Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

menilai hujan dengan iman

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Menilai Hujan Dengan Iman
بِسمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Hujan itu pada asalnya merupakan rahmat dari Allah, sebagaimana disebutkan di dalam beberapa ayat Al Qur’an. Allah berfirman (artinya) : “Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka (manusia) berputus asa, dan yang menebarkan rahmat-Nya. Dialah Yang Maha Pelindung dan Maha Terpuji.” (Asy Syuura : 28).

Dia Ta’ala juga berfirman (artinya) : “Dan Kami (Allah) telah menurunkan dari langit, air yang diberkahi…” (Qaaf : 9).

Namun kadangkala hujan merupakan azab dari Allah, sebagaimana kebinasaan kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Luth (hujan batu beserta dibaliknya bumi mereka) dan kaum Saba’ yang telah diceritakan oleh Al Qur’an. Belum lagi kehancuran yang dialami oleh kaum-kaum yang datang setelah mereka karena hujan, sebagaimana pernah kita dengar atau saksikan.

Turunnya hujan kepada manusia tidaklah mesti menunjukkan keridhaan dan kasih sayang Allah kepada mereka, karena kenikmatan duniawi itu Allah berikan kepada orang kafir maupun beriman, yang taat maupun yang ingkar. Kenikmatan duniawi bukanlah tanda cinta atau bencinya Allah kepada seseorang.

Disebutkan sebuah hadits di dalam kitab Silsilah ash-Shahihah 2714 karya al-Imam al-Albani rahimahullah : “Sesungguhnya Allah membagi akhlak diantara kalian sebagaimana Dia membagi rizki diantara kalian. Sesungguhnya Allah memberi dunia ini kepada orang yang Dia cintai maupun yang tidak Dia cintai.(Akan tetapi) Dia tidaklah memberi iman kecuali kepada orang yang memang Dia cintai…”

Apabila Allah terus memberi kenikmatan duniawi kepada seseorang padahal orang tersebut terus berbuat keburukan, maka itu adalah istidraj (penundaan azab sampai waktu yang Allah tetapkan).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Apabila engkau melihat Allah memberi kenikmatan duniawi kepada seseorang padahal orang tersebut bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah istidraj.”(Ash-Shahihah 413).

Maka janganlah seseorang terbuai dengan kenikmatan duniawi ketika masih saja berbuat maksiat kepada Allah…

Mengambil Pelajaran Di Balik Turunnya Hujan

Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan sungguh Kami (Allah) telah mempergilirkan hujan itu di tengah-tengah manusia agar mereka mengambil pelajaran darinya, namun ternyata kebanyakan mereka tidak mau kecuali mengingkarinya.” (Al Furqan : 50).

Pelajaran yang hendaknya manusia ambil adalah agar mereka semakin taat kepada Allah sebagai wujud rasa syukur atas kenikmatan duniawi berupa hujan yang telah Allah turunkan kepada mereka.

Sebab Turunnya Hujan

Ada 2 sebab turunnya hujan, yaitu :

  1. Sebab alami, yaitu kadangkala berasal dari air laut yang menguap lalu berkumpul di awan hingga turun ke bumi. Kadangkala pula udara di langit berubah menjadi air lalu dibawa oleh angin dan awan hingga turun ke bumi. Tentu ini semua tidak mungkin lepas dari kehendak Allah ‘Azza Wa Jalla. (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah dan Majmu’ Fatawa Ibni Baaz).
  2. Sebab syar’i, yaitu ketakwaan kepada Allah (Surat Al A’raf : 96), istiqamah atau teguh di atas kebaikan (Surat Al Jin : 15) dan taubat atau istighfar (Surat Nuh : 10-11 dan Surat Hud : 52)

Tidak ada pertentangan antara 2 sebab di atas, sehingga tidak selayaknya seorang mukmin mempercayai salah satunya saja dan mengingkari atau mengabaikan yang lainnya. Namun sangat disayangkan, sekian banyak putra-putri kaum muslimin di negeri mayoritas muslim ternyata hanya diajari sebab alami suatu kejadian alam tanpa diiringi sebab syar’i. Bahkan sebab syar’i dianggap tidak ilmiah dan terkesan kurang layak diajarkan pada mata pelajaran umum. Wallahul Musta’an.

Hukum Mengaitkan Turunnya Hujan Dengan Musim atau Bintang Tertentu di Langit

Dalam permasalahan ini ada rincian :

  1. Apabila pengaitannya berupa anggapan bahwa hujan itu diturunkan oleh musim atau bintang tertentu, maka ini adalah kufur besar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad).
  2. Apabila pengaitannya berupa anggapan bahwa musim atau bintang tersebut adalah sebab turunnya hujan, maka ini merupakan kufur kecil yang menodai kesempurnaan tauhid dan ini dosa besar.
  3. Apabila pengaitannya berupa anggapan bahwa hujan itu turun biasanya pada musim hujan atau biasanya ketika terbit bintang tertentu, maka ini tidaklah mengapa.)

Adab Seorang Muslim Ketika Turun Hujan

Terdapat beberapa adab yang perlu diperhatikan oleh seorang muslim ketika turun hujan, diantaranya :

🌧️
Berdoa ketika turun hujan. Doanya : “Allaahumma Shayyiban Naafi’an.” yang artinya : “Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat.” (Lihat Shahih al-Bukhari)
🌧️
Membasahi sebagian anggota tubuhnya dengan air hujan yang pertama kali turun dari langit.(Lihat Shahih Muslim)
🌧️
Berdoa ketika melihat hujan turun berlebihan. Doanya : “Allaahumma Hawaalainaa Wa Laa ‘Alainaa.” yang artinya : “Ya Allah, pindahkanlah hujan ini ke tempat lain dan janganlah turunkan kepada kami.”(Lihat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
🌧️
Berdoa ketika melihat angin kencang. Doanya : “Allaahumma Inni As’aluka Khairahaa Wa Khaira Maa Fiihaa Wa Khaira Maa Ursilat Bihi Wa A’udzu Bika Min Syarrihaa Wa Syarri Maa Fiihaa Wa Syarri Maa Ursilat Bihi.” yang artinya : “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang ada padanya dan kebaikan yang angin ini diperintah untuk bertiup kepadanya. Kami berlindung kepada-Mu dari kejelekan angin ini, kejelekan yang ada padanya dan kejelekan yang angin ini diperintah untuk bertiup kepadanya.” (Lihat Shahih Muslim)
🌧️
Berdoa seusai hujan turun. Doanya : “Muthirnaa Bi Fadhlillaahi Wa Rahmatihi” yang artinya : “Kami telah diberi hujan dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya.” (Lihat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).

Para pembaca rahimakumullah, tampak sekali doa-doa yang kita sebutkan ini mengandung nilai-nilai tauhid berupa sikap tawakal, ketergantungan, raja’ (rasa harap), khauf (rasa takut), berlindung dari keburukan hanya kepada Allah semata. Namun sayangnya, doa-doa ini kerapkali terlupakan, bahkan tak jarang diganti dengan celaan terhadap hujan dan angin. Wallahul Musta’an.

Sangat layak kita mengucapkan doa-doa ini karena kita tidak tahu secara pasti apa yang akan terjadi dengan turunnya hujan atau kencangnya angin tersebut. Terlalu sering kita mendengar, menyaksikan bahkan pernah mengalami kehancuran akibat turunnya hujan yang sangat deras dan tiupan angin yang sangat kencang. Kehancuran yang dapat menimpa siapapun dan dimanapun. Benar-benar ketika itu manusia dengan segala kekuatannya sama sekali tidak sanggup menghadapi tanda kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla !

Sebuah Bimbingan Fiqih Ketika Turun Hujan

Selain adab, juga terdapat beberapa bimbingan fiqih ketika turun hujan. Salah satunya adalah menambah lafazh adzan dengan ucapan seperti : ”Shalluu Fii Buyuutikum.” yang artinya “Shalatlah di rumah-rumah kalian.” sebanyak 2 kali pada salah satu dari 3 tempat berikut ini :

  1. Setelah lafazh “Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah.” dengan mengganti lafazh “Hayyaa ‘alash Shalaah.” (Lihat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
  2. Setelah lafazh “Hayya ‘alal Falaah.” tanpa ada pergantian lafazh. (Lihat Sunan an-Nasa’i yang dishahihkan asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muqbil).
  3. Setelah lafazh “Laa ilaaha illallaah” di akhir adzan tanpa ada pergantian lafazh. (Lihat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim)

Fenomena Kilat, Guruh dan Petir Ketika Turun Hujan

Hujan kerapkali tidak lepas dengan keberadaan kilat, guruh dan petir. Fenomena 3 makhluk besar ini telah disebutkan di dalam sebuah ayat Al Qur’an, yaitu firman Allah yang artinya : “Dialah (Allah) yang memperlihatkan kepada kalian kilat untuk menimbulkan rasa takut dan rasa harap. Dia pula yang menciptakan awan. Guruh itu bertasbih memuji Rabbnya dan para malaikat (bertasbih) karena takut kepada-Nya. Allah mengirimkan petir lalu menyambar siapa saja yang Dia kehendaki dengan petir tersebut. Mereka membantah (ayat-ayat) Allah dan Dia (Allah) itu amat keras siksa-Nya.” (Ar Ra’d : 12-13).

Sebenarnya fenomena keberadaan makhluk-makhluk besar ini bukanlah sekedar menunjukkan kebesaran dan kekuatan Allah Jalla Wa ‘Alaa, apalagi sekedar fenomena alam semata. Bahkan ada tujuan besar dibalik itu, yaitu perintah beribadah hanya kepada Allah semata (tauhidullah).

Hal itu dapat dipahami dari ayat setelahnya, yang artinya : “Hanya untuk-Nyalah peribadatan yang benar itu…” (Ar Ra’d : 14).

Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata : “Apabila Dia (Allah) semata yang menurunkan hujan kepada hamba-hambaNya, menghalau awan yang merupakan tempat rizki mereka, mengatur segala urusan, makhluk-makhluk besar yang ditakuti dan mengejutkan manusia ternyata tunduk kepada-Nya dan Dia itu amat keras siksa-Nya, maka Dialah yang berhak untuk diibadahi semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Tafsir as-Sa’di).

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
admin daarulihsan