Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

sekelumit tentang shalat ‘id & ibadah kurban

7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Sekelumit Tentang Shalat ‘Id & Ibadah Kurban

Sekelumit Tentang Shalat ‘Id & Ibadah Kurban

Kini kita tengah berada di bulan Dzulhijjah. Ibadah kurban adalah syiar yang paling menonjol selain haji di bulan penuh kehormatan tersebut. Setiap kali datang bulan ini, tak berlebihan jika kita rasakan pentingnya mengkaji ilmu terkait ibadah yang satu ini. Demikian itu karena cukup banyak permasalahan ilmiah terkait hal itu yang kita jumpai.

Oleh karena itu, kami ingin menyajikan sekelumit faidah berkenaan ibadah kurban dengan harapan dapat bermanfaat bagi para pembaca.Kekurangan yang ada pada kami semoga diampuni oleh Allah kemudian dapat dimaklumi oleh para pembaca.

Hukum Ibadah Kurban (Udh-hiyah)

Asy-Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah berkata : “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Udh-hiyah.Mazhab mayoritas ulama adalah sunnahnya hal itu.Berbeda dengan mazhab para ulama yang mengatakan wajibnya hal tersebut bagi orang yang memiliki kemudahan dan kelebihan dari kebutuhan pokoknya.Ini adalah pendapat para ulama Hanafiyah dan sebagian Malikiyah yang lebih nampak kebenarannya menurut saya…”

Lalu beliau menyebutkan dalil-dalil yang mendasari wajibnya Udh-hiyah, yaitu :

    1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa memiliki kelonggaran rizki namun tidak melakukan penyembelihan, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami”.Larangan mendekati tempat shalat bagi seseorang yang tidak melakukan ibadah kurban padahal ia memiliki kemampuan menunjukkan wajibnya ibadah kurban tersebut.
    2. Hadits Mihnaf bin Sulaim radhiyallahu ‘anhu : “Wahai manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga pada setiap tahun untuk menyembelih kurban dan ‘Atirah”.’Atirah adalah penyembelihan yang khusus dilakukan di 10 hari awal bulan Rajab.Lalu ‘Atirah ini dihapus hukumnya oleh Nabi, sedangakan penyembelihan kurban tetap berlaku hukumnya.
    3. Hadits Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pada hari an-Nahr.Lalu beliau bersabda : “Barangsiapa menyembelih (kurban) sebelum ditegakkan shalat ‘Id, maka hendaknya dia mengulangi kurbannya dengan binatang lain.Barangsiapa belum melakukan penyembelihan, maka hendaknya dia lakukan penyembelihannya…”

Hadits ini penampakannya menunjukkan kewajiban ibadah kurban, terlebih adanya perintah untuk mengulangi ibadah kurbannya jika penyembelihannya dilakukan sebelum ditegakkannya shalat ‘Id.

(Dinukil secara bebas dan ringkas dari www.ferkous.com)

Larangan Bagi Pengurban Mengambil Rambut / Bulu, Kuku dan Kulit Pada Badannya Setelah Masuk 10 Awal Dzulhijjah

Larangan ini berdasarkan hadits yang sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam : “Bila telah memasuki 10 hari awal Dzulhijjah sedangkan salah seorang diantara kalian ingin berkurban, maka janganlah ia memotong rambut/bulu atau kulit sedikit pun pada tubuhnya.”

Dalam riwayat lain : “…dan memotong kuku pada tubuhnya.” (HR.Muslim)

Hanya saja apakah larangan ini bersifat haram ataukah makruh ? Para ulama berbeda pandangan tentang hukum ini. Sebagian ulama menyatakan haram dan sebagian yang lainnya menyatakan makruh. Akan tetapi pendapat ulama yang menyatakan haram nampaknya lebih kuat karena hukum asal larangan adalah haram selama tidak ada dalil yang sahih dan jelas memalingkan dari haram menjadi makruh. Wallahu a’lam.

Jika Lupa Membaca Basmalah Ketika Menyembelih

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Seseorang yang lupa membaca Basmalah ketika menyembelih binatang kurban apa tanggungan bagi dia ? Apakah disana ada perbedaan antara pemilik binatang kurban yang berderma dengan wakilnya ?”

Maka beliau menjawab : “Jika dia lupa membaca Basmalah, maka tidak ada dosa baginya karena firman Allah Ta’ala (artinya) : “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah…”

Namun apakah halal bagi kita untuk memakan dagingnya ? Kita lihat, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman (artinya) : “Dan janganlah kalian memakan daging yang tidak dibaca nama Allah padanya…”

Maka di hadapan kita sekarang ada 2 perbuatan : Perbuatan orang yang menyembelih dan perbuatan orang yang makan. Adapun orang yang menyembelih, maka ia dimaafkan karena lupa. Allah Ta’ala telah berfirman (artinya) : “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah…”

Sedangkan orang yang makan, maka kita katakan : “Dan janganlah kalian memakan daging yang tidak dibaca nama Allah padanya…”, sebab membaca Basmalah ketika menyembelih adalah syarat dan syarat tidaklah gugur karena lupa atau tidak tahu…”

Sampai beliau berkata : “…Akan tetapi tersisa (permasalahan, pen) : Apakah orang yang menyembelih ini menanggung ganti rugi kepada pemilik binatang karena dialah yang menjadi sebab tidak dibacanya Basmalah ataukah tidak menanggung ganti rugi ? Bisa jadi dikatakan : Sesungguhnya dia telah berbuat baik (menjadi wakil dalam penyembelihan, pen) sehingga tidak menanggung ganti rugi, berdasarkan firman Allah Tabaaraka Wa Ta’ala (artinya) : “Tidak ada alasan untuk menyalahkan orang-orang yang telah berbuat baik…” Juga dikarenakan lupa itu banyak terjadi.

Bisa jadi pula kita katakan : Dia menanggung ganti rugi sekalipun telah berbuat baik karena dia melenyapkan harta di hadapan pemiliknya dan melenyapkan harta di hadapan pemiliknya mengakibatkan menanggung ganti rugi dalam setiap keadaan, sekalipun dia lupa. Maka dia menanggung ganti rugi. Sekalipun seseorang lupa lalu memakan makanan milik saudaranya, maka dia menanggung ganti rugi.

Akan tetapi pendapat yang pertama lebih benar dan kuat, bahwa orang yang berbuat baik jika lupa membaca basmalah, maka dia tidak menanggung ganti rugi. Hanya saja sesembelihannya tetap tidak halal.” (Dinukil secara ringkas dari Fatawa Ahkamil Udh-hiyah hal.33-35, program pdf)

Hukum Panitia Pembangunan Masjid Menjual Daging Kurban Untuk Renovasi Masjid

Diajukan sebuah pertanyaan kepada asy-Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah : “Kami adalah panitia keagamaan untuk pembangunan masjid di kota…Bertepatan dengan Idul Adha yang penuh berkah, kami mengumpulkan kulit kurban dari penduduk suatu kampung. Kami telah memberitahu mereka sebelumnya bahwa kami akan melakukan hal itu dengan berharap sedekah mereka untuk renovasi masjid. Lalu panitia mengumpulkan kulit kurban, menjualnya dan menggunakan uang hasil penjualan untuk pembangunan masjid. Demikian keadaannya. Maka kami bertanya kepada anda, samahatu asy-syaikh yang mulia : Apakah perbuatan ini ada unsur menyelisih syariat ? Mohon anda jelaskan kepada kami. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.”

Maka beliau mengatakan bahwa permasalahan ini kembali kepada hukum boleh tidaknya menjual daging kurban. Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hal ini dalam beberapa ucapan. Namun yang paling nampak kebenarannya adalah tidak boleh menjual sesuatu apapun dari binatang kurban : kulit atau selainnya. Ini adalah mazhab Malik, asy-Syafi’i, yang masyhur dari Ahmad, Abu Yusuf murid Abu Hanifah. Sama saja larangan tersebut bagi pemilik, pengganti atau wakil pemilik binatang kurban. Kemudian beliau menyebutkan dalil pelarangannya dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Jika telah jelas bahwa perbuatan ini (menjual kulit binatang kurban dan sejenisnya) tidak boleh bagi pemilik binatang kurban, maka tidak boleh pula bagi pengganti pemilik binatang kurban untuk menjualnya.

Sedangkan menyedekahkan kulit kambing untuk masjid, maka ini termasuk wakaf bukan kepemilikan individu tertentu. Oleh karena itu dilarang adanya jual beli atau hibah pada wakaf. Tujuan yang baik tidak boleh menghalalkan segala cara.

Adapun orang fakir atau miskin yang menjual kulit binatang kurban setelah status kulit itu menjadi sedekah bagi orang fakir atau miskin tersebut, maka hal itu boleh karena :

  1. Statusnya sudah menjadi kepemilikan individu tertentu.
  2. Hilangnya sebab larangan menjual sesuatu pun dari binatang kurban pada orang fakir atau miskin tersebut.

(Dinukil secara bebas dan ringkas dari www.ferkous.com)

Bila Hari Raya Idul Adha atau Idul Fithri Bertepatan Hari Jumat

  1. al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta` pada fatwa no. 2358 menyatakan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jumat, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jumat pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jumat, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id.Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jumat darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.
  2. asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menyatakan tetap wajib atas imam dan khatib shalat Jumat untuk menegakkan shalat Jumat, hadir ke masjid, dan shalat berjamaah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menegakkan shalat Jumat pada hari ‘Id. Beliau ‘alaihi ash-Shalatu Wa as-Salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jumat. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jumat sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang sahih dari beliau di dalam kitab Shahih Muslim.Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jumat dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjamaah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.Apabila dia melaksanakan shalat Jumat berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jumat karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa Namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjamaah. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.(Lihat Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Jilid 12 / 341-342)
  3. asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan bahwa kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh as-Sunnah, bahwa…Kita katakan : Apabila hari Jumat bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jumat bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.Kedua : Tetap wajib mengadakan shalat Jumat di suatu negeri /daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jumat, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.Ketiga : Pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jumat, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).

    Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil as-Sunnah. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)

Ketiga fatwa di atas kami kutip dari www.darussalaf.or.id dengan beberapa perubahan seperlunya.

Wallahu a’lamu bi ash-Shawab

Oleh:
admin daarulihsan