Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

tafsir surat al lail

7 tahun yang lalu
baca 9 menit

Tafsir Surat Al Lail

Ayat pertama (artinya) : “Demi malam jika menutupi”.
Al-‘Allamah al-Alusi rahimahullah berkata : “Yaitu : ketika menutupi matahari sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya) : “Dan demi malam yang menutupi matahari” atau (menutupi) siang sebagaimana firman-Nya Ta’ala (artinya) : “…Dia (Allah) menutupkan malam kepada siang…” (Tafsir al-Alusi)
Ayat pertama yang disebutkan beliau terdapat di dalam Surat Asy Syams : 4, sedangkan ayat kedua tercantum di dalam Surat Al A’raf : 54 dan Ar Ra’du : 3. Hanya saja ada sedikit pembahasan terkait ayat ke-4 dari Surat Asy Syams yang insyaallah kita sebutkan pada edisi tafsir mendatang.
Ayat kedua (artinya) : “Dan demi siang jika telah terang benderang”.
Jika yang ditutupi malam maksudnya adalah matahari (sebagaimana Surat Asy Syams di atas), maka makna ayat kedua ini : Siang telah nampak jelas dengan terbitnya matahari. Namun jika yang ditutupi malam adalah siang (sebagaimana Surat Al A’raf dan Ar Ra’du di atas), maka makna ayat : Telah nampak siang dengan hilangnya kegelapan malam.
Melalui ayat pertama dan kedua ini, Allah bersumpah dengan malam dan siang beserta pengaruh keduanya bagi alam, seiring keduanya adalah tanda yang agung pada kekuasaan Allah. Gelap adalah pengaruh malam hingga setiap hamba kembali ke tempat tinggalnya dan beristirahat dari kelelahan. Sedangkan terang benderang adalah pengaruh siang hingga hamba-hamba Allah dapat mengambil manfaat dari terangnya siang lalu mereka pun bertebaran mencari kemaslahatan hidup.
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Qatadah : “Keduanya (malam dan siang) adalah tanda yang agung yang Allah pergilirkan bagi makhluk-makhlukNya”. (Tafsir ath-Thabari)
Ayat ketiga (artinya) : “Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan”.
Ayat ketiga ini dapat kita terjemahkan seperti di atas dan bisa pula kita terjemahkan : “Dan demi Zat yang menciptakan laki-laki dan perempuan”. Maka :
• Pada penerjemahan pertama, Allah bersumpah dengan salah satu perbuatan-Nya, yaitu : penciptaan.
• Adapun pada penerjemahan kedua, Allah bersumpah dengan zat diri-Nya sendiri.

Al-Hafizh al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Tentang maksud “laki-laki dan perempuan” ada 2 pendapat.
Pertama : Adam dan Hawa’. Ini yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, al-Hasan dan al-Kalbi.
Kedua : Seluruh laki-laki dan perempuan, baik dari kalangan manusia maupun binatang karena Allah Ta’ala menciptakan seluruh mereka berupa laki-laki dan perempuan sesuai jenis mereka.

Ada pula yang berpendapat : Setiap laki-laki dan perempuan dari jenis manusia bukan binatang karena pengkhususan mereka (manusia) dalam kecintaan dan ketaatan kepada Allah”.(Tafsir al-Qurthubi)

Disebutkan penciptaan laki-laki dan perempuan secara khusus melalui ayat ini dikarenakan terdapat tanda kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla yang melampaui pengetahuan dan kekuatan manusia. Demikian pula terdapat pula tujuan mulia di balik penciptaan laki-laki dan perempuan, yaitu : tetapnya lestari setiap macam makhluk hingga tidak punah dan sirna.

Ayat keempat (artinya) : “Sesungguhnya usaha kalian itu benar-benar berbeda”.

Ayat ini ditegaskan dengan 2 kata, yaitu : “sesungguhnya” dan “benar-benar” yang menunjukkan perbedaan yang nampak sekali dan banyak ragamnya.

Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa perbedaan usaha manusia berbeda sesuai perbedaan jenis amalannya, jumlah dan semangat. Juga berbeda sesuai maksud yang dituju (niat), apakah niatnya untuk berharap wajah Allah yang kekal sehingga usaha yang dilakukan senantiasa menetap dan dirasa manfaatnya oleh pelakunya ataukah justru niatnya adalah sesuatu yang akan sirna dan hilang sehingga usahanya pun sirna dan hilang seiring sirna dan hilangnya sesuatu yang dituju tadi. (Lihat Tafsir as-Sa’di)

Al-‘Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka Allah ‘Azza Wa Jalla bersumpah dengan hal-hal yang saling berlawanan : Malam lawannya siang, laki-laki lawan jenisnya perempuan dan usaha manusia itu saling berlawanan : Amal baik dan buruk. Sehingga hal-hal yang Allah bersumpah dengannya (malam dengan siang dan laki-laki dengan perempuan, pen) keadaannya mencocoki jawaban sumpahnya (usaha manusia yang berlawanan).Ini merupakan salah satu balaghah (kefasihan bahasa) Al Qur’an. Maka makna ayat ini bahwa perbedaan malam dengan siang dan laki-laki dengan perempuan merupakan perkara yang jelas, tidak samar lagi. Demikian pula amalan-amalan hamba, saling berbeda. Diantara amalan mereka ada yang salih, rusak dan ada pula yang bercampur antara amal salih dengan amal amal kerusakan…Kemudian Allah menyebutkan rincian perbedaan amal manusia :

Ayat kelima (artinya) : “Maka barangsiapa yang memberi dan bertakwa”.

Asy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah berkata : “Dan Allah memutlakkan penyebutan kata “memberi” agar mencakup setiap pemberian, baik berupa harta, kedudukan, tenaga sampai pun ucapan yang baik, bahkan wajah yang berseri sekalipun sebagaimana dalam sebuah hadits (artinya) : “…sekalipun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”…” (Tatimmah Adhwa’ al-Bayan)

Makna “bertakwa” adalah bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Maka di dalam ayat ini ada penunaian hak Allah, yaitu : takwa dan penunaian hak manusia, yaitu : memberi kebaikan.

Ayat keenam (artinya) : “Serta membenarkan balasan terbaik”.

Ada beberapa pendapat tentang maksud “balasan terbaik”, yaitu : balasan atas amalan, ganti dari pemberian infak, kalimat Laa ilaaha illallaah dan al-jannah (surga). Yang terakhir ini (surga) mencakup setiap pendapat di atas karena surga sendiri adalah sebaik-baik ganti pemberian infak seorang hamba, sebaik-baik balasan atas amalan apapun dan tidaklah mencapai surga melainkan dengan kalimat Laa ilaaha illallaah.

Ayat ketujuh (artinya) : “Maka Kami (Allah) akan menyiapkan baginya jalan kemudahan”.

Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa barangsiapa yang memberi, bertakwa dan membenarkan balasan terbaik, maka Allah ‘Azza Wa Jalla akan berikan jalan kemudahan dalam setiap urusannya, baik urusan dunia maupun agamanya. Semakin seseorang itu bertakwa kepada Allah, maka semakin mudah urusannya.Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “…Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah jadikan pada urusannya kemudahan”. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma)

Ayat kedelapan (artinya) : “Dan adapun barangsiapa yang kikir dan merasa cukup”.

Orang yang kikir adalah orang yang mencegah diri pada sesuatu yang memang tempatnya untuk diberi. Setiap orang yang layak mendapatkan celaan atau siksaan karena menahan dirinya dari memberi maka ia disebut orang kikir. Dirinya tidak memberikan apa yang diperintahkan Allah untuk memberikannya, baik berupa harta, ilmu, kedudukan maupun tenaga.

Adapun “merasa cukup” maksudnya tidak butuh kepada Allah dan tidak bertakwa kepada-Nya, bahkan ia melihat dirinya tidak butuh terhadap rahmat Allah. Maka pada ayat ini terdapat sifat seorang hamba yang menelantarkan hak Allah sekaligus hak manusia.

Ayat kesembilan (artinya) : “Serta mendustakan balasan terbaik”.

Maksud “balasan terbaik” sebagaimana penjelasan ayat keenam.

Ayat kesepuluh (artinya) : “Maka Kami (Allah) akan menyiapkan baginya jalan kesulitan”.

Yaitu kesulitan pada urusan dunia maupun agamanya. Ini menunjukkan bahwa balasan itu sesuai jenis amalan.

Ayat kesebelas (artinya) : “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya jika ia telah mati”.

Bahkan harta yang ia tahan karena kekikirannya justru akan menjadi siksa baginya kelak di hari kiamat, sebagaimana Allah berfirman (artinya) : “Dan janganlah orang-orang yang kikir dengan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa keutamaan-Nya itu menyangka bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Bahkan itu buruk bagi mereka. Mereka akan dikalungi dengan apa yang mereka kikir dengannya pada hari kiamat…” (Ali Imran : 180)

Ayat keduabelas (artinya) : “Sesungguhnya (jalan) yang hanya menuju Kami (Allah) itulah petunjuk yang sebenarnya”.

Ayat ini ditegaskan dengan 2 kata, yaitu : “sesungguhnya” dan “yang sebenarnya”. Maka jalan yang hanya menuju Allah itu tidak ada sedikit pun kesesatan padanya sekalipun banyak manusia yang menyelisihinya dan membencinya.

Ayat ketigabelas (artinya) : “Sesungguhnya hanya milik Kami (Allah) akherat dan dunia sebenarnya”.

Ayat ini pun juga ditegaskan dengan 2 kata, yaitu : “sesungguhnya” dan “sebenarnya”. Maka dunia dan akherat itu hanya milik Allah. Barangsiapa yang Allah tetapkan petunjuk kepada seorang hamba di dunia sehingga dirinya memberi, bertakwa dan membenarkan balasan terbaik, maka Allah yang memiliki dunia dan akherat akan memuliakan orang tersebut di dunia dan akherat. Demikian sebaliknya bagi orang yang Allah tetapkan kesesatan padanya.

Ayat keempatbelas (artinya) : “Maka Kami peringatkan kalian dengan api neraka yang menyala-nyala”.

Ayat ini semisal dengan ayat ke-15 dari Surat Al Ma’arij.

Ayat kelimabelas (artinya) : “Tidaklah masuk ke dalamnya melainkan orang yang menetapi kecelakaan pada dirinya”.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Yaitu : Tidaklah masuk ke dalamnya yang ia (api tersebut) mengelilingi dirinya dari segenap sisi melainkan orang yang menetapi kecelakaan pada dirinya”. (Tafsir Ibni Katsir)

Ayat keenambelas (artinya) : “(Yaitu) orang yang mendustakan lagi berpaling”.

Orang yang menetapi kesesatan pada dirinya adalah orang yang mendustakan berita Allah dan Rasul-Nya, tidak membenarkannya dengan kalbunya serta berpaling dari ketaatan kepada-Nya yang ditunjukkan dengan anggota badannya.

Ayat ketujuhbelas (artinya) : “Dan akan dijauhkan darinya (api neraka) orang yang menetapi ketakwaan”.

Keteguhan seseorang di atas ketakwaan menyebabkan dirinya dijauhkan dari api neraka.

Ayat kedelapanbelas (artinya) : “(Yaitu) orang yang memberikan hartanya dalam rangka ingin mensucikan dirinya”.

Dirinya membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Allah dengan berharap wajah Allah, tidak riya’, tidak sum’ah dan memang ingin membersihkan diri dari dosa. Dirinya ingin membersihkan diri dari penyakit kikir, riya’ dan sum’ah. Sedangkan diantara manusia ada yang menampakkan pemberian dalam keadaan tidak ikhlas dan diantara mereka ada pula yang menampakkan seakan-akan ikhlas, tidak riya’ maupun sum’ah dengan menahan hartanya (kikir). Kedua jenis manusia ini tentu tercela. Adapun orang yang menetapi ketakwaan akan senantiasa mengumpulkan kebaikan pada batin maupun lahir (zhahir)-nya.

Ayat kesembilanbelas (artinya) : “Padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat apapun kepada dirinya yang harus dibalas”.

Dirinya tidak memberikan hartanya untuk membalas kebaikan orang lain. Bahkan tidak ada seorang pun yang memberikan sesuatu apapun sebelum itu. Memang ia memberi hartanya dalam rangka mengharap keutamaan di akherat.

Ayat keduapuluh (artinya) : “Akan tetapi (ia memberikan hartanya) dalam rangka mengharap wajah Rabbnya Yang Maha Tinggi”.

Mengharap wajah Allah maksudnya mengharap melihat wajah-Nya di al-jannah kelak dan itu merupakan kenikmatan terbesar di tempat tersebut.

Ayat keduapuluh satu (artinya) : “Dan sungguh dirinya kelak akan ridha”.

Ini adalah salah satu terjemahannya. Bisa pula terjemahannya : “Dan sungguh Dia (Allah) kelak akan ridha”. Maka makna dari terjemahan pertama : Orang yang menetapi ketakwaan itu kelak akan ridha atas balasan Allah baginya di akherat. Sedangkan makna terjemahan kedua : Allah kelak akan meridhai hamba yang menetapi ketakwaan ini atas apa yang telah ia kerjakan dahulu di dunia berupa memberi harta dalam keadaan berharap melihat wajah-Nya di al-jannah.

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
admin daarulihsan
Sumber Tulisan:
Tafsir Surat Al Lail