Tafsir Surat At Tin
Setelah sekian lama tidak menampilkan tema tafsir, maka pada edisi kali ini kami ketengahkan kembali tema tersebut dengan menerangkan Surat At Tin secara ringkas. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan banyak manfaat kepada para pembaca.
Ayat pertama (artinya) : “Demi buah tin dan buah zaitun”.
Buah tin adalah buah yang banyak terdapat di Damaskus (sekarang terletak di Yordania), sedangkan buah zaitun adalah buah yang banyak terdapat di Palestina. Yordania dan Palestina dahulu menjadi satu negeri bernama Syam bersama Suriah dan Lebanon. Kedua buah ini tidak memiliki biji dan kulit, hanya saja zaitun dapat diambil darinya minyak, yang kita kenal dengan minyak zaitun.
Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata : “Allah bersumpah dengan 2 pohon ini karena banyaknya manfaat pada tanaman dan buahnya. Juga karena tumbuhnya 2 pohon ini di negeri Syam yang merupakan tempat kenabian Isa bin Maryam ‘alaihima as-Salam”. (Tafsir as-Sa’di)
Berkenaan buah tin, Asy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah berkata : “Dan sebagaimana ucapan Ibnu al-Qayyim rahimahullah : “Tidak tersebutkan buah tin di dalam Sunnah Nabi karena ia tidak ada di negeri Hijaz dan Madinah. Demikian pula tidak ada penyebutan buah tin di dalam Al Qur’an kecuali di tempat (surat) ini saja…” (Tatimmah Adhwa’ al-Bayan)
Al-‘Allamah al-Alusi rahimahullah berkata : “Allah Ta’ala mengkhususkan keduanya (tin dan zaitun, pen) dengan sumpah berdasar pendapat ini (pendapat para ulama yang telah beliau sebutkan, pen) di tengah keberadaan buah-buahan yang lain, karena keistimewaannya yang mulia. Sesungguhnya buah tin itu adalah buah yang bagus. Tidak ada sisa yang tidak bermanfaat padanya. Makanan yang lembut, cepat dicerna, bahkan dikatakan : Sesungguhnya buah tin adalah buah yang paling sehat dimakan jika dimakan dalam keadaan perut kosong. Ia adalah obat yang banyak manfaatnya, membuka lemak penyumbat, menguatkan hati, membersihkan limpa, menghilangkan sulitnya buang air kecil dan lemah pada ginjal, menormalkan debar jantung, menghilangkan asma, gangguan nafas, batuk, sakit dada, kaku pada tulang betis dan lain-lain”. (Tafsir al-Alusi)
Adapun berkaitan buah zaitun, maka Allah menyebutkannya bukan hanya pada Surat At Tin. Pada Surat An Nur ayat ke-35, Allah berfirman (artinya) : “…yang dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang diberkahi (yaitu) zaitun, yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi sekalipun tidak disentuh oleh api…”
Demikian pula melalui sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda (artinya) : “Makanlah buah zaitun dan gunakan minyak dengannya, karena sesungguhnya ia (buah zaitun) adalah pohon yang diberkahi”. (HR.at-Tirmidzi dan disahihkan oleh al-Albani.Lihat pula ash-Shahihah 379)
Al-Hafizh al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Dan ia (buah zaitun, pen) adalah lauk yang paling banyak dimakan oleh penduduk Syam dan Maghrib. Mereka menjadikannya sebagai kuah dan menggunakannya ketika memasak, menjadikannya sebagai bahan penerang, obat penyakit lambung, bisul dan luka serta manfaat lain yang banyak”. (Tafsir al-Qurthubi)
Al-‘Allamah al-Alusi berkata : “Dan adapun zaitun, maka ia adalah lauk, obat sekaligus buah menurut apa yang dikatakan tentangnya. Mereka (para pakar medis, pen) berkata : “Sesungguhnya pemanas yang dihasilkan zaitun tidak ada sesuatu yang membandinginya dalam mencerna, menggemukkan dan menguatkan anggota badan. Cukuplah keistimewaan yang ada padanya ketika minyaknya dapat menjadi penerang di masjid-masjid dan semisalnya, seiring manfaat lain seperti : memperbagus warna, menyaring campuran, menguatkan urat syaraf, membuka lemak penyumbat, mengeluarkan cacing, memperlancar produksi ASI, menghancurkan batu ginjal, memperbaiki ginjal sehingga dapat menyerap air panas, menghilangkan keputihan, sebagai celak yang menguatkan pandangan mata dan selain itu. Pohon zaitun adalah pohon yang diberkahi dan dipersaksikan di dalam At Tanzil (Al Qur’an, pen)”. (Tafsir al-Alusi)
Ayat kedua (artinya) : “Dan demi bukit (thur) Sinin”.
Nama lain dari bukit ini adalah bukit (thur) Saina’ (Thursaina’). Nama ini disebut di dalam firman Allah (artinya) : “Dan (Kami keluarkan pula, pen) pohon yang tumbuh di bukit (thur) Saina’, yang menghasilkan minyak dan menjadi kuah bagi orang-orang yang makan”. (Al Mu’minun : 20)
Bukit ini dahulu menjadi tempat yang Allah mengajak bicara Nabi Musa ‘alaihi as-Salam dengan pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan pembicaraan makhluk-Nya. Di bukit itu pula, Allah memerintah Nabi Musa untuk pergi mendakwahi Fir’aun yang sangat melampaui batas.
Ayat ketiga (artinya) : “Dan demi negeri yang aman ini”.
Yang dimaksud negeri yang aman ini adalah kota Makkah, tempat kenabian dan kerasulan manusia terbaik, yaitu Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Dan sebagian imam muslimin berkata : “Ini adalah 3 tempat yang Allah mengutus padanya nabi yang diutus dari kalangan Ulul ‘Azmi, pengemban syariat yang besar :
Pertama : Tempatnya buah tin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis yang Allah mengutus padanya Isa Ibnu Maryam ‘alaihi as-Salam. Kedua : Bukit (thur) Sinin yang Allah mengajak bicara Musa bin Imran. Ketiga : Makkah, negeri yang aman yang barangsiapa masuk ke dalamnya, maka ia akan aman, yang Allah mengutus padanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam…” (Tafsir Ibnu Katsir)
Jilka kita amati susunan sumpah pada 3 ayat berangkat dari ucapan Ibnu Katsir di atas, maka ada isyarat bahwa Allah bersumpah dengan sesuatu yang utama, lebih utama lalu paling utama. Nabi Isa memiliki keutamaan, Nabi Musa lebih utama lalu Nabi Muhammad ‘alaihim as-Salam paling utama.
Ayat keempat (artinya) : “Sungguh Kami (Allah) benar-benar menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”.
Allah yang maha benar ucapan-Nya bersumpah dengan buah tin, zaitun, bukit (thur) Sinin dan kota Makkah bahwa manusia itu benar-benar tercipta dalam bentuk sebaik-baiknya. Jika tanpa sumpah saja, ucapan Allah adalah pasti benar, lalu bagaimana halnya jika diiringi sumpah, kata “sungguh” dan “benar-benar” ?!
Al-Hafizh al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Abu Bakr bin Thahir berkata : “(Manusia) dihiasi dengan akal, sanggup melaksanakan perintah, mendapatkan petunjuk untuk bisa membedakan sesuatu, tegak perawakannya dan mengambil makanannya dengan tangan”. (Tafsir al-Qurthubi)
Demikian keadaan penciptaan manusia, baik yang beriman maupun yang kafir, taat maupun bermaksiat. Tentu saja keadaan manusia dengan penciptaan seperti ini merupakan kenikmatan yang sangat berharga. Jika kenikmatan ini hilang, maka sebesar berapa pun harta tidak akan bisa (dengan izin Allah) mengembalikannya seperti semula. Maka sudah semestinya manusia mensyukuri kenikmatan ini dengan melakukan ketaatan agar kenikmatan tersebut tetap terjaga, bahkan bertambah.
Namun amat disayangkan…
Ayat kelima (artinya) : “Kemudian Kami (Allah) kembalikan dirinya (manusia) menjadi serendah-rendahnya”.
Ternyata manusia sangat kufur kepada Allah ! Manusia tidak pandai mensyukuri nikmat, padahal syukur itu manfaatnya kembali kepada mereka, bukan kepada Allah.Allah Maha Kaya, sama sekali tidak butuh terhadap kita dan rasa syukur kita, bahkan tidak butuh kepada seluruh alam semesta.
Oleh karena manusia memilih jalan kerendahan, maka Allah pun membalasnya dengan kerendahan pula.
Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata : “Yaitu : Sempurna penciptaannya, saling bersesuaian anggota tubuhnya, berdiri tegak perawakannya, tidak kehilangan dari sesuatu yang ia butuhkan, baik secara lahir maupun batin. Namun seiring dengan kenikmatan yang agung yang semestinya ditegakkan syukur karenanya, ternyata kebanyakan manusia menyimpang dari syukur, sibuk dengan kesia-siaan dan permainan. Mereka sendiri rela dengan serendah-rendah perkara dan seburuk-buruk akhlak. Maka Allah kembalikan mereka menjadi serendah-rendahnya, berupa neraka paling bawah yang merupakan tempat orang-orang bermaksiat dan congkak terhadap Rabb mereka…” (Tafsir as-Sa’di)
Ayat keenam (artinya) : “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Al-‘Allamah as-Sa’di berkata : “…kecuali siapa saja yang diberi kenikmatan oleh Allah berupa iman, amal saleh, akhlak yang utama dan tinggi. Maka bagi mereka kedudukan yang tinggi dan pahala yang tiada putus-putusnya, bahkan kelezatan yang banyak, kebahagiaan yang berturut-turut dan kenikmatan yang melimpah, dalam keabadian yang tidak sirna, kenikmatan yang tidak berubah, makanan dan keteduhan di surga yang kekal”. (Tafsir as-Sa’di)
Dari keterangan ayat ke-4 hingga ke-6, kita dapat menarik kesimpulan : Manusia pada awalnya dalam keadaan yang sama lalu berakhir dalam keadaan berbeda. Ada manusia yang awalnya dalam keadaan sebaik-baik bentuk, namun akhirnya menjadi seburuk-buruk keadaan karena kekafiran dan kemaksiatan. Ada pula manusia pada awalnya dalam keadaan sebaik-baik bentuk dan pada akhirnya semakin sempurna karena keimanan dan amal saleh.
Ayat ketujuh (artinya) : “Maka apa yang menyebabkan dirimu mendustakan hari pembalasan setelah jelas keterangan bagimu ?!”
Al-‘Allamah as-Sa’di berkata : “Yakni : Perkara apa -wahai manusia- yang menyebabkan dirimu mendustakan hari pembalasan terhadap amalan-amalanmu ?! Padahal, dirimu telah melihat tanda-tanda (kekuasaan) Allah yang banyak yang dengannya mestinya terwujud keyakinan pada dirimu, dan (dirimu juga melihat) kenikmatan-kenikmatan yang mestinya menjadikan dirimu tidak mengingkari satu pun apa yang diberitakan oleh Allah”. (Tafsir as-Sa’di)
Salah satu tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan dirimu (wahai manusia) dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Dengan itu, mestinya dirimu yakin bahwa Allah lebih mampu untuk sekedar membangkitkan dan mengembalikan dirimu yang sudah ada kelak di hari kiamat, lalu membalas apa yang telah engkau lakukan dahulu di dunia. Sedangkan salah satu kenikmatan Allah adalah penciptaan dirimu dalam sebaik-sebaik bentuk. Dengan itu, mestinya dirimu bersyukur.
Ayat kedelapan (terakhir) yang artinya : “Bukankah Allah itu adalah hakim seadil-adilnya ?!”
Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Ini adalah pertanyaan yang maknanya pernyataan, yang Allah menyatakan bahwa Dia adalah hakim seadil-adilnya”. (Tafsir Juz ‘Amma)
Ayat ini bisa pula diterjemahkan dengan : “Bukankah Allah itu adalah hakim sebijak-bijaknya ?!”. Dengan demikian, maknanya adalah :
1) Allah adalah hakim yang seadil-adilnya, tidak akan pernah sedikit pun menzalimi seorang pun dari hamba-Nya.Maha Suci Allah dari sifat zalim.
2) Allah adalah hakim yang sebijak-bijaknya, tidak akan pernah sia-sia membiarkan manusia dicipta begitu saja tanpa diperintah, dilarang, dibalas dengan pahala dan dibalas dengan siksa. Maha Suci Allah dari sifat sia-sia.
Wallahu a’lamu bish-Shawab
Ralat edisi “Mensucikan Jiwa Melalui Ibadah Kurban” : Hal.3 kolom ke-4 “Surat Al An’am ayat ke-163 dan 164” , yang benar “ayat ke-162 dan 163”.