Al-Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Barbahari rahimahullah berkata : “Maka lihatlah, semoga Allah merahmati anda ! Setiap orang yang anda dengar ucapannya dari kalangan manusia zaman anda secara khusus, maka janganlah anda sekali-kali terburu-buru dan jangan pula sekali-kali masuk pada sesuatu apapun darinya hingga anda bertanya dan melihat : Apakah ada seorang pun dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam atau seorang pun dari kalangan ulama yang berbicara tentang hal itu ? Jika anda mendapati pada ucapan tadi ada petunjuk dari mereka, maka pegang teguhlah petunjuk tersebut dan jangan melampauinya dan jangan memilih selain itu sedikit pun yang anda akan dapat jatuh ke neraka.” (Syarh as-Sunnah)
Beberapa ulama menerangkan perkataan mulia ini, diantaranya :
1) Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
Beliau berkata : “Penulis (kitab Syarh as-Sunnah ini, pen) rahimahullah memberi bimbingan kepada siapa saja yang membaca atau sampai kepadanya ucapan seseorang, agar mempertimbangkan dan menjauhi sikap terburu-buru menelannya tanpa menoleh kepada Kitabullah dan sunnah Rasul serta apa yang dijalani para sahabat Nabi berupa bimbingan dan petunjuk, tanpa pula berpegang teguh dengan Kitabullah dan as-Sunnah serta apa yang mereka (para sahabat) berada di atasnya berupa lari dari kebatilan dan kebid’ahan. Sampai-sampai seseorang yang meneliti perjalanan hidup mereka (para sahabat) tidak mendapati seorang pun dari mereka terjatuh dalam kebid’ahan. Oleh karena pengetahuan para as-salaf ash-shaleh dan para imam petunjuk terhadap kedudukan para sahabat yang mereka (para sahabat) ini berada di atas kebenaran, kebenaran berjalan bersama mereka manakala mereka berjalan dan juga karena pengetahuan penulis terhadap kenyataan mereka yang bersinar terang, maka beliau memperingatkan dari masuknya seorang muslim pengikut sunnah Nabi ke sesuatu yang ia dengar dari manusia di zamannya, hingga ia bertanya kepada para ulama, merenungi dan membahas. Jika ternyata jelas baginya bahwa perkataan tersebut telah diucapkan oleh para sahabat atau ditunjukkan oleh keterangan al-Qur’an maupun sunnah Rasul, maka ia ambil itu. Namun jika dia tidak mendapati sesuatu pun dari itu, maka hendaknya dia waspada dari ucapan asing tersebut yang tidak ada dalilnya dari Kitabullah, as-Sunnah, pemahaman para sahabat maupun salah satu dari mereka. Tolok ukur ini bagi seseorang yang sangat menjaga agamanya, selayaknya berlaku untuk setiap ucapan, sekalipun ucapan yang muncul dari para ulama besar. Para ulama yang tulus telah meletakkan prinsip terhadap apa yang bisa diterima dan ditolak dari ucapan mereka (para ulama). Diantara prinsip mereka : Setiap manusia bisa dierima dan ditolak ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.” Diantaranya juga, apa yang diucapkan oleh al-Imam asy-Syafi’i : “Jika ucapanku ternyata menyelisihi sabda Rasullullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka lemparkan ucapanku ke tembok.” Juga ucapan al-Imam Ahmad : “Janganlah kalian ikut-ikutan aku dan jangan pula ikut-ikutan Malik dan al-Auza’i. Ambillah dari dalil yang mereka ambil.” (‘Aunu al-Bari)
2) Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
Beliau berkata : “Janganlah anda terburu-buru terhadap apa yang anda dengar dari manusia terkhusus di akhir-akhir zaman dan banyaknya orang yang berbicara, berfatwa dan menetapkan suatu ilmu atau pendapat. Terkhusus pula manakala semakin canggih sarana komunikasi dan jadilah setiap orang berbicara tidak karuan dan berbicara dengan nama agama. Sampai-sampai sekarang ini orang yang sesat dan kelompok yang menyimpang berbicara dengan nama agama di media massa. Bahayanya sangat besar. Anda – wahai seorang muslim dan penuntut ilmu agama – wajib mencari kepastian dan jangan terburu-buru bersama setiap apa yang anda dengar. Wajib anda mencari kepastian, mengenali siapa orang yang mengucapkan perkataan ini, dari mana datangnya pemikiran ini, kemudian apa landasan dan dalilnya dari al-Kitab dan as-Sunnah, di mana ia menimba ilmu dan dari siapa ia menimba ilmu. Ini adalah perkara-perkara yang butuh pemastian, terkhusus di zaman ini. Setiap orang yang berkata sekalipun fasih, cakap berbicara, mahir mengurai ucapan dan dapat menyita pendengaran, maka janganlah anda tertipu dengannya hingga anda pandang sejauh mana ilmu dan pemahamannya. Bisa jadi ucapan seseorang itu sedikit namun ia adalah orang yang dalam pemahamannya. Bisa jadi seseorang itu ucapannya banyak namun dia adalah orang yang bodoh, tidak memiliki sedikit pun pendalaman ilmu. Akan tetapi yang ada padanya justru ucapan yang menyihir hingga menipu manusia. Dia menampakkan dirinya sebagai orang yang berilmu, memahami ilmu, pemikir dan sejenis itu. Sampai-sampai dia dapat menipu manusia dan mengeluarkan mereka (manusia) dari kebenaran. Bukanlah tolok ukurnya adalah banyaknya ucapan dan mahir mengulas kata. Akan tetapi tolok ukurnya adalah kandungan ilmu dan prinsip dasar padanya. Bisa jadi ucapan yang sedikit dan memiliki dasar itu lebih bermanfaat banyak dibandingkan ucapan yang banyak dan terurai yang engkau tidak menangkap faidah darinya kecuali sedikit. Ini adalah realita di zaman kita. Banyak ucapan sedikit ilmu. Banyak orang yang mahir membaca al-Qur’an namun sedikit orang yang mendalami ilmunya. Pendalaman itu bukanlah banyaknya ucapan, membaca al-Qur’an, lihainya berbicara dan indahnya ungkapan. Seorang penyair berkata :
Pada indahnya perkataan ada upaya menghias-hiasi kebatilannya
Dan kebenaran itu kadangkala ditimpa oleh buruknya pengungkapan Engkau katakan : Ini adalah muntahan lebah yang engkau memujinya
Padahal jika engkau ingin, engkau dapat katakan : Ini adalah muntahan kumbang
Jika anda ingin memuji madu, maka anda mengatakan : Ini adalah muntahan lebah. Namun jika anda mencelanya, maka anda mengatakan : Ini adalah muntahan kotor, sebagai muntahan bersih dan pengganti lebah adalah kumbang. Orang yang mahir berkata dapat membalik kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran.
Waspadalah dari hal ini. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memperingatkan dari (bahaya) orang yang fasih bicaranya, mampu melipat-lipat lisannya sebagaimana seekor lembu melipat-lipat lisannya. Beliau memperingatkan dari perkara ini. Beliau bersabda (artinya) : “Sesungguhnya diantara penjelasan itu adalah sihir.” Yakni : menyihir pendengaran mereka.
Ucapan beliau (al-Imam al-Barbahari) : “Maka lihatlah, semoga Allah merahmati anda ! Setiap orang yang anda dengar ucapannya dari kalangan manusia zaman anda secara khusus, maka janganlah anda sekali-kali terburu-buru dan jangan pula sekali-kali masuk pada sesuatu apapun darinya…”
Ini di waktu sang penulis masih hidup. Penulis hampir-hampir hidup sezaman dengan al-Imam Ahmad, karena penulis adalah salah satu murid yang berguru kepada murid-muridnya al-Imam Ahmad. Beliau berkata : “Jangan anda terburu-buru dalam menerima berita orang yang sezaman anda hingga anda mencari kepastiannya. Di mana perkataan ini di zaman kita sekarang ?! Zaman penuh hawa nafsu. Zaman penuh kebodohan. Zaman bercampurnya alam, sebagian dengan sebagian yang lain. Sampai-sampai zaman menjadi gelombang fitnah, kejelekan dan beragam pemikiran. Musuh di masa sekarang menginginkan terbaliknya agama yang semula sebagai kepala menjadi tumit. Mereka ingin kita mengikuti mereka, menjejalkan pemikiran-pemikiran dan politik kepada kita. Wajib bagi kita untuk mencari kepastian dalam perkara ini, diam dari banyak perkara, tetap mempelajari firman Allah beserta sabda Rasul-Nya dan mendalami agama Allah.
Mengerti ilmu agama merupakan keselamatan dari kejelekan. Mengerti agama berarti memahaminya. Kadangkala seseorang banyak hafalannya namun tidak paham. Jadilah ia itu sama dengan orang awam. Bahkan bisa jadi orang awam itu lebih baik dibandingkan orang ini karena orang awam itu diam dan menyadari kebodohannya. Adapun orang yang tadi tidak menyadari bahwa dirinya bodoh. Bukanlah permasalahannya adalah banyaknya hafalan atau ucapan. Permasalahannya adalah mengerti agama. Oleh karena itulah Nabi Shallalahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Bisa jadi orang yang diberitahu itu lebih mengerti dibandingkan orang yang mendengar langsung.” Bisa jadi seseorang menghafal, menukil dan menyebarkan sesuatu, namun di sana ada orang yang lebih mengerti dibandingkan dirinya. Bisa jadi orang yang membawa ilmu, namun dia tidak mengerti. Dia memang membawa dan menukil, namun dia bukan orang yang mengerti. Mengerti agama adalah anugerah dari Allah. Allah berikan anugerah itu kepada yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya. Jika dia mengembangkan dan menumbuhkan anugerah tersebut, maka ia akan merasakan manfaatnya. Jika dia menyia-nyiakannya, maka anugerah itu akan sirna.
Sedangkan ucapan beliau : “…maka janganlah anda sekali-kali terburu-buru dan jangan pula sekali-kali masuk pada sesuatu apapun darinya hingga anda bertanya dan melihat : Apakah ada seorang pun dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam…” Ini adalah wasiat yang agung. Adapun ucapan tentang perkara-perkara dunia, maka itu bukan tema pembahasan di sini. Jika ada suatu ucapan tentang agama yang membuat anda kagum, maka jangan terburu-buru hingga anda melihat apakah dibangun di atas kebenaran dan dalil. Apakah sekedar dari kepala manusia dan pikiran. Kalau yang ini adalah buih seperti buih yang dibawa air banjir. Jika ucapan tadi dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah, maka ini adalah kebenaran. Jangan anda terburu-buru mengambil ucapan tanpa pertimbangan-pertimbangan, sekalipun kefasihan, kemahiran berbicara, kekuatan dan kecakapan berucap membuat diri anda kagum. Jangan anda terburu-buru hingga anda melihat, mencocokkannya dengan al-Kitab beserta as-Sunnah dan anda lihat siapa yang mengucapkannya : apakah ia seorang yang mengerti atau tidak mengerti ? Hingga anda bertanya kepada para ulama tentangnya. Anda lihat apakah ucapan tadi pernah diucapkan oleh seseorang dari kalangan salaf atau ternyata tidak ada yang mengucapkannya. Ini adalah sesuatu yang saya peringatkan berkali-kali. Saya katakan : Jangan kalian membuat ijtihad-ijtihad, pendapat-pendapat, ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan yang kalian tidak pernah didahului sebelumnya (oleh salaf). Ambillah suri teladan dari kalangan dan ucapan salaf. Kalau seandainya anda mendatangkan sesuatu yang belum pernah anda didahului sebelumnya (oleh salaf), maka sesungguhnya itu adalah perkara yang menyeleneh, madharatnya lebih banyak dibandingkan manfaatnya.
Ucapan para sahabat adalah tolok ukur, karena mereka adalah murid-murid Rasul Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Silakan dilihat ucapan mereka tentang ayat al-Qur’an dan apa tafsiran mereka. Tentang hadits, apa penjelasan mereka. Anda ambil pendapat ucapan dan tafsir mereka karena mereka lebih dekat kepada kebenaran dibandingkan orang yang datang setelah mereka…” (Dikutip sebagian dari Ithafu al-Qari).
Wallahu a’lamu bish-Shawab