ini terjawab dengan keterangan langsung dari penulis kitab itu sendiri, Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah, yang tentunya beliau-lah yang lebih tahu dan lebih mengerti untuk apa kitab itu ditulis dan kepada siapa ditujukan.

Berkata Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafizhahullah, sebagaimana dinukil dalam kitab Ittihaful ‘Ibad bi Fawa-idi Durusi Asy-Syaikh ‘Abdil Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad –kitab ini telah dibaca dan direkomendasi oleh Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin sendiri— (hal. 60):
“Kitab yang saya tulis pada akhir-akhir ini (yaitu kitab Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, pent) …tidak ada hubungannya dengan pihak-pihak yang pernah saya sebutkan dalam kitab Madarikun Nazhar 1) . Dengan ini yang dimaksud dengan bersikap lembutlah wahai Ahlus Sunnah terhadap Ahlus Sunnah, bukanlah kelompok Ikhwanul Muslimin, bukan pula orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, dan yang lainnya dari kalangan harakiyyin (para aktivis pergerakan, pent). Tidak pula yang dimaksudkan (oleh buku tersebut) orang-orang yang terpengaruh pemikiran fiqhul waqi’ 2), (orang-orang yang) mencaci maki pemerintah, dan meremehkan para ‘ulama. Bukan mereka yang dimaksudkan sama sekali. Tapi hanyalah yang dimaksudkan (oleh buku tersebut, pent) adalah intern Ahlus Sunnah saja, di mana telah terjadi diantara mereka ikhtilaf, sehingga mereka sibuk dengan sesamanya untuk saling menjarh, memboikot, dan mencela” 3); 4).

Demikianlah sikap kebanyakan para ahlul batil. Mereka selalu mencari celah dan kesempatan dari pernyataan, fatwa, dan kitab-kitab para ‘ulama Ahlus Sunnah untuk mendukung kebatilan mereka atau bahkan untuk memukul Ahlus Sunnah. Inilah yang kami istilahkan dengan Bahkan tidak jarang pula mereka berani melakukan kedustaan atas nama para ‘ulama tersebut. Sikap hina seperti ini, setelah sebelumnya banyak dipertontonkan oleh Imam Samudra —dan alhamdulillah telah dikupas dan dijelaskan kebatilan-kebatilannya dalam buku MAT— subhanallah … Ternyata sikap yang sama kembali ditunjukkan oleh orang yang “mengkritisi” MAT, yang ia lakukan dengan menempatkan pernyataan para ‘ulama tidak pada tempatnya.

  

Benarkah Hanya Pendapat Pribadi atau Kelompoknya?

Abduh ZA dalam STSK-nya sering mengesankan kepada pembaca bahwa apa yang ditulis oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh dalam MAT itu semata-mata pendapat/pikiran pribadi atau kelompoknya saja.
Diantaranya :
“Bagaimana tidak, hampir tidak ada ruang pembenaran bagi semua orang dan kelompoknya yang berbeda sikap dan pendapat dengan si penulis.” (STSK hal. 2)

“…semua kaum muslimin termasuk para ulamanya yang tidak sepaham dengan penulis dan kelompoknya.” (STSK hal. 6/fn. 11)

“Seakan-akan yang paling tahu masalah makruf dan mungkar hanyalah beliau dan kelompoknya saja.” (STSK hal. 7)

“Artinya, mereka yang diserang adalah tokoh kemungkaran dan bergelimang dengan aroma bid’ah yang sesat lagi berbahaya, menurut pandangan Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh.” (STSK hal. 18)
[cetak tebal pada penukilan-penukilan di atas adalah dari kami]

Apa tujuan Abduh berbuat demikian? Jawabannya adalah untuk mengesankan bahwa bantahan-bantahan itu sekadar datang dari “Al Ustadz Luqman Ba’abduh dan kelompoknya”, dan seolah-olah sama sekali bukan dari kalangan para ‘ulama besar Ahlus Sunnah. Hal ini ia lakukan untuk mengelabuhi para pembaca bahwa sikap mengkritik dan membantah ini bukan dari kalangan ‘ulama Ahlus Sunnah.

Perlu kami tegaskan di sini, bahwa apa yang dida’wahkan dan diserukan oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh, baik di buku MAT secara khusus maupun da’wah beliau secara umum yang lainnya —baik dalam kaset-kaset maupun ceramah-ceramah beliau— adalah aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aqidah dan manhaj yang telah dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada para shahabatnya, kemudian para shahabat beliau mengajarkannya kepada para tabi’in, kemudian para tabi’in mengajarkannya kepada para tabi’it tabi’in, demikian seterusnya dari generasi ke generasi hingga sampailah aqidah dan manhaj ini dibawa dan diajarkan oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Uraian tentang masalah ini telah kami bawakan secara panjang lebar dalam MAT. Pembaca bisa membuka kembali MAT halaman : 85-102 (cet. II)

Kalau ini mau dikatakan kelompok, benar ini adalah kelompok, karena memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri yang menamakannya sebagai kelompok. Tapi ingat bukan sembarang kelompok, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakannya sebagai kelompok yang selalu mengikuti prinsip, aqidah, dan manhaj beliau dan para shahabatnya, sebagai satu-satunya kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah); selamat dari kesesatan dan penyimpangan di dunia ini, dan juga selamat dari adzab jahannam di akhirat kelak.

Jadi aqidah dan manhaj yang diperjuangkan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh dan kelompok ini adalah kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang senantiasa berupaya mengacu kepada aqidah dan manhaj generasi as-salafush-shalih. Yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, menang, dan jaya.

Ahlus Sunnah tidak bisa disamakan — bahkan sekedar dibandingkan pun tidak bisa—dengan kelompok-kelompok semacam IM, HT, LDII, NII, Shufi, Syi’ah-Rafidhah, …dll.

  

STSK dan Kacang Goreng

Mungkin pembaca akan terheran-heran dengan sub judul ini. Tapi memang antara keduanya ada kemiripan. Bagaimana itu? Mari kita ikuti bersama pembahasan berikut :
Dalam bukunya, Abduh ZA senantiasa “berpenampilan ilmiah”, sebagaimana pula dinyatakan oleh penerbit : “…penulis juga sangat memperhatikan metode ilmiah dalam penulisan sebuah buku,…” (STSK hal. xiv).

Namun sangat disayangkan, buku STSK yang —katanya— memiliki bobot ilmiah ini, ternyata menjadikan buku yang sangat (maaf) murahan dan sama sekali tidak memiliki bobot ilmiah sebagai salah satu sumber rujukan. Yaitu buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak. Yang dipuji oleh Abduh ZA sebagai “…dengan bukunya yang laris bak kacang goreng…” (STSK hal. xvi).
[cetak tebal dari kami]

Sangat tepat sekali penilaian Abduh ZA tersebut. Buku yang ditulis – oleh seseorang yang menyebut dirinya – Abu Abdirrahman Al Thalibi tersebut benar-benar tidak lebih nilainya hanya seperti kacang goreng. Nah, buku STSK yang katanya ilmiah ini, ternyata menjadikan buku tersebut sebagai rujukan.

Pembahasan menarik seputar masalah ini insya Allah akan dikupas oleh Al-Ustadz Luqman.

Sekedar contoh yang menunjukkan bahwa buku tersebut benar-benar “bak kacang goreng” :
a. Penulisnya selalu menyembunyikan jati dirinya dan segala hal yang berkaitan dengannya, termasuk jati diri orang-orang yang pernah berhubungan dengannya.
Contohnya : Pada halaman 44-46 :
“Saya mulai mengenal ajaran Salafiyah dari seorang teman di SMA dulu. Sebut saja namanya Abdullah (hamba Allah)…
Setelah lulus SMA, saya masuk sebuah perguruan tinggi negeri (PTN). Di PTN ini saya kemudian mengenal tiga komunitas dakwah Islam, …
Abdullah sendiri kuliah di UGM Yogyakarta, di sebuah jurusan yang cukup bonafide

Ketika saya pindah kuliah ke kota lain, saya melanjutkan proses halaqah IM yang saya ikuti… Di kota yang baru itu saya berkenalan dengan pengurus sebuah yayasan Salafiyah yang dipimpin oleh seorang ustadz tertentu. …kepada Abdulllah di Yogyakarta saya ceritakan tentang komunitas Salafy yang saya jumpai itu. Tetapi dia menjawab negatif, katanya ustadz yang saya sebutkan itu belum diakui oleh teman-teman Salafy di Yogyakarta …”

Demikianlah dia selalu berupaya untuk menyembunyikan segala hal yang terkait dengan dirinya, baik tempat, orang-orang yang pernah berhubungan dengan, nama yayasan, nama kota, dan sebagainya…, ada apa ini? Sumber atau referensi apa yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui benar tidaknya cerita tersebut atau oknum-oknum yang terkait? Kenapa penulis buku itu begitu ‘takut’ untuk diketahui jati dirinya? Apakah ini yang namanya ilmiah itu? Inikah sikap obyektif dan proporsional itu? Jawablah dengan kejujuran…

Jika itu merupakan cerita biasa, mungkin tidak terlalu jadi masalah —walaupun tetap hal itu merupakan bukti ketidak ilmiahannya— namun cerita tersebut dijadikannya sebagai ukuran untuk menilai dan memojokkan suatu kelompok. Sekali lagi, apakah dengan cara yang tidak ilmiah seperti ini dia hendak menjatuhkan kelompok lain?

b.Data-data yang disajikan pun serba bias dan tidak jelas
Contohnya, pada halaman 54 :
“Dalam perjalanan pulang dari Makassar menuju pelabuhan Surabaya, saya bertemu dengan seseorang mantan anggota Laskar Jihad di atas kapal. Pemuda itu semula tidak menceritakan keadaannya, tetapi setelah bicara kesana-kemari dia mengaku bahwa dirinya pernah ikut Laskar Jihad. Tetapi karena satu dan lain hal dia akhirnya berhenti dan memilih menjadi orang biasa. Dia mengatakan bahwa dirinya telah menikah dengan salah seorang muslimah di Maluku. Seingat saya, dia anggota Laskar Jihad dari sebuah kota di Jawa Tengah.”

Demikian dia menyebutkan data dengan bias dan tidak jelas. Jika itu sekadar cerita biasa, mungkin tidak masalah. Namun masalahnya cerita itu dijadikan sebagai fakta yang ia sebutkan dalam rangka memvonis dan menunjukkan gambaran negatif atas sikap berlebihan “Salafy Yamani”. Apakah fakta bias yang tidak ilmiah seperti ini bisa diterima? Anehnya sikap seperti ini yang dinamakan adil dan obyektif oleh penulis. Perhatikan ucapan dia :
“Boleh jadi dalam penuturan ini ada data-data yang bias, tetapi saya berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersikap adil dan obyektif.” (hal. 44)

Apakah seperti ini pula sikap adil itu menurut pandangan saudara Abduh ZA?

c.Sembrono dalam perkara yang sudah jelas
Contohnya : Pada halaman 39-40 :
“Setelah menimbang berbagai pertimbangan, lalu ulama-ulama yang menjadi rujukan Salafy Yamani, terutama Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, merekomendasikan agar FKAWJ dan LJ dibubarkan. Sekitar pertengahan Oktober 2002, dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ sekaligus Laskar Jihad.”

Perhatikan kata-kata yang kami beri cetak tebal. Dari pernyataannya itu dia telah melakukan beberapa kesalahan :
1.Dia nyatakan bahwa bubarnya FKAWJ dan LJ atas rekomendasi ulama-ulama yang menjadi rujukan Salafy Yamani, termasuk diantaranya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i. Padahal Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah telah meninggal dunia pada 1 Jumadil Ula 1422 H atau tanggal 22 Juli 2001 M. Sementara FKAWJ dan LJ bubar pada Oktober 2002. Bagaimana mungkin seorang ‘ulama yang sudah meninggal dunia satu tahun tiga bulan sebelumnya bisa memberikan rekomendasi agar FKAWJ dan LJ dibubarkan? Bagaimana ini wahai orang yang “adil” dan “obyektif”?
2.Dia nyatakan FKAWJ dan LJ bubar pada pertengahan Oktober 2002. Padahal faktanya FKAWJ dan LJ bubar tanggal 7 Oktober 2002 —sebagaimana ditegaskan sendiri oleh mantan Panglima LJ dalam majalah Salafy ed.05/th V/1426 H/2005 M hal. 13—, yakni awal Oktober 2002, bukan pertengahan.
3.Dia menyatakan FKAWJ dan LJ dibubarkan oleh dewan eksekutif FKAWJ. Padahal tidak ada dalam struktur FKAWJ yang namanya dewan eksekutif. Majelis tertinggi di tubuh FKAWJ adalah Dewan Pembina.
Demikianlah sang penulis ini, –yang digelari oleh Abduh ZA dengan “sang pemerhati dunia pergerakan Islam”— terjatuh dalam kesalahan.

d.Pengantar yang tidak ilmiah
Buku yang seperti ini mutunya, diberi pengantar penerbit, oleh Abu Abdillah Al-Mishri, secara tidak ilmiah pula. Contoh mudahnya : Pada halaman ix, Abu Abdillah ini mengatakan :
“Lalu, di belakang namanya, Al-Madkhali ini menuliskan gelar untuk dirinya sendiri, “Pemberantas Bid’ah dan Para Pelakunya, Penolong Sunnah dan Pengikutnya, dan Pembela Akidah.
Demikianlah sebagian contoh akhlak seorang tokoh kaum salaf masa kini yang mengaku sebagai penolong Sunnah; dengan bangganya dia labelkan pada dirinya sendiri dengan gelar-gelar yang tidak ada contohnya dari Allah, Rasul-Nya, dan para ulama salaf.”

Jelas ini merupakan tuduhan lancang dari Abu Abdillah Al-Mishri, dengan tanpa menyebutkan bukti dan rujukan. Perlu diketahui bahwa :
Kalau pun benar bahwa di belakang nama Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali terdapat gelar-gelar tersebut, maka sesungguhnya yang meletakkan gelar-gelar tersebut bukan beliau sendiri. Namun para penulis, –baik di internet, di kitab-kitab, maupun orang-orang yang mencetak kitab beliau–, yang menaruh rasa hormat dan penghargaan yang sangat tinggi terhadap seorang ‘ulama besar sekaliber beliau hafizhahullah.

Sesungguhnya gelar-gelar tersebut datangnya bukan dari beliau sendiri. Tapi itu merupakan pujian dari para ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa ini terhadap beliau hafizhahullah, sekaligus merupakan kesaksian serta rekomendasi para ‘ulama tersebut akan kepasitas keshalihan dan keilmuan beliau hafizhahullah. Sekadar contoh :
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan : “Sesungguhnya pembawa bendera Al-Jarh wat Ta’dil di masa ini dengan sebenarnya adalah saudara kita DR. Rabi’ …”
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata : “…dan Asy-Syaikh termasuk ‘ulama sunnah, termasuk ahlul khair, aqidahnya selamat (dari penyimpangan, pent), dan manhajnya lurus.”
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah As-Subayyil –imam Al-Masjidil Haram–: “…beliau memiliki kesungguhan yang besar dalam da’wah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas manhaj as-salafush shalih, membela aqidah as-salafiyyah yang shahih, membantah orang-orang yang menyimpang, dari kalangan ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’…”
[lihat Ats-Tsana-ul Badi’ minal ‘Ulama-i ‘ala Asy-Syaikh Rabi’ karya Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiri]

Demikianlah, selayang pandang yang menunjukkan betapa buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak itu benar-benar bak kacang goreng.
Pembaca yang budiman…buku yang memiliki bobot dan kualitas seperti inilah yang dijadikan salah satu rujukan oleh penulis buku STSK, yang —katanya— mengedepankan “objektivitas”, “proporsional” dan “metode ilmiah”. Jika demikian, kira-kira sejauh manakah bobot buku STSK?

Bersambung ke “Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA – Kedua”

(Dikutip dari tulisan Al Akh Abu ‘Amr Ahmad Alfian, Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA. Url sumber : http://www.merekaadalahteroris.com/abduh.pdf).