Persaksian Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah & Konsekuensinya
Para pembaca rahimakumullah, dahulu sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam tepatnya pada zaman jahiliah, umat manusia hidup layaknya binatang.Mereka tak mengenal ilmu dan agama, bertindak atau berbuat sesuka hati, yang kuat memeras dan menzalimi yang lemah, berbagai perilaku yang buruk alias tidak terpuji mudah dijumpai, seperti mengubur hidup anak laki-laki lantaran takut miskin ataupun anak perempuan lantaran memalukan menurut anggapan mereka.Lebih dari itu, berbagai macam peribadatan kepada selain Allah Ta`ala juga menyebar dan menjamur.Bahkan ketika Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) didapati berhala di sekeliling Ka`bah dalam jumlah yang sangat banyak, sebagaimana penuturan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu `anhu : “Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam memasuki kota Makkah, dan di sekitar Ka`bah ada 360 berhala.Maka beliau menikam (menghancurkan) berhala-berhala tersebut dengan kayu yang ada di tangannya…’’ (HR.al-Bukhari 4720).
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam diutus oleh Allah Ta`ala membawa petunjuk berupa Al Qur`an dan as-Sunnah (hadits) dari sisi Allah Ta`ala sebagai bentuk kasih sayang Allah Ta`ala kepada umat manusia, sebagaimana firman Allah Ta`ala (artinya) : “Dan tidaklah Kami (Allah) mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”. (Al Anbiya’ : 107)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas : “Allah Ta`ala menjelaskan bahwa Dia menjadikan Muhammad Shallallahu `alaihi Wasallam sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta, yaitu mengutusnya sebagai bentuk rahmat untuk mereka seluruhnya.Maka barangsiapa menerima rahmat ini, dia akan bahagia di dunia dan akherat.Namun barangsiapa menolak dan mengingkarinya, dia akan sengsara di dunia dan akherat”. (Tafsir Ibni Katsir)
Para pembaca rahimakumullah, seluruh umat manusia diwajibkan bersaksi bahwa beliau Shallallahu `alaihi Wasallam adalah utusan Allah Ta`ala dengan mengucapkan disertai keyakinan “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah” (saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).
Bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wasallam adalah Rasul (utusan) Allah itu memiliki beberapa konsekuensi yang harus dijalani.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa “Syahadah Anna Muhammadan Rasulullah” memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya :
Seseorang tidak ragu dengan (perbuatan yang telah dia lakukan berupa) ucapannya sendiri.Maka demikian juga semestinya dirinya tidak meragukan sabda-sabda Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam, bahkan meyakini kebenarannya.
Oleh karena itu, termasuk kesalahan ketika ada perintah dari Alloh dan Rasul-Nya kemudian ada pertanyaan yg terlontar : “Perintah tersebut wajib atau sunnah ? -sebagaimana banyak orang yang mengucapkannya-.Perkataan seperti ini harus dijauhi dan tidak ditanyakan.Para sahabat Radhiyallahu `anhum ketika mereka diperintah oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam tidak pernah ada ucapan yang terlontar dari mereka : “perintah ini wajib ataukah sunnah ? Akan tetapi mereka langsung mengerjakan dan membenarkannya tanpa bertanya-tanya.Maka janganlah kalian bertanya-tanya dan kerjakanlah.Bukankah engkau telah bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu `alaihi Wasallam adalah utusan Allah ! Maka kerjakanl perintahnya !
Perintah (dalam ayat) ini bersifat umum dan mencakup seluruh sabda beliau.
(Diterjemahkan dari Syarh al-Arba`in an-Nawawi hadits no.2 dengan beberapa perubahan)
Dalil Dari Al Qur`an atau al-Hadits Dengan Pemahaman as-Salaf ash-Shalih
Para pembaca rahimakumullah, dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa ibadah yang kita kerjakan selain harus ikhlas, juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi, memiliki pondasi berupa dalil dari Al Qur`an atau al-Hadits yang Allah Ta`ala turunkan kepada beliau.Allah Ta`ala berfirman (artinya) : “…Dan Allah telah menurunkan (mewahyukan) al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu…” (An Nisa’ : 113)
Al-Kitab dan al-Hikmah ialah Al Qur`an dan as-Sunnah.Itulah diantara konsekuensi Syahadah Anna Muhammadan Rasulullah.
Tidak boleh kita berdasar prasangka, perasaan, akal pikiran dan yang semisalnya dalam beragama. Demikian juga tidak boleh taklid (fanatik buta) terhadap suatu pendapat tanpa mengerti dalil.Bukankah Baginda Rasululloh Shallallahu `alaihi Wasallam adalah Uswah Hasanah ? Lalu kenapa masih banyak orang Islam yang mengakui beliau sebagai Uswah Hasanah, namun masih saja meninggalkakan sabda-sabdanya ?, dengan alasan tidak cocok di zaman modern ini, atau kata kyai fulan begini dan alasan-alasan lain.Sudah sepantasnya seseorang yang bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah untuk ia tunduk dan patuh tanpa ragu kepada keputusan maupun ajaran beliau, tidak menambah-nambahi ataupun mengurangi.
Para pembaca rahimakumullah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan generasi terbaik umat Islam.Mereka mengajarkan kita untuk tunduk kepada dalil dari Al Qur`an maupun al-Hadits.Sahabat yang mulia Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang terkenal sangat patuh kepada dalil.Beliau dijuluki oleh Abdullah bin Abbas dengan julukan Waqqaf ‘inda Kitabillah (sangat tunduk kepada Kitab Allah).Kisah beliau dengan Uyainah bin Hishn sebagai bukti akhlak terpuji yang beliau miliki, yaitu ketika Uyainah bin Hishn datang ingin bertemu dengan ‘Amirul Mu`minin Umar bin al-Khaththab.Lalu ia singgah di kediaman anak saudaranya (keponakan), yaitu al-Hur bin Qois.Sang keponakan ini termasuk orang dekat Umar.Singkat cerita, beliau berhasil bertemu dengan Umar bin al-Khaththab.Ketika bertemu dengan Umar, Uyainah berkata : “Wahai putra al-Khaththab ! Sungguh engkau tidak pernah memberi kami pemberian yang banyak dan engkau tidak berbuat adil dalam menghukumi kami !” Maka Umar pun marah dan ingin memukulnya.Lantas al-Hur bin Qois mengatakan : “Wahai Amirul Mu’minin, Allah Ta`ala berfirman kepada Nabi-Nya (artinya) : “Jadilah engkau pemaaf, perintahkanlah manusia untuk mengerjakan kebaikan dan berpalinglah engkau dari orang-orang yang jahil (bodoh)”.Maka amarah sahabat Umar yang sebelumnya memuncak, langsung reda dan hilang karena sepotong ayat yang dibacakan kepada beliau.
Peringatan Para Imam 4 Mazhab Tentang Kewajiban Mendahulukan Sabda Nabi Di Atas Perkataan Semua Orang
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata : “Apabila aku mengatakan sesuatu yang ternyata menyelisihi Kitab Allah Ta’ala dan berita Rasul Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka tinggalkan ucapanku”.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata : “Hanyalah aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar.Lihatlah pendapatku.Setiap pendapatku yang mencocoki Al Qur’an dan as-Sunnah, maka ambillah.Setiap pendapatku yang menyelisihi Al Qur’an dan as-Sunnah, maka tinggalkan pendapatku”.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tadi karena (mengikuti) ucapan seseorang”.
Beliau juga berkata : “Setiap permasalahan yang telah sahih sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam padanya menurut para ulama hadits dan ternyata berbeda dengan pendapatku, maka aku cabut pendapatku sewaktu hidupku maupun setelah kematianku”.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Janganlah kalian taklid (fanatik buta) kepadaku, Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i dan ats-Tsauri.Ambillah dari sisi mana (dalil) yang mereka ambil”.
Beliau juga berkata : “Barangsiapa menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka dia berada di tepi kehancuran”.
(Dinukil dari Shifat Shalat Nabi)
Dari ucapan para imam tersohor di atas dan itu sebagiannya saja, silakan para pembaca menilai keadaan sebagian muslimin (terlebih yang mengaku bermazhab Syafi’i) yang mengikuti setiap ucapan (dawuh) para tokoh agama (apapun sebutannya) sekalipun jelas-jelas bertentangan dengan bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Kalau tokoh Islam sekelas Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i atau Ahmad bin Hanbal saja kadang tahu dan kadang tidak tahu suatu perkara agama, kadang benar dan kadang keliru, lantas bagaimana dengan tokoh agama yang sangat jauh kedudukannya di bawah mereka dari sisi ilmu dan ibadah ?!
Wallahu a’lamu bish-Shawab