Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

bercermin dari bai’at rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

12 tahun yang lalu
baca 15 menit

Telah menjadi tabiat, dalam dakwah ditaburi beragam aral merintang. Jalan yang ditempuh dipenuhi onak duri. Curam, tajam, mendaki, dan banyak ranah terjal yang mesti dilalui. Tantangan demi tantangan akan senantiasa menghadang. Sulit tiada terperi. Duka nan lara pun akan datang silih berganti. Susul-menyusul bagai gelombang ombak yang tiada pernah berhenti. Potret tabiat dakwah ini secara nyata bisa dicermati dari perjalanan dakwah para nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an telah banyak menggambarkan hal itu. Beragam tindak sarkasme seperti cemooh, menjuluki dengan sesuatu yang tiada patut, pelecehan, hardikan, dan kata-kata kasar lainnya kerap menghambur dari lisan orang-orang yang menyimpan hasad serta permusuhan terhadap dakwah dan pelaku dakwah. Tak hanya itu, boikot bahkan ancaman bunuh pun bisa mewarnai perjalanan dakwah. Cermati firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30)
Hanya orang-orang yang dikaruniai kesabaran yang kelak bertahan tegar menghadapi ujian. Kokoh dalam kancah dakwah. Cobaan yang menimpanya dihadapi dengan sabar seraya menanti saat tibanya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an memberi gambaran betapa dahsyat ujian yang menimpa orang-orang terdahulu. Firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah: 214)

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 2-3)

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar?” (Ali Imran: 142)
Para sahabat g pernah berkeluh kesah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait ujian yang menimpa saat memperjuangkan Islam. Hadits dari Khabbab bin Al-Art rahiyallahu ‘anhu bertutur tentang hal itu. Khabbab rahiyallahu ‘anhu berkata:
Kami berkeluh kesah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tengah berbantal kain burdah dalam naungan Ka’bah. Kami berkata: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau mendoakan kami?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian, seorang lelaki diambil lantas ditanam dalam tanah. Dalam keadaan seperti itu, kemudian didatangkan gergaji yang diletakkan di atas kepalanya. Maka (akibat digergaji) jadilah kepalanya terbelah dua. Lantas tubuhnya disisir dengan sisir yang terbuat dari besi hingga mengelupas daging dari tulangnya. Namun demikian, tidaklah hal itu menjadikan dia terhalang dari agamanya (dia tetap kokoh dalam agamanya). Sungguh Allah akan menyempurnakan agama ini hingga orang yang berkendaraan tidak merasa takut, kecuali hanya kepada Allah, saat melintas dari Shan’a ke Hadramaut. Begitu pula tanpa takut serigala akan memakan kambingnya. Akan tetapi kalian bersikap tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari no. 6943)
Dalam menjelaskan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan, (hadits) ini merupakan isyarat perihal wajibnya bersabar kala menghadapi cobaan dalam menunaikan agama. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 9/356)
Sesungguhnya sikap sabar kepada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menghadapi cobaan merupakan salah satu sebab (seseorang) masuk surga. Karena sesungguhnya makna ayat (dari surat Al-Baqarah: 214) yaitu bersabarlah kalian hingga kalian masuk surga. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 3/42)
Dalam kehidupan dakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun banyak mengalami gangguan dan tantangan. Tengoklah bagaimana ujian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat bertandang ke Thaif. Berupaya menyampaikan Islam dengan penuh kasih sayang dan rahmah. Namun, apa yang beliau terima sebagai balasan? Tiada lain sikap sarkasme penduduk Thaif. Beliau menetap di Thaif selama sepuluh hari. Tak tertinggal satu orang pun dari tokoh-tokoh mereka untuk didatangi dan diajak kepada Islam. Akan tetapi, mereka tak mau menerima dakwah beliau, bahkan mengusir dan memprovokasi orang-orang jelata yang bodoh untuk melempari batu serta mencaci-maki beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darah pun mengalir dari tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hingga kedua sandal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terwarnai darah yang keluar dari tubuh. Begitu pun yang dialami Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu yang turut mendampingi beliau berdakwah ke Thaif. Sahabat mulia satu ini melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tubuhnya. Maka kepalanya pun terluka. Caci-maki dan lemparan batu terus ditimpukkan ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu oleh orang-orang bodoh Thaif, hingga beliau sampai di pinggiran kebun anggur milik ‘Utbah dan Syaibah, yang merupakan putra Rabi’ah.
Apa yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak cuma itu. Persekongkolan kaum musyrikin untuk membinasakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa diupayakan sekeras-kerasnya. Bahkan mereka melakukan satu tindakan untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah ujian dalam dakwah. Ujian yang selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang merindukan surga dengan segala kenikmatan di dalamnya. Dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka itu dihijab (dipagari/dikelilingi) dengan syahwat, sedangkan surga dihijab dengan hal-hal yang tidak menyenangkan (dibenci).” (HR. Al-Bukhari no. 6487)
Yang dimaksud bil makarih (yang tidak menyenangkan) dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang diperintahkan terhadap orang-orang yang telah terkena kewajiban menunaikan syariat agar dirinya bersungguh-sungguh dalam mengerjakan (kebaikan) dan meninggalkan (hal yang dilarang). Seperti, bersegera menunaikan berbagai peribadatan dan menjaganya, serta menjauhi segala macam larangan baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Dikatakan al-makarih (tidak disenangi) lantaran tingkat kesulitan dalam menggapai surga, sehingga memerlukan kesabaran terhadap berbagai musibah yang menimpa dan sikap pasrah diri (patuh) dalam menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan yang dimaksud kata bisy-syahawat yaitu segala sesuatu yang bisa mengundang kenikmatan pada perkara-perkara dunia padahal itu dilarang oleh syariat. Terkait syahwat ini juga, yaitu segala sesuatu yang dikhawatirkan mengantarkan seseorang terjatuh pada yang haram. (Fathul Bari, 11/360)
Adapun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud kata hujibat pada hadits tersebut yaitu memagari (mengelilingi). Neraka adalah tempat syahwat, yang orang-orang tak akan merasa tenang kecuali dengan mengikuti syahwat mereka, seperti syahwat zina, homoseksual, minum khamr, mencuri, sombong, dan segala bentuk kerusakan tersebut adalah syahwat. Yang semua ini melingkupi neraka. Karena hal-hal ini pula banyak manusia yang bermewah-mewah terjatuh ke dalam neraka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ. فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ. وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ. لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ. إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ

“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah.” (Al-Waqi’ah: 41-45)

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Isra’: 16)
Adapun surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disenangi, karena sesungguhnya beramal kebaikan itu adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa yang dikendalikan kejelekan. Maka terjadilah pada kalangan manusia, tatkala beramal kebaikan jiwanya tidak menyukai atau benci mengerjakan kebaikan tersebut. Padahal beramal kebaikan itu akan mengantarkan dirinya ke surga. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 8/382)
Maka, sudah menjadi kemestian bahwa sikap sabar dalam menyebarkan nilai-nilai kebajikan harus tertancap kukuh di dada setiap pejuang dakwah.
Pada musim haji tahun ke-11 dari kenabian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan penduduk Yatsrib (Madinah). Mereka menyatakan memeluk Islam dan berjanji untuk menyampaikan risalah Islam kepada kaumnya. Kemudian pada musim haji berikutnya, yaitu tahun ke-12 dari kenabian, 12 orang penduduk Madinah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terdiri dari lima orang yang pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji sebelumnya, selain Jabir bin Abdillah bin Ri’ab yang pada tahun itu tidak bisa hadir. Adapun tujuh orang lagi yaitu Mu’adz bin Al-Harits (Ibnu ‘Afra dari Bani Najjar, Khazraj), Dzakwan bin Abdil Qais (Bani Zuraiq, Khazraj), Ubadah bin Ash-Shamit (Bani Ghanmin, Khazraj), Yazid bin Tsa’labah (Khazraj), Al-’Abbas bin Ubadah bin Nadhlah (Bani Salim, Khazraj), Abul Haitsam bin At-Tayyahan (Bani Abdil Asyhal, Aus), dan ‘Uwaim bin Sa’adah (Bani ‘Amr bin ‘Auf, Aus). Hanya dua orang dari suku Aus sedangkan sisanya dari kalangan suku Khazraj. Mereka semua datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di satu tempat bernama ‘Aqabah, yang masih termasuk wilayah Mina. Mereka diajak untuk berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kemarilah, berbai’atlah kepadaku,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun lantas berbai’at bahwasanya tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan mendatangkan (kesaksian) dusta yang diada-adakan antara tangan-tangan dan kaki-kaki mereka (seperti menuduh zina), tidak akan bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang baik. Barangsiapa yang memenuhi bai’at tersebut maka balasannya atas tanggungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa melanggar bai’at tersebut maka sanksinya bakal diperoleh di dunia, dan itu berarti kaffarah (penghapus) bagi dosanya. Tapi bila yang melanggar lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya, maka terserah kepada Allah l kelak di akhirat. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki disiksa, maka dia akan disiksa. Jika Allah l menghendaki dengan ampunan-Nya, maka dia akan mendapatkan maaf (ampunan). Demikian peristiwa bai’at pertama dalam lintasan sejarah Islam. Bai’at yang syar’i. Dalam catatan sejarah, bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Pertama.
Setahun kemudian, yakni pada musim haji pula, 73 orang Madinah yang telah muslim datang ke Makkah sebagai orang-orang yang hendak berhaji, ditambah dua orang wanita, yaitu Nusaibah bintu Ka’b dan Asma’ bintu ‘Amr. Mereka pun bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berbai’at kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, kami berbai’at kepadamu,” kata mereka. “Untuk apa saja kami berbai’at kepadamu?” lanjut mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut rincian bai’at. Yaitu untuk: “Mendengar dan taat baik dalam keadaan bersemangat ataupun malas, berinfak kala sulit ataupun mudah, menunaikan amar ma’ruf nahi munkar, beristiqamah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tak akan mudah terpengaruh meski orang-orang mencela, menolongku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apabila aku datang kepada kalian, serta akan melindungiku seperti mereka melindungi istri dan anak kalian. Maka, (jika semua itu ditunaikan) bagi kalian surga.” Inilah bai’at Aqabah yang kedua, atau dikenal pula sebagai bai’at Aqabah Al-Kubra. (Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 165-172)
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikenal pula Bai’at Ar-Ridhwan. Sebuah bai’at nan agung. Kisah ini berawal dari keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melangsungkan umrah. Pada tahun Hudaibiyah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berkunjung ke Baitullah dan bukan bertujuan untuk berperang. Namun apa yang dicita-citakan ternyata mengalami hambatan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Dzul Hulaifah, beliau dan rombongan yang berjumlah 1.400 orang menambatkan hewan-hewan yang dibawanya, lantas berihram untuk umrah. Beliau terus berjalan hingga tiba di daerah Usfan. Saat itulah, ada yang memberitahu bahwa orang-orang Quraisy yang musyrik telah melakukan mobilisasi massa dan bersiap untuk bertempur. Pasukan kaum musyrikin Quraisy itu sendiri saat itu telah berada di daerah Dzu Thuwa. Mereka benar-benar menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk masuk ke Baitul Haram. Maka, terjadilah negosiasi antara kedua belah pihak. Pada awalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengutus Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu ke pihak kaum musyrikin. Namun atas pertimbangan bahwa di Makkah tidak ada orang dari Bani ‘Adi bin Ka’b yang bisa memberi perlindungan kepada Umar, maka rencana mengutus Umar dibatalkan. Umar pun lantas mengusulkan agar yang diutus ke Makkah adalah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu. Maka berangkatlah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ke Makkah, beliau menemui Aban bin Sa’id bin Al-’Ash. Melalui Aban bin Sa’id bin Al-Ash ini, Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu mendapatkan kekebalan diplomatik. Di Makkah, Utsman rahiyallahu ‘anhu berhasil menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy lainnya lalu menyampaikan apa yang menjadi misinya. Pihak Quraisy lantas menahan Utsman rahiyallahu ‘anhu lantaran mereka ingin bermusyawarah. Namun penahanan Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ini menimbulkan berita simpang siur. Berita yang tersebar menyatakan bahwa Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Atas tersiarnya berita ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk berbai’at. Mereka pun berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melarikan diri dan berjuang hingga tetes darah penghabisan, yaitu hingga mati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at ini di bawah pohon. Bai’at inilah yang dikenal kemudian sebagai Bai’at Ar-Ridhwan. Berkenaan dengan bai’at ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya:

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (Al-Fath: 18)

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath: 10)
Dampak dari adanya Bai’at Ar-Ridhwan ini, kaum musyrikin menjadi gentar. Sehingga melahirkan perjanjian Hudaibiyah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/224-229, dan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 351-352)
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat g berbai’at kepada para khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; Abu Bakr, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib g.
Namun setelah berlalu generasi utama, datanglah generasi yang mengada-ada dalam masalah bai’at ini. Muncul di kalangan Sufi apa yang disebut dengan bai’at thariqah (tarekat). Muncul pula kemudian bai’at-bai’at di kalangan jamaah Islamiyah. Masing-masing kelompok atau jamaah memberlakukan bahkan mewajibkan melakukan bai’at kepada imam atau amir kelompok atau jamaahnya. Hadits-hadits terkait masalah keamiran atau keimamahan pun dipelintir habis guna kepentingan sang amir/imam atau guna kepentingan kelompok/jamaahnya. Misal, hadits dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 1484):
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan berpisah (menyempal) dari jamaah, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.”
Hadits lain, misal hadits dari Ibnu Umar rahiyallahu ‘anhuma:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah padanya. Barangsiapa mati dan di lehernya tidak terikat bai’at, dia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)
Merebaklah bai’at-bai’at hizbiyyah (kekelompokan). Masing-masing jamaah mengangkat imam atau amir, lalu mereka pun memberlakukan bai’at pada kelompoknya. Muncullah kebingungan pada sebagian pemuda muslim saat melihat begitu banyak jamaah. Mereka bingung hendak ke mana mereka bergabung. Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa dampak buruk dari adanya bai’at-bai’at hizbiyah, atau namanya dikemas dengan nama selain bai’at, seperti ‘ahd (perjanjian) atau ‘aqd (ikatan), justru menimbulkan perpecahan pada tubuh umat Islam, mencerai-beraikan umat menjadi bergolong-golongan, menimbulkan permusuhan dan kebencian satu dengan lainnya.
Terhadap bai’at-bai’at hizbiyah atau bai’at-bai’at thariqah, maka tidak wajib menaati. Bahkan hal yang demikian wajib ditinggalkan. Ini semua lantaran bentuk-bentuk bai’at semacam itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diperbuat oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Bai’at-bai’at semacam itu justru menjadikan pelakunya terjatuh pada dosa karena dia telah melakukan perbuatan bid’ah, mengada-ada satu bentuk amalan tanpa ada contoh atau perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun terkait perintah untuk berbai’at sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahih, maka maksud berbai’at tersebut adalah kepada waliyyul amr atau imamatul uzhma (penguasa tertinggi). Bukan amir atau imam kelompok atau jamaah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi t, saat menjelaskan kesesatan model bai’at yang diterapkan pada kelompok Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya bai’at itu merupakan hak bagi imamatul a’la (penguasa tertinggi). Barangsiapa yang mengambil bai’at selain imamatul a’la, sungguh dia telah melakukan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Dia melakukan bid’ah yang jelek.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang lain (yang terakhir dibai’at) dari keduanya (yang mengeksekusi adalah pemerintah yang sah, red.).” (HR. Muslim no. 1853, dari Abu Sa’id Al-Khudri rahiyallahu ‘anhu) [Al-Mauridu Al-’Adzbu Az-Zalal, hal. 214]
Lantaran bai’at-bai’at thariqah atau bai’at-bai’at hizbiyah tidak ada asalnya dalam syariat, maka ikatan janjinya tidak mengikat, tidaklah berdosa untuk menggugurkan dan melepaskan bai’at semacam itu.
Wallahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=921